Senin, 26 Desember 2011

PEMBELAJARAN DI SEKOLAH : ANTARA KENYATAAN DAN KEMESTIAN ( dalam tinjauan Persfektif Psikologi Pendidikan)

Oleh : Irma Irayanti

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua konsep kependidikan yang sangat berkaitan, yaitu belajar (learning) dan pembelajaran (intruction). Konsep dasar belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. (GBPP SMA Kurikulum, 1999:4)
Dalam proses belajar mengajar (PBM) terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seorang guru atau sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah kegiatan belajar-mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar-mengajar yang efektif. (Sugiyono, 2000:23)
a.      Tujuan Pembelajaran dan Metodologi Pengajaran
Kegiatan belajar-mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu peserta didik, guru (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan perilaku dan tingkah laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar, seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behavior) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya.
Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang menurut penulis penting adalah metodologi pengajaran.
Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan proses belajar-mengajar (PBM) bergantung pada cara mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan-santunnya, motorik dan gaya hidupnya. (Ischak dan Warji, 1982:50)
Metodologi mengajar banyak ragamnya, kita sebagai pendidik tentu harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam proses belajar-mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud/tercapai.
Siswa sebagai subyek dalam proses belajar-mengajar ternyata memiliki keunikan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada siswa yang cepat dalam belajar karena kecerdasannya sehingga dia dapat menyelesaikan kegiatan belajar-mengajar lebih cepat dari yang diperkirakan, adapula siswa yang lambat dalam belajar, yaitu golongan siswa yang sering ketinggalan pelajaran dan memerlukan waktu yang lebih lama dari waktu yang diperkirakan untuk siswa normal, ada siswa yang kreatif yang menunjukkan kreatifitas dalam kegiatan-kegiatan tertentu dan selalu ingin memecahkan persoalan-persoalan, ada siswa yang berprestasi kurang, yang sebenarnya siswa ini mempunyai taraf intelegensi tergolong tinggi akan tetapi prestasi belajarnya rendah, dan adapula siswa yang gagal dalam belajar sehingga tidak selesai dalam studinya disekolah.
Untuk itu guru berupaya memahami karakteristik siswa-siswanya dan dapat melakukan pendekatan dalam belajar-mengajar sebagai upaya mengoptimalisasikan hasil belajar, sebab tanpa pendekatan ini hasil belajar tidak akan diperoleh dengan sebaik-baiknya. Strategi pembelajaran adalah salah satu upaya yang perlu diperhatikan oleh guru dalam pengajaran sosiologi.
b.    Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran yang lengkap, komponen-komponennya meliputi : kegiatan pra pembelajaran, penyajian informasi, partisipasi peserta didik, tindak lanjut dan testing. Pada komponen tindak lanjut pembelajaran, kegiatan yang dapat dilakukan berupa pengayaan (enrichment), dari keseluruhan proses pembelajaran komponen iniyang jarang dilakukan oleh guru. Oleh sebab itu wajar kalau peserta didik mengalami kesulitan belajar, karena setiap tahapan dan langkah belajar belum mencapai ketuntasan belajar disisi lain kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan bahan ajar berikutnya. (Soenarto Tjitrowinoto, 1984:33)
Pada suatu suasana belajar yang konvensional menunjukkan bahwa pada saat pembelajaran berlangsung, guru cenderung mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas, dalam pelaksanaannya guru memegang kendali, memainkan peran aktiv. Sedangkan siswa cenderung pasif dalam menerima informasi,  pengetahuan dan keterampilan dari guru. Akibatnya, siswa-siswa yang tadinya kreatif dan kritis menjadi apatis dalam pembelajaran.
Leighbody (1966:3) mengungkapkan bahwa telling is not teaching, listening is not learning, and watching is not learning, but all three may need to be used to assist learning. Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa guru ndalam mengajar tidak hanya sekedar ceramah, dan murid tidak hanya mendengar dan memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru, walaupun ketiganya diperlukan dalam pembelajaran. Implikasi dari pandangan Leighbody tersebut bahwa mengajar memerlukan suatu strategi agar terjadi interaksi antara guru dengan siswanya.
Strategi pengajajaran berkenaan dengan bagaimana penyajian materi pembelajaran agar dapat meningkatkan hasil belajar. Suatu pembelajaran harus memenuhi kriteria; (1) daya tarik, (2) daya guna (efektivitas), (3) hasil guna (efisiensi). Agar proses pembelajaran efektif maka perlu menggunakan strategi pembelajaran yang dapat menunjang keberhasilan peserta didik atau mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan.
Selanjutnya berkaitan dengan komponen strategi pembelajaran, Gagne dan Brigs (1992:238) menyebutkan terdapat sembilan urutan kegiatan pembelajaran (intruksional), yaitu : (1) memberikan motivasi atau menarik perhatian, (2) menjelaskan tujuan instruksional kepada siswa, (3) mengingatkan kompetensi prasyarat, (4) memberi stimulus yaitu menyajikan materi pembelajaran (masalah, topik, konsep), (5) memberi petunjuk belajar (cara mempelajari), (6) menimbulkan penampilan siswa, (7) memberikan umpan balik, (8) menilai penampilan, (9) menyimpulkan.
Strategi yang diajukan oleh Gagne ini lebih dikenal dengan nama “ peristiwa pembelajaran”, merupakan urutan dalam mengatur kondisi eksternal agar informasi yang diberikan kepada si-belajar dapat diterima dan diperankan dengan baik. Informasi itu dapat diterima melalui semua panca indera yang berfungsi sebagaimana mestinya. Strategi ini berlaku secara umum, bvaik pada situasi belajar misalnya belajar kelompok (dalam jumlah pelajar yang besar sekaligus), maupun belajar mandiri, pada semua mata pelajaran maupun pada sutu pokok sajian pelajaran.
Briggs dan Wager dalam Suparman (1997:156) mengemukakan bahwa tidak semua pelajaran memerlukan seluruh sembilan urutan kegiatan tersebut, tergantung kepada karakteristik siswa dan jenis perilaku yang ada dalam tujuan pembelajaran. Penggunaan dari sembilan urutan tersebut masih dimungkinkan sepanjang alasan secara rasionalnya jelas.
Istilah strategi instruksional yang digunakan oleh Joice dan Weil (1996:6) adalah model-model mengajar, yaitu suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum, mendesain materi pelajaran, dan untuk pedoman kegiatan belajar mengajar didalam kelas maupun ditempat lain. Ada banyak cara untuk belajar, sehingga dibutuhkan metode pembelajaran yang berbeda pula. Dengan banyak ragam metode pembelajaran yang ada, ternyata masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, ketetapan metode pembelajaran yang dipilih tentu harus disesuaikan dengan tujuan dari materi pelajaran yang akan diajarkan. Dengan demikian metode dapat diartikan juga sebagai suatu cara yang sistematik yang umum yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Sedangkan Dick and Carey (1996:183) memandang strategi pembelajaran sebagai penjelasan tentang komponen-komponen umum dari suatu perangkat (set) bahan pembelajaran dan prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan itu untuk menghasilkan suatu hasil belajar tertentu pada siswa, mengemukakan bahwa komponen dari strategi pembelajaran adalah kegiatan pembelajaran, penyajian informasi, partisipasi siswa, tes, dan tindak lanjut.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran pada hakikatnya berkenaan dengan; (1) urutan kegiatan pembelajaran, yaitu tahap-tahap yang perlu dilalui atau diikuti dalam penyajian materi pembelajaran, (2) metode atau tekhnik pembelajaran, yaitu prosedur pengorganisasian bahan dan pengelolaan siswa dalam proses pembelajaran, (3) media pembelajaran, yaitu peralatan dan bahan pembelajaran yang digunakan sebagai media dalam proses belajar-mengajar, dan (4) peran, yaitu pembagian peran (fungsi) antara pengajar dan pelajar dalam proses pembelajaran.
c.   Strategi Pembelajaran Konvensional dan Kooperatif (antara kenyataan dan kemestian)

Kualitas pembelajaran selalu terkait dengan penggunaan strategi pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ini berarti bahwa untuk mencapai kualitas pembelajaran yang tinggi, materi pelajaran harus diorganisasi melalui strategi pengorganisasian yang tepat, dan selanjutnya disampaikan kepada siswa dengan strategi pembelajaran yang tepat pula. Strategi pengorganisasian dapat dilakukan terhadap isi materi pelajaran, atau pengorganisasian terhadap siswa. Salah satu strategi pengorganisasian terhadap siswa adalah strategi pembelajaran kooperatif. Strategi pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama, yakni kerjasama antar siswa dalam kelompoknya untuk mencapai tujuan belajar (Johnson and johnson, 1987:5).
Namun pada kenyataannya banyak pengajar yang masih menggunakan strategi pembelajaran yang konvensional. Strategi pembelajaran konvensional merupakan strategi pembelajaran yang berpusat pada guru yang menggunakan urutan kegiatan pembelajaran uraian, contoh, dan latihan. Kegiatan pembelajaran dimulai dari uraian guru untuk menjelaskan bahan ajar disertai contoh-contoh, kemudian siswa mencatat, bertanya dan guru menjawab, selanjutnya diakhiri dengan latihan sebagai umpan balik. Karena strategi pembelajaran konvensional berfokus pada guru, sehingga materi ajar disampaikan langsung oleh guru. Dengan demikian guru menggunakan pendekatan pembelajaran langsung (Direct Intruction). Dengan pendekatan ini siswa menghabiskan sebagian waktu untuk mendengar pengajaran langsung dari guru terutama dalam mengembangkan keterampilan menguasai materi yang diajarkan dan kemudian dilanjutkan dengan aktivitas pemantapan seperti latihan dibawah bimbingan guru atau asisten guru (Alwi Suparman, 1999:110).

“Perubahan Kehidupan Sosial Orang Bajo di Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe”

ABSTRAK
Oleh : Asriati


Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana sejarah  kehidupan sosial orang Bajo di Desa Bajo Indah, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe?, (2) Bagaimana proses perubahan kehidupan sosial orang Bajo di Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, khususnya pada pola interaksi sosial, kehidupan sosial budaya, sosial ekonomi dan kehidupan sosial politik?.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah  kehidupan sosial orang Bajo di Desa Bajo Indah dan Untuk mengetahui proses perubahan kehidupan sosial orang Bajo di Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe.
Jenis penelitian ini adalah penulisan sejarah yang bersifat deskriptif kualitatif, Metodologi sejarah yang digunakan dalam penelitian adalah metode strukturalis yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan gambaran mengenai fenomena-fenomena nyata di lapangan secara menyeluruh, dan saling mempengaruhi secara holistik.
Hasil penelitian, menunjukkan bahwa (1) Orang Bajo yang bermukim di Desa Bajo Indah awalnya hanya orang Bajo yang berasal dari Pulau Bokori, tapi sekarang kehidupan mereka sudah bercampur dengan etnis lain seperti etnis Bugis, etnis Tolaki, dan etnis Muna, bahkan kekerabatan mereka sudah semakin dekat dengan adanya pertalian perkawinan di antara orang Bajo dengan etnis lain. (2) Perubahan kehidupan sosial  yang terjadi pada orang Bajo di Desa Bajo Indah adalah (a)Orang Bajo sudah terbiasa berinteraksi dengan masyarakat lain dan pemerintah, mereka sudah terbuka dengan dunia luar untuk menerima hal-hal yang baru dalam kehidupannya, (b) Kebudayaan orang Bajo telah mengalami pergeseran atau sudah mulai hilang seiring dengan perkembangan waktu, hal ini dibuktikan dengan tradisi orang Bajo yang saat ini hanya sebagian saja yang masih sering dilaksanakan, (c) Kehidupan sosial ekonomi orang Bajo mengalami kemajuan, mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tetapi saat ini sudah ada yang beralih pada mata pencaharian yang lain seperti buruh, petani, pedagang, bahkan sudah ada yang jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seiring dengan perkembangan wawasan yang mereka miliki, saat ini nelayan Bajo sudah dapat menggunakan alat-alat melaut yang modern sebagai peralatan baru dan mulai meninggalkan peralatan tradisional (peralatan lama) untuk meningkatkan taraf perekonomian, (d) Dalam kehidupan sosial politik, orang Bajo di Desa Bajo Indah sudah maju mengikuti perkembangan, terbukti dengan banyaknya partai yang disosialisasikan di Desa Bajo Indah secara bertahap semenjak tahun 1991-2009 dan orang Bajo turut serta dalam kepengurusan partai politik.
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan kehidupan sosial pada orang Bajo dalam pola interaksi, pada kehidupan sosial budaya, ekonomi dan politik pada saat orang Bajo telah menetap di Desa Bajo Indah.

Kata kunci : Perubahan sosial orang Bajo.

“Analisis Sosial Budaya Pendidikan Keagamaan pada Pondok Pesantren di Kabupaten Konawe”.

ABSTRAK
Oleh : M. Idris

Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana sistem pembelajaran pada pondok pesantren di Kabupaten Konawe?, (2) Sejauhmana pengaruh nilai budaya ritual keagamaan terhadap pembinaan santri pada pondok pesantren di Kabupaten konawe?, (3) Bagaimana jalinan interaksi sosial warga pondok pesantren dengan komunitas sekitar pesantren di Kabupaten Konawe?.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sistem pembelajaran pada pondok pesantren di Kabupaten Konawe,  untuk mengetahui pengaruh budaya ritual keagamaan terhadap pembinaan santri pada pondok pesantren di Kabupaten Konawe, dan untuk mengetahui jalinan interaksi warga pesantren dengan komunitas sosial sekitar pesantren.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, yaitu berupaya mungungkapkan fakta-fakta dan memberi interpretasi secara obyektif  sesuai dengan data dan fakta yang ditemukan di lapangan, dan berupaya pula menghubungkan antara fakta yang satu dengan dengan fakta lainnya, sehingga dapat melahirkan kesimpulan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pondok pesantren sebagai sub kultur masyarakat  menggunakan pendekatan akomodatif dan membuka diri terhadap  pelaksanaan budaya ritual keagamaan masyarakat sekitar pondok pesantren, mereka mengambil peran penting dalam pelaksanan budaya ritual keagamaan yang digelar masyarakat. (2) Terdapat budaya ritual keagamaan masyarakat  yang tidak lagi dilaksanakan, dan ada juga yang sudah jarang dilaksanakan. Salah satu faktor pendukung pergeseran budaya ritual itu adalah adanya pencerahan-pencerahan sepiritual yang dilakukan warga pondok pesantren.
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa budaya ritual keagamaan masyarakat sekitar pondok pesantren mempunyai pengaruh positif terhadap pembinaan santri. Pengaruh tersebut berupa penambahan  kegiatan belajar ekstra kurikuler dalam mempersiapkan santri mengikuti  dan mengemban amanah dalam pelaksanaan budaya ritual keagamaan masyarakat.


Kata kunci : budaya ritual keagamaan.

PENERAPAN TEORI GESTALT (COGNITIVE GESTALT FIELD) PADA MATA KULIAH METODOLOGI PENGAJARAN AGAMA ISLAM DI JURUSAN DAKWAH STAIN KENDARI

A.    PENDAHULUAN
Teori Gestalt adalah anak dari aliran belajar psikologi kognitif. Teori belajar kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar Gestalt. Peletak dasar psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer (Masdin, 2007:64), yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya ini didikuti oleh Kurt Koffka yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan; kemudian Wolfgang Kohler yang meneliti tentang insight pada simpanse. Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan Psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum Gestalis berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Orang yang belajar, mengamati stimulus dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah.
Konsep penting dalam teori Gestalt adalah tentang insight. Menurut Woolfolk (1995) insightadalah pengamatan/pemahaman mendadak terhadap hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha”atau “oh, I see now”. Kohler menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan menghadapkan simpanse pada masalah bagaimana memperoleh pisang yang terletak diluar kurungan atau tergantung diatas kurungan. Dalam eksperimen itu, Kohler mengamati, bahwa kadangkala simpanse dapat memecahkan masalah secara mendadak, kadangkala gagal meraih pisang, kadangkala duduk merenungkan masalah, dan secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah.
Menurut Wertheimer dalam Masdin (2007:65) seorang Gestalis yang mula-mula menghubungkan pekerjaan dengan proses belajar dikelas. Dari pengamatannya, ia menyesalkan metode menghafal disekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis. Menurut pandangan Gestaltis, semua kegiatan belajar (baik pada simpanse maupun pada manusia) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan. Tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.
B.     DESKRIPSI TENTANG “TEORI”
Mengenai apakah teori itu, telah ada kesepakatan diantara para ahli, tetapi juga ada beberapa perbedaan pendapat. Kesepakatan yang telah diterima secara umum, bahwa teori merupakan suatu set atau sistem pernyataan (a set of statement) yang menjelaskan serangkaian hal. Ketidaksepakatannya terletak pada karakteristik pernyataan tersebut. (Sukmadinata, 2001:17)
Diantara sekian banyak pendapat yang berbeda,  ada tiga kelompok karakteristik utama sistem pernyataan suatu teori. Pertama, pernyataan dalam suatu teori bersifat memadukan (unifying statement). Kedua, pernyataan tersebut berisi kaidah-kaidah umum (universal preposition). Ketiga, pernyataan bersifat meramalkan (predictive statement). Karakteristik memadukan (unifying statement) banyak disetujui oleh para perumus teori, seperti yang dikemukakan Kaplan (1964:295).
A theory is a way of making sense of a distrubing situation, so as to allow us most effektivelly to bring to bear our reverfoice of habits, and even more inportent, to modify habist or discard them together, reflacing new ones as the situation demands. And the reconstructed logic, acordingly, theory will appear as the device for interpreting, criticizing, and unifying established laws, modifying them to fit data unanticipated in their formation, and guiding the enterprise of discofering new and more powerful generalizations.
Hall dan Lindzey (1970:11) menekankan yang sama yaitu sifat unifying, seperti mereka nyatakan bahwa”...a theory is set of conventions that should contain a cluster of relevant assumption systematically related to each other and a set of empirical devinitions”.
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Snow (1973:78).
In ist simplest form, a theory is a symbolic intruction designed to bring generizable fact (or laws) into systematic connection. It consist of : a) a set of units (facts, concepts, variables), and b) a system of realitonships among the units.

Dengan  bermacam-macam rumusan teori itu diharapkan sampai pada suatu kesimpulan, walaupun bersifat tentatif bahwa suatu teori lahir  dari suatu proses, yang berbeda dengan yang lainya. Suatu teori hanya menjelaskan yang terbatas, teori lain menjelaskan yang lebih luas.
Teori menjelaskan suatu kejadian. Kejadian ini bisa sangat luas atau sangat sempit. Suatu kejadian yang dijelaskan suatu teori menunjukan suatu set yang universal. Set universal ini dibentuk oleh tiga bagian. Bagian pertama, kejadian yang diketahui, yang dinyatakan sebagai fakta, hukum, atau prinsip. Bagian kedua yang dinyatakan sebagai asumsi, proposisi, dan postulat. Bagian ketiga adalah bagian dari set universal atau bagian dari keseluruhan yang belum diketahui.
Beauchamp (1975:15) membedakan tiga kelompok istilah, yaitu “ general language terms, basic concepst, dan theoritical contructs”. General language term merupakan istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu pengetahuan atau bahasa secara umum. Istilah-istilah tersebut tidak perlu didefinisikan secara operasional karena telah dikenal secara umum. The basic concept merupakan istilah-istilah yang sangat dasar dan penting dalam menjelaskan suatu set kejadian, oleh karenanya perlu didefinisikan secara operasional. Sebagai contoh, istilah molekul dalam kimia, istilah kurikulum dalam pendidikan. Yang ketiga adalah theoretical costruct, yang akan dijelaskan merupakan istilah yang punya makna khusus dalam set kejadian yang akan dijelaskan suatu teori, tetapi tidak dapat diketahui melalui pengamatan langsung. Contoh istilah minat, kebutuhan dalam pengajaran.
C.    FUNGSI “TEORI”
Menurut Sukmadinata (2001:20) minimal ada tiga fungsi teori yang sudah disepakati para ilmuan yaitu (1) mendeskripsikan, (2) menjelaskan, dan  (3) memprediksi.
Dalam usaha mendeskripsikan, menjelaskan, dan membuat prediksi, para ahli terus mencari dan menemukan hukum-hukum baru dan hubungan-hubungan baru diantara hukum-hukum tersebut. Melalui proses demikian mungkin terjadi di dalam suatu “set kejadian”’ semua hukum dan interealasinya dapat dinyatakan dalam teori telah berkembang menjadi hukum yang lebih tinggi. Para ahli mencari hubungan baru dengan menggabungkan beberapa “set kejadian’ menjadi suatu “set kejadian yang baru yang lebih universal’. Hal itu mendorong pencarian dan pengkajian selanjutnya, untuk menemukan hukum-hukum baru dan hubungan baru dalam suatu teori baru. Fungsi yang lebih besar dari suatu teori adalah melahirkan teori baru.
Mouly (1970:70) mengemukakan ciri-ciri suatu teori yang baik, yaitu;
  1. 1.      A theoretical system must permit deduction which be tested empirically.
  2. 2.      A theory must be compatible both with obsevation and with prepeously validated theories,
  3. 3.      Theories must be stated in simple trems, that theory is best which explain the most in the simplest form,
  4. Scientific theories must be based on empirical facts and realitonships.
  1. D.    TEORI GESTALT
Dalam teori belajar ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field. Teori belajar pertama dari Cognitive Gestalt Field adalah teori insight. Aliran ini bersumber dari psikologis gestalt Field. Menurut mereka belajar adalah proses pengembangan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk stuktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra dari atau perasaan tentang pola-pola atau hubungan.
To state it differently, instigh is the sensed way through or of problamatic situation.... we might say an insight is a kind of intelligen feel we get about a situation that permits us to continue to strive actively to sarve our purposes. (Bigge dan Hunt, 1980:293).
Teori belajar goal insight berkembang dari psikologi configurationlism. Menurut mereka, individu selalu berinteaksi dengan lingkungan. Perbuatan individu selalu bertujuan, diarahkan kepada pembentukan hubungan dengan lingkungan. Belajar merupakan usaha untuk mengembangkan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman yang bermutu tinggi (tingkat tinggi) adalah pemahaman yang telah teruji, yang berisi kecakapan menggunakan suatu objek, fakta, proses, ataupun ide dalam berbagai situasi. Pemahaman tingkat tinggi memungkinkan seseorang bertindak inteligen, berwawasan luas, mampu memecahkan berbagai masalah.
Teori belajar cognitive field (teori Gestalt) bersumber pada psikologi lapangan (field psikology), maka dari itu teori Gestalt sering juga dikatakan sebagai teori lapangan atau field theory, dengan tokoh utamanya Kurt Lewin. Individu selalu berada dalam suatu lapangan psikologis yang oleh Lewin disebut life space. Dalam lapangan ini selalu ada tujuan yang ingin dicapai, dan motif yang mendorong pencapaian tujuan dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi.  Perbuatan individu selalu terarah kepada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena itu sering dikatakan perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah berhasil mencapai suatu tujuan maka timbul tujuan lain yang ingin dicapai dan berada dalam life spacebaru. Setiap orang berusaha mencapai perkembangan dan pemahaman yang terbaik didalam lapangan psikologisnya masing-masing. Lapangan psikologis terbentuk oleh interelasi yang simultan dari orang-orang dan lingkungan psikologisnya di dalam suatu situasi. Tingkah laku seseorang pada suatu saat merupakan fungsi dari semua faktor yang ada yang saling tergantung pada yang lain.
Teori Gestalt berpendirian bahwa keseluruhan lebih dan lain daripada bagian-bagiannya, bahwa manusia adalah organisme yang aktif berusaha mencapai tujuan, bahwa bertindak atas berbagai pengaruh didalam dan di luar  individu.
Menurut teori Gestalt seorang belajar jika ia mendapat insightInsight itu diperoleh bila ia melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi itu, sehingga hubungan itu menjadi jelas baginya dan dengan demikian dapat memecahkan masalah yang timbul.
Menurut Nasution (1982:46) timbulnya insight tergantung pada :
  1. Kesanggupan, kematangan dan intelegensi individu. Anak-anak yang terlampau muda atau bodoh tidak sanggup memecahkan suatu soal karena tidak memperoleh “insight” dalam seluk beluk masalah itu.
  2. Pengalaman seseorang. Seorang montir lebih muda memperoleh insight dalam soal-soal mesin daripada guru besar ang tak mempunai pengalaman di bidang itu.
  3. Sifat atau taraf kompleksitas situasi. Kalau situasi itu terlampau kompleks, kita tidak sanggup memperoleh insight sehingga masalah itu tak terpecahkan.
  4. Latihan. Dengan latihan-latihan kita dapat mempertinggi kesanggupan memperoleh insight dalam situasi-situasi yang bersamaan yang telah banyak dihadapi sebelumnya.
  5. 5.        Trial-and-error. Sering tak segera kita lihat jalan untuk memecahkan suatu masalah. Setelah mengadakan beberapa percobaan kita mendapat gambaran yang lebih jelas tentang hubungan antara berbagai unsur dalam problema itu, sehingga akhirnya kita memperoleh insight dan kita pecahkan masalah itu.
E.     PENERAPAN TEORI GESTALT PADA MATA KULIAH METODOLOGI PENGAJARAN AGAMA ISLAM DI JURUSAN DAKWAH STAIN KENDARI
Sebelum dibahas lebih lanjut tentang penerapan teori Gestalt pada mata kuliah Metodologi Pengajaran Agama Islam di Jurusan Dakwah STAIN Kendari, lebih dulu kita mengenal mata kuliah yang akan diterapkan dari anak dari aliran psikologi kognitif ini. Mata kuliah Metodologi Pengajaran Agama Islam adalah mata kuliah muatan lokal pada jurusan Dakwah STAIN Kendari, mata kuliah ini diajarkan pada semester V (lima) pada program studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) dan Bimbingan penyuluhan Islam (BPI). Sebenarnya mata kuliah ini adalah mata kuliah ketarbiyahan namun dijadikan sebagai mata kuliah muatan lokal oleh jurusan Dakwah dengan maksud apabila suatu saat alumni Dakwah mengambil akta IV maka diharapkan mata kuliah ini dapat menjadi pondasi yang cukup sebagai awal untuk memasuki lingkungan ketarbiyahan tersebut.
Mengajar mahasiswa yang notabene bukan berada pada lingkungan ketarbiyahan perlu penerapan teori yang pas sebab orientasi awal mereka bukanlah menjadi seorang guru, selain itu dosen diperhadapkan pada suatu realita bahwa mata kuliah ini bertujuan untuk mendidik calon pendidik. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui konsep dalam pengajaran pendidikan agama Islam. Oleh karena itu dosen diharapkan mampu memberikan teladan yang baik dan jangan selalu beranggapan bahwa dialah yang paling benar sebab bila ini terjadi maka mereka akan berlaku sama kelak pada anak-anak murid mereka ketika mereka telah memasuki dunia pendidikan baik formal maupun informal. Ajaklah mereka menanamkan prinsip bawalah mereka kedunia kita dan antarkan dunia kita kedunia mereka (DePorter, 2001 : 6) agar mahasiswa mempunyai pola pikir bahwa murid bukanlah objek penderita, yang selalu tidak tahu apa-apa dan guru adalah makhluk terpintar didalam kelas.
Sebelum mengajar mata kuliah ini hal terpenting lain yang harus diperhatikan oleh dosen adalah mengetahui aspek-aspek yang akan dicapai dalam belajar. Menurut A.De Block ada tiga aspek yang harus dicapai dalam belajar yaitu : (1) aspek kognitif, yang mencakup pengetahuan dan kemahiran-kemahiran intelektual, (2) aspek dinamik-afektif, yang mencakup perasaan, minat, motivasi, sikap kehendak, nilai. (3) aspek sensorik motorik meliputi proses pengamatan dan gerakan-gerakan motorik (Winkel,1999:62).
Teori Gestalt memberikan beberapa prinsip belajar yang berharga yang coba kami terapkan dalam pengajaran mata kuliah Metodologi Pengajaran Agama Islam, antara lain :
  1. Manusia bereaksi terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya. Untuk prinsip ini maka mahasiswa diarahkan untuk mampu berkomunikasi dengan baik, mengedepankan kesantunan dan dilatih secara mental agar dapat berbicara didepan umum agar tidak ada rasa canggung dalam mengajar nantinya.
  2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Pada prinsip kedua ini, mahasiswa diharapkan dapat bertindak dan berbuat sesuai dengan apa yang dipelajarinya dan dari lingkungan disekitarnya serta dapat belajar dari pengalaman.
  3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan dari foetus atau bayi dalam kandungan sempai dewasa. Dalam tiapfase perkembangan manusia itu senantiasa manusia lengkap yang berkembang dalam segala aspek-aspeknya. Untuk itu mahasiswa harus di pacu untuk lebih banyak tahu hari ini daripada hari kemarin dengan cara memberikan pengertian bahwa ilmunya tidak boleh jalan ditempat tetapi harus di tambah dengan banyak membaca referensi lain di luar referensi yang di berikan di kelas.
  4. Belajar adalah perkembangan ke arah deferensial yang lebih luas. Pada prinsip ini kita mengarahkan mahasiswa untuk memecahkan masalah dengan melihat masalah itu secara keseluruhan dan kemudian bagian-bagiannya, yang dilatih adalah cara siswa menganalisis segala persoalan.
  5. Belajar hanya berhasil bila tercapai kematangan untuk memperoleh insight. Untuk itu mahasiswa diarahkan untuk memecahkan masalah didalam kelas dalam bentuk diskusi agar pemahamannya datang dari mereka sendiri.
  6. Belajar tidak mungkin tanpa kemauan untuk belajar. Dosen harus terus memotivasi mahasiswa, sebab motivasi memberi dorongan yang menggerakkan seluruh organisme.
  7. Belajar berhasil kalau ada tujuan yang mengandung arti bagi individu. Pada prinsip ketujuh ini, mahasiswa dapat diberikan pengertian bahwa mata kuliah Metodologi Pengajaran Agama Islam sangat berguna jika mereka ingin terjun ke dunia pendidikan baik formal maupun informal, dan berguna bagi mereka ketika telah berumah tangga, serta bagaimana untuk mengajarkan anak-anak mereka, agar mereka antusias di dalam proses perkuliahan.
  8. Dalam proses belajar, anak itu senantiasa merupakan suatu organisme yang aktif, bukan suatu bejana yang harus diisi, atau suatu otomat yang digerakkan oleh orang lain. Prinsip kedelapan ini merupakan acuan bagi dosen mata kuliah Metodologi Pengajaran Agama Islam untuk memberikan keleluasaan bagi mahasiswa untuk mengembangkan buah fikiran mereka, tanpa batas; dan menganggap mahasiswa sebagai partner di dalam berteori bukan sebagai makhluk yang paling tahu di kelas.
Di dalam penerapan teori Gestalt (teori lapangan) pada mata kuliah Metodologi Pengajaran Agama Islam, dosen harus menerapkan konsep bahwa belajar dirangsang dengan adanya suatu problema, masalah atau soal, agar insight dalam diri mahasiswa dapat keluar dari persembunyiannya dan mencoba mencari pemecahan masalahnya. Bagaimanakah seseorang memecahkan masalah itu. Dewey dalam Nasution (1982:47) melihat dalam pemecahan masalah itu ada 5 langkah yaitu :
  1. Menyadari adanya suatu masalah. Kita harus memahami apa masalahnya. Kita harus dapat merumuskannya, sehingga masalah itu mendapat batasan yang jelas. Selanjutnya masalah itu harus dianalisis.
  2. Memajukan hipotesis. Hipotesis adalah jawaban atau jalan yang mungkin memberi pemecahan masalah itu.
  3. Mengumpulkan data atau keterangan dengan mengadakan bacaan atau mencarinya dari sumber-sumber lain seperti observasi, eksperimen.
  4. Menilai dan mencobakan hipotesis itu. Dengan keterangan-keterangan yang diperoleh ada kemungkinan salah satu hipotesis itu memberi jalan ke arah pemecahan masalah itu.
  5. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau berbuat sesuatu berdasarkan pemecahan soal itu.
Cara memecahkan masalah seperti diatas disebut the method of intelelligence, the method of problem solving, atau the scientific method yakni metode dengan menggunakan intelegensi, metode pemecahan masalah, atau metode ilmiah, sebab banyak dilakukan dalam pemecahan masalah-masalah ilmiah.
Menurut Nasution (2003:101), teori Gestalt atau “lapangan” mengutamakan proses, memecahkan masalah. Namun tiap proses belajar memerlukan bahan pelajaran tertentu. Namun proses dan produk tidak dapat dipisahkan.
F.     PENUTUP
Para ahli psikologi lapangan sangat mengutamakan pelajar dalam proses belajar. Individu dianggap sentral dalam proses itu. Proses belajar bukan hanya sekedar akumulasi pengetahuan, yaitu menambah suatu segmen pengetahuan  kepada pengetahuan yang telah ada. Teori Gestalt berpendapat bahwa keseluruhan lain dan lebih daripada jumlah bagian-bagiannya. Perubahan pada satu aspek akan mempengaruhi keseluruhan pribadi anak.
Dalam belajar mahasiswa tidak hanya menumpuk pengetahuan. Adakalanya tejadi “lompatan” yang disebut insight atau pemahaman/penalaran tiba-tiba. Masukan informasi baru diproses secara mental dengan informasi yang tersimpan dalam ingatan dan dapatlah terjadi insightatau pemahaman baru.
Insight ini berbeda bagi tiap individu walaupun masing-masing dihadapkan dengan informasi baru yang sama. Ini terjadi oleh sebab tiap individu mempunyai life space atau ruang hidup yang berbeda-beda. Ruang hidup terbentuk oleh keseluruhan pengalaman seseorang selama hidupnya. Life space ini mempengaruhi cara orang mempersepsi dunia sekitarnya dan dengan demikian mempengaruhi proses belajarnya.
Karena teori lapangan sangat mementingkan individu maka penganutnya cenderung menganjurkan memupuk konsep diri yang positif bagi pelajar. Konsep diri yang positif memberi pengaruh yang baik sedangkan sebaliknya konsep diri yang negatif menghalangi proses belajar. Peranan setiap pengajar adalah sedapat mungkin meningkatkan konsep diri setiap pelajar dalam tulisan ini yang di maksud adalah mahasiswa.
Menilik hal tersebut penulis berkesimpulan bahwa teori Gestalt dengan konsep insight-nya adalah suatu teori yang pas diterapkan dalam proses belajar mengajar pada mata kuliah Metodologi Pengajaran Agama Islam di Jurusan Dakwah STAIN Kendari.

KESULITAN BELAJAR SISWA Masalah dan Solusi Edukatifnya

Pada prinsipnya setiap siswa berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa yang lainnya.
Sementara itu penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah pada umumnya ditujukan kepada siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang berkategori “di luar rata-rata” itu tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang disebut dengan kesulitan belajar (learning difficulty).
Kesulitan belajar dapat pula dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
  1. a.   Faktor penyebab kesulitan belajar (learning difficulty).
Fenomena belajar siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya (hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam suatu bidang studi tertentu dengan menggunakan tes belajar). Namun, kesulitan belajar juga dapat dilihat dari munculnya kelainan perilaku (misbehavior).
Faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar yang mempengaruhi hasil belajar siswa terdiri atas dua macam, yakni :
  1. Faktor Intern
Faktor intern maksudnya adalah faktor dari dalam diri siswa yang mempengaruhi hasil belajarnya, seperti faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan. Faktor jasmaniah meliputi: kesehatan, cacat tubuh/badan seperti tuli, buta, lumpuh, dan sebagainya. Faktor psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, sikap, kematangan dan kesiapan. Faktor kelelahan, dapat dibedakan atas:
a)    Kelelahan jasmani, ditandai dengan lemah lunglainya tubuh mengakibatkan timbulnya kecenderungan untuk membaringkan tubuh.
b)    Kelelahan rohani, ditandai dengan adanya kelesuan, kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk berajar menjadi kurang atau hilang.
  1. Faktor Ekstern
Faktor Eksternal dimaksudkan adalah faktor dari luar diri siswa yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, yang dapat menimbulkan kesulitan belajar, dapat dikelompokan atas tiga faktor yaitu:
1)    Faktor dari lingkungan keluarga, dapat berupa;
a)    Cara orang tua mendidik;
b)    Relasi/ ahubungan antara anggota keluarga;
c)    Suasana dalam rumah tangga;
d)    Kebudayaan atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam rumah tangga;
e)    Perhatian orang tua/ wali; dan
f)     Keadaan sosial-ekonomi orang tua termasuk tingkat pendidikan orang tua/wali.
2)    Faktor dari sekolah, dapat berupa antara lain:
a)    Metode mengajar guru;
b)    Cara guru mengelola kelas;
c)    Relasi guru dengan siswa;
d)    Disiplin sekolah; dan
e)    Alat-alat pelajaran/ perlengkapan sekolah.
3)    Faktor dari masyarakat
Ada beberapa hal yang mempengaruhi hasil belajar siswa dalam hubungannya dengan masyarakat, antara lainl:
a)    Bentuk kehidupan masyarakat
Apabila orang-orang berada dalam masyarakat tidak terdiri, permabukan/ minum minuman keras, penjudi, pencuri dan lain-lain sebagainya, turut mempengaruhi siswa yang berada dalam masyarakat tersebut.
b)    Teman bergaul
Teman yang memberi efek negatif terhadap kegiatan belajarnya.
Selain dua faktor diatas, adapula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara faktor-faktor yang di pandang sebagai faktor khusus ialah sindrom psikologis berupa ketidakmampuan belajar (learning disability).
  1. b.  Diagnosis kesulitan belajar (learning difficulty).
Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini di kenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.
Ada beberapa langkah-langkah yang dapat dilakukan guru dalam mendiagnosa kesulitan belajar siswa, diantaranya seperti yang dikemukakan Wardani dalam Muhibbin (1999:143) sebagai berikut :
  1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran
  2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar
  3. Mewawancarai orang tua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar
  4. Memberikan tes diagnostic tes kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.
  5. Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.
    1. c.   Kiat Mengatasi kesulitan belajar (learning difficulty).
Banyak alternatif yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi sebelum pilihan tersebut diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa lagkah penting meliputi :
  1. Menganalisis hasil diagnosis
  2. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan
  3. Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching.
Wertheimer dalam Masdin (2007:65) menyesalkan metode menghafal disekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis. Hafalan bagi sebagian besar siswa adalah salah satu faktor kesulitan belajar. Menurut pandangan Gestaltis, semua kegiatan belajar (baik pada simpanse maupun pada manusia) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan. Tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.
Hal terpenting lain yang harus diperhatikan oleh seorang guru yang harus dipahami sebelum mengajar untuk meminimalisasi kesulitan belajar yang akan di hadapi oleh siswa adalah mengetahui aspek-aspek yang akan dicapai dalam belajar. Menurut A.De Block ada tiga aspek yang harus dicapai dalam belajar yaitu : (1) aspek kognitif, yang mencakup pengetahuan dan kemahiran-kemahiran intelektual, (2) aspek dinamik-afektif, yang mencakup perasaan, minat, motivasi, sikap kehendak, nilai. (3) aspek sensorik motorik meliputi proses pengamatan dan gerakan-gerakan motorik (Winkel,1999:62).
Untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami oleh siswa, guru harus dapat menyadari beberapa prinsip belajar yang berharga yang kemudian terapkannya di dalam kelas, antara lain :
  1. Manusia bereaksi terhadap lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya. Untuk prinsip ini maka siswa diarahkan untuk mampu berkomunikasi dengan baik, mengedepankan kesantunan dan dilatih secara mental agar dapat berbicara didepan umum.
  2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Pada prinsip kedua ini, guru mengarahkan siswa agar dapat bertindak dan berbuat sesuai dengan apa yang dipelajarinya dan dari lingkungan disekitarnya serta dapat belajar dari pengalaman.
  3. Manusia berkembang sebagai keseluruhan dari foetus atau bayi dalam kandungan sempai dewasa. Dalam tiapfase perkembangan manusia itu senantiasa manusia lengkap yang berkembang dalam segala aspek-aspeknya. Untuk itu siswa harus di pacu untuk lebih banyak tahu hari ini daripada hari kemarin dengan cara memberikan pengertian bahwa ilmunya tidak boleh jalan ditempat tetapi harus di tambah dengan banyak membaca referensi lain di luar referensi yang di berikan di kelas.
  4. Belajar adalah perkembangan ke arah deferensial yang lebih luas. Pada prinsip ini kita mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah dengan melihat masalah itu secara keseluruhan dan kemudian bagian-bagiannya, yang dilatih adalah cara siswa menganalisis segala persoalan.
  5. Belajar hanya berhasil bila tercapai kematangan untuk memperoleh insight. Untuk itu siswa diarahkan untuk memecahkan masalah didalam kelas dalam bentuk diskusi agar pemahamannya datang dari mereka sendiri.
  6. Belajar tidak mungkin tanpa kemauan untuk belajar. Guru harus terus memotivasi siswa, sebab motivasi memberi dorongan yang menggerakkan seluruh organisme.
  7. Belajar berhasil kalau ada tujuan yang mengandung arti bagi individu. Pada prinsip ketujuh ini, siswa dapat diberikan pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan sangat berguna jika mereka ingin terjun ke dunia pendidikan baik formal maupun informal, dan berguna bagi mereka ketika telah berumah tangga, serta bagaimana untuk mengajarkan anak-anak mereka, agar mereka antusias di dalam proses belajar-mengajar.
  8. Dalam proses belajar, anak itu senantiasa merupakan suatu organisme yang aktif, bukan suatu bejana yang harus diisi, atau suatu otomat yang digerakkan oleh orang lain. Prinsip kedelapan ini merupakan acuan bagi guru untuk memberikan keleluasaan bagi siswa untuk mengembangkan buah fikiran mereka, tanpa batas; dan menganggap siswa sebagai partner di dalam berteori bukan sebagai makhluk yang paling tahu di kelas.
Di dalam kelas, guru juga harus menerapkan konsep bahwa belajar dirangsang dengan adanya suatu problema, masalah atau soal, agar insight dalam diri siswa dapat keluar dari persembunyiannya dan mencoba mencari pemecahan masalahnya. Hal ini lebih efektif untuk mendewasakan siswa dalam memecahkan masalah dan mengurangi kesulitan belajar siswa. Bagaimanakah seseorang memecahkan masalah itu. Dewey dalam Nasution (1982:47) melihat dalam pemecahan masalah itu ada 5 langkah yaitu :
  1. Menyadari adanya suatu masalah. Kita harus memahami apa masalahnya. Kita harus dapat merumuskannya, sehingga masalah itu mendapat batasan yang jelas. Selanjutnya masalah itu harus dianalisis.
  2. Memajukan hipotesis. Hipotesis adalah jawaban atau jalan yang mungkin memberi pemecahan masalah itu.
  3. Mengumpulkan data atau keterangan dengan mengadakan bacaan atau mencarinya dari sumber-sumber lain seperti observasi, eksperimen.
  4. Menilai dan mencobakan hipotesis itu. Dengan keterangan-keterangan yang diperoleh ada kemungkinan salah satu hipotesis itu memberi jalan ke arah pemecahan masalah itu.
  5. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau berbuat sesuatu berdasarkan pemecahan soal itu.
Cara memecahkan masalah seperti diatas disebut the method of intelelligence, the method of problem solving, atau the scientific method yakni metode dengan menggunakan intelegensi, metode pemecahan masalah, atau metode ilmiah, sebab banyak dilakukan dalam pemecahan masalah-masalah ilmiah.
Menurut Nasution (2003:101), tiap proses belajar memerlukan bahan pelajaran tertentu. Namun proses dan produk tidak dapat dipisahkan.
Sumber bacaan :
Masdin. (2007). Psikologi Belajar. Kendari: Unhalu Press.
Muhibbin, Syah. (1999), Psikologi Belajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Nasution, S. (2003). Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Nasution, S. (1982). Didaktik Azas-Azas Mengajar. Bandung: Jemmars.
Wingkel. (1999). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo.

DAKWAH DALAM MASYARAKAT PLURAL:

RINGKASAN DISERTASI

Judul           : DAKWAH DALAM MASYARAKAT PLURAL:
Peranan Tokoh Agama dalam Memelihara Harmoni Sosial Hubungan Antarumat Beragama di Kendari
Nama           : La Malik Idris
Latar Belakang
Pluralitas agama di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Masyarakat Nusantara, sejak dahulu kala telah menjadi sasaran misi dakwah, dan penyiaran agama-agama besar dunia, seperti Hindu, Budha, Nasrani (Katolik dan Protestan), Kong Hu Chu, dan Islam.
Agama-agama tersebut memang diakui secara resmi oleh negara RI sebagai agama yang menjadi anutan masyarakat, dan agama Islam merupakan anutan mayoritas penduduk Indonesia (88,21%). Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan oleh umat Islam atau pun pemerintah untuk tidak menghormati apalagi mendiskreditkan agama-agama lain.
Abad ke-21 melahirkan tantangan beragam. Isu globalisasi, demokratisasi, pluralisme, dan dalam keadaan tertentu berbagai benturan kebudayaan diramalkan akan terjadi. Tokoh agama sesungguhnya mempunyai peran-peran strategis di era global tersebut, dan dakwah Islam mempunyai cita moral dalam pembangunan peradaban manusia yang bergerak begitu cepat ke arah pluralitas dengan beragam budaya bahasa, dan agama, sebagai akibat dari perkembangan modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi. Banyak konflik dan ketegangan di zaman ini yang disulut oleh perbedaan pandangan agama. Agama yang semestinya mendatangkan keadilan dan kebahagiaan, namun dalam perjalanannya justru sering diperalat untuk melanggengkan penindasan dan perampasan hak-hak sesama manusia. Hal ini sangat boleh jadi karena pemahaman keberagamaan masyarakat telah terkontaminasi oleh limbah kepentingan dengan aroma politik, budaya, dan ekonomi yang menyengat. Oleh karenanya, demi terciptanya hubungan yang harmonis pada tataran eksternal diharapkan ada dialog yang bersahaja antarumat beragama. Sedangkan dalam tataran internal agama diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang lebih menyentuh kemanusiaan yang universal.
Dalam konteks masyarakat Kendari, sebagaimana tipologi masyarakat daerah lain di Indonesia memiliki pluralitas yang tinggi dalam budaya, sebab secara demografi daerah ini dihuni oleh beragam etnik dan agama. Keragaman tampak dalam ikatan kesukuan, bahasa, etnis budaya, agama, dan berbagai varian lainnya.
Meskipun kemajemukan di satu sisi memiliki potensi konflik, namun kondisi obyektif Kendari secara umum masih tercipta suasana harmoni sosial yang memadai dibanding dengan daerah-daerah berpotensi konflik lainnya. Nampaknya ada peran yang dimainkan oleh para tokoh agama di daerah ini, namun belum diketahui secara pasti bagaimana peranan para tokoh agama dalam upaya memelihara harmoni sosial melalui aktivitas dakwah mereka. Hal ini menjadikan penelitian ini penting dilakukan, mengingat peranan tokoh agama dipandang paling signifikan dalam menciptakan pemahaman agama di tengah masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa arah dan bentuk pemahaman keagamaan suatu masyarakat tergantung pada pemahaman tokoh agamanya. Sejauhmana pemahaman tokoh agama mengenai pentingnya hubungan antar keyakinan akan berpengaruh signifikan bagi umatnya dan dakwah mereka. Sedangkan luasnya wawasan, pandangan, dan pemahaman tokoh agama tentang ajaran agama sangat ditentukan oleh latar belakang (back ground) kedalaman ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dilaluinya  (frame of reference dan field of experience).
Selain alasan tersebut, dapat dikemukakan bahwa meskipun konflik SARA seperti yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan Poso hingga saat ini tidak berdampak langsung di Kendari, namun sebagai upaya preventif sekaligus untuk mempersempit ruang dan potensi konflik, maka dipandang penting untuk sesegera mungkin menata pemahaman umat beragama tentang arti penting inklusivitas, dan hal ini hanya dapat dilakukan melalui peran-peran strategis yang dimainkan oleh para tokoh agama melalui dakwah.
Upaya preventif seperti yang diutarakan di atas sangat beralasan terutama bila mengingat bahwa konflik SARA di Ambon yang terjadi pada tahun 1999 secara individu-individu banyak melibatkan masyarakat etnik Buton, Bugis, Muna, dan Makassar sebagai rumpun etnik yang banyak mendiami Kendari, selain etnik Tolaki yang menjadi etnik asli di daerah ini. Rumpun etnik tersebut masih memiliki hubungan emosional kekerabatan apalagi di antara mereka ada yang telah pindah dari Ambon ke Kendari (sebagai eksodus) pasca kerusuhan dan membuat pemukiman baru. Selain itu, dari sudut pandang geografis, konflik yang terjadi di Poso sangat boleh jadi berimbas pada masyarakat di Kendari, mengingat kedua daerah tersebut masih berada dalam satu wilayah besar pulau Sulawesi yang secara geografis berdekatan.
Diakui bahwa harmoni sosial di Kendari sampai sekarang masih terpelihara dengan indikasi ada peran yang dimainkan oleh tokoh agama di daerah tersebut, yaitu menjadikan dakwah sebagai piranti dalam menyebarluaskan ajaran Islam. Melalui dakwah nampaknya cukup ampuh untuk menjadikan ajaran Islam tersosialisasi dengan baik, sehingga dapat memberikan solusi atas berbagai problem yang dihadapi masyarakat terutama dalam kaitannya dengan upaya memelihara harmoni sosial. Hal tersebut menjadi dasar bagi pentingnya memberikan apresiasi terhadap peranan tokoh agama melalui penelitian ini, agar dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya peranan mereka dalam memelihara harmoni sosial hubungan antarumat beragama di Kendari melalui strategi dakwah yang mereka lakukan.

Masalah
Untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai permasalahan pokok dalam penelitian ini, maka dijabarkan dalam sub-sub masalah yang rumusannya sebagai berikut:
  1. Bagaimana sikap/pandangan tokoh agama di Kendari terhadap keberadaan pihak lain dalam hubungan antarumat beragama di tengah masyarakat plural?
  2. Bagaimana strategi dakwah tokoh agama di Kendari dalam upaya memelihara harmoni sosial di daerah tersebut?

Tujuan dan Kegunaan
Tujuan utama yang ingin dicapai pada penelitian ini, yaitu:
  1. Ingin mengetahui secara mendalam pandangan tokoh agama di Kendari terhadap keberadaan pihak lain dalam hubungan antarumat beragama di tengah masyarakat plural.
  2. Ingin mengetahui strategi dakwah yang dilakukan oleh tokoh agama di Kendari dalam upaya memelihara harmoni sosial masyarakat plural di daerah tersebut.
Kegunaan penelitian ini, yaitu:
  1. Kegunaan Ilmiah: Pertama, sebagai informasi atau referensi dan data banding bagi para peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis. Kedua, sebagai upaya pengembangan keilmuan,  khususnya dalam bidang dakwah dan komunikasi.
  2. Kegunaan Praktis: Pertama, bagi para penentu kebijakan, khususnya pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait seperti Departemen Agama, penelitian ini dapat dijadikan sebagai data atau informasi penting guna melakukan upaya-upaya preventif bagi kemungkinan terjadinya konflik agar harmoni sosial tetap terpelihara. Kedua, bagi para tokoh agama dan praktisi dakwah, penelitian ini dapat berguna sebagai masukan dan referensi dalam rangka memantapkan strategi dakwah dan meningkatkan peran strategisnya terutama dalam memelihara harmoni sosial di tengah masyarakat plural.Ketiga, bagi masyarakat pada umumnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya menjadikan masyarakat hidup dengan rukun, damai dan adil, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam hidup bersama di tengah pluralitas kultur dan agama.
Metode
Penelitian ini pada dasarnya bersifat eksplanatoris. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada grounded research dengan menggunakan suatu teknik yang disebut constant comparation, yaitu sewaktu peneliti berada di lapangan, selalu berusaha menumbuhkan kategori-kategori dan konsep-konsep berdasarkan data yang diperoleh sebagai bangunan analisis.
Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah pandangan tokoh agama di Kendari terhadap keberadaan pihak lain dalam hubungan antarumat beragama serta strategi dakwah tokoh agama tersebut dalam upaya memelihara harmoni sosial masyarakat plural di Kendari. Data tersebut bersumber dari hasil wawancara dan observasi pada 30 tokoh agama Islam di Kendari yang terdiri dari:. Pertama, tokoh agama yang secara keorganisasian memimpin organisasi keagamaan atau lembaga dakwah tertentu. Kedua, tokoh independen, yang karena ilmu pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang dimilikinya maka ia sangat reaktif dan responsif (bersifat tanggap dan ikut serta) dalam urusan dakwah dan keumatan sehingga secara independen ia melaksanakan tugas-tugas dakwah baik melalui ceramah, khutbah jumat, maupun dalam bentuk pengajian atau tablig. Sedangkan data sekunder adalah gambaran umum lokasi penelitian, bersumber dari dokumen-dokumen tertulis yang diperoleh dari Kantor Departemen Agama Kota Kendari dan Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara dan BPS Kota Kendari.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologi normatif, pendekatan fenomenologi dan pendekatan fungsional struktural. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi partisipasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Kerangka Pikir
Kata plural berarti “more than one”, lebih dari satu, atau banyak. Dalam perkembangannya istilah ini kemudian digunakan untuk menunjukkan suatu paham religiusitas yang struktur fundamentalnya mengacu pada pengertian tentang keragaman agama-agama, dan dari keragaman tersebut masing-masing mengandung kebenaran dan secara substansial dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya. Lebih dari itu kaum pluralis tidak saja meyakini adanya kemajemukan (dalam agama) melainkan terlibat aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Di tengah pluralitas agama, kaum pluralis harus bersyaratkan satu hal, yaitu komitmen yang kokoh dan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri belajar dan menghormati mitra dialognya, akan tetapi yang penting ia harus commited terhadap agama yang dianutnya.
Dalam perspektif Islam, masyarakat pluralistik merupakan pengalaman paling dini dari historisitas keberagamaan Islam era ke-Nabian. Masyarakat pluralistik sudah terbentuk dan telah menjadi kesadaran umum pada saat itu. Keadaan demikian sudah sewajarnya lantaran secara kronologis Islam memang muncul setelah berkembangnya agama Hindu, Budha, Katolik, Yahudi, Majusi, dan Zoroaster. Untuk itu dialog antar iman termasuk tema sentral Qurani.
Sebagai upaya meminimalisasi dampak dan implikasi negatif dari sifat truth claim para pemeluk agama, maka al-Qur’an sejak mula diwahyukan, mengajak kepada seluruh penganut agama dan pemeluk Islam untuk mencari titik temu (kalimat sawâ) di luar aspek teologi yang memang sudah berbeda sejak dari semula. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perennial, yang abadi tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu tersebut salah satunya dapat dilakukan melalui reinterpretasi atau rekonstruksi ulang pemahaman umat beragama tentang hakikat suatu kebenaran, yang bukan merupakan monopoli golongan tertentu, melalui pintu para tokoh agama masing-masing agama.
Paling tidak ada empat cara pandang yang kemudian melahirkan sikap hidup beragama dari masyarakat beragama itu sendiri dalam melihat dan mempraktekkan keberagamaan mereka, yaitu: (1) sikap eksklusif, (2) sikap toleran (3) sikap inklusif, dan (4) sikap pluralis.
Sikap eksklusif adalah suatu sikap atau paham yang dianut dan dihayati oleh kelompok sosial yang mengandung makna “terpisah dari yang lain khusus dan tidak mencakup”  Ketika menjadi suatu paham disebut ekslusivisme, yaitu paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat dan memiliki kecenderungan untuk melihat kelompoknya sebagai satu-satunya kelompok yang ada. Komunitas agama yang eksklusif memandang, bahwa hanya agamanya saja yang paling benar untuk semua orang, agama lain dengan sendirinya salah. Penganut agama lain kadang dianggap sebagai agama yang harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi.
Sebagai pandangan yang “tertutup”, eksklusif dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitueksklusif absolut dan eksklusif relatif. Eksklusif absolut adalah pandangan yang mengacu pada suatu pemahaman, yang secara sederhana melihat kebenaran hanya terdapat dalam tradisi agama sendiri, sekaligus memandang agama dan kepercayaan orang lain adalah keliru atau tidak benar. Pandangan ini merupakan pandangan umum yang diperpegangi oleh umat beragama, termasuk di dalamnya umat Islam. Adapun kelanjutan eksklusif absolut, yaitueksklusif relatif, paham ini muncul sebagai akibat dari tradisi keberagamaan yang terlalu menekankan eksklusif absolut. Pandangan eksklusif relatif berangkat dari kerangka konseptual yang berdiri di atas landasan berfikir, bahwa berbagai sistem kepercayaan agama tidak dapat dibandingkan satu sama lain karena orang harus menjadi “orang dalam” untuk dapat mengerti kebenaran masing-masing agama.
Sikap hidup beragama lainnya yang muncul dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia adalah sikap toleran atau toleransi beragama. Sikap toleran berada satu tingkat di atas sikap eksklusif. Jika eksklusif mengandaikan ketertutupan serta memandang agama orang lain adalah salah dan pada kondisi tertentu memungkinkan untuk diperangi atau dimusnahkan, maka sikap toleran adalah sikap yang berdiri di atas pemahaman yang didasari oleh rasa saling hormat namun secara prinsip masih memegang keyakinan, bahwa hanya agamanyalah satu-satunya kebenaran.
Sebagai anti tesis dari sikap eksklusif adalah sikap inklusif. Bila eksklusif mengandaikan ketertutupan dalam melihat dan memandang idiologi yang berbeda, maka inklusif adalah sikap yang sebaliknya. Inklusif adalah suatu pandangan yang terbuka dalam menyikapi suatu kenyataan di luar lingkungannya dan memandangnya sebagai suatu kenyataan yang harus diakui dan diperhitungkan keberadaannya, diberi perhatian bukan untuk mereduksinya tetapi untuk menghargai dan memberi apresiasi yang berimbang terhadap realitas tersebut. Sebagai suatu sikap di dalam kehidupan beragama, inklusif tidak saja mengejawantah dalam rumusan teoritis tetapi juga dalam tindakan. Inklusif memandang, bahwa agama yang dianut dan diyakini bukanlah satu-satunya kebenaran yang mesti diperuntukkan kepada semua orang, tetapi juga memandang, bahwa mereka yang berada di luar lingkungan agamanya juga memiliki aspek-aspek kebenaran yang penting dan baik untuk diperhatikan. Sebagai suatu realitas,eksklusif dan inklusif, dalam aspek-aspek tertentu tidak harus disikapi sebagai dua hal yang bertentangan atau berlawanan, melainkan sebagai dua sikap yang dapat saling berhubungan satu sama lain. Hubungan tersebut dapat terjalin dengan baik bila yang kedua (inklusif) menjadi perkembangan dari yang pertama (eksklusif).
Adapun sikap beragama berikutnya adalah pluralis, yang berpandangan bahwa selain kebenaran agama yang dianutnya, agama-agama lain juga memiliki kebenaran sebagaimana kebenaran agama yang diyakini. Bahkan kebenaran agama lain dapat memperkaya kehidupan rohani bagi yang tidak memeluk agama tersebut. Memang tidak semua kebenaran atau nilai-nilai yang ada dalam suatu agama dapat seluruhnya diserap oleh kelompok budaya lain karena terdapat kebenaran yang khas menjadi milik suatu agama dan budaya. Ketika sampai batas ini manusia mengembangkan sikap paralelis, menerima bahwa ada perbedaan tetapi pada saat yang sama, ia menghormati perbedaan dan tidak begitu saja mengambil alihnya.
Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan MUI dalam teks fatwanya yang disampaikan dalam Munas ke-7 di Jakarta pada tanggal 25-29 Juli 2005. Dalam fatwa tersebut pluralisme agama diartikan sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, dan oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Lebih lanjut MUI menyatakan bahwa dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam artian haram mencampurkan antara akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Akan tetapi dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif dalam artian tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Pada zaman modern sekarang terdapat beragam respon yang dikemukakan oleh penganut-penganut agama terhadap orang lain agama. Ninian Smart menyederhanakan menjadi lima kategori;   (1) eksklusif absolut, (2) ekslusif relatif, (3) inksklusif hegemonistik, (4) pluralis realistik, dan (5) pluralis regulatif.
Kategori pertama yaitu eksklusif absolut, merupakan pandangan umum yang terdapat dalam banyak agama. Pandangan ini secara sederhana melihat kebenaran sebagai hanya terdapat dalam tradisi agama sendiri sedangkan agama lain dipandang sebagai sesuatu yang keliru. Wawasan ini agaknya sangat rigid untuk dijadikan sandaran dalam upaya menciptakan harmoni sosial untuk tidak menyatakan berbahaya. Kesulitannya menurut Smart, adalah bahwa setiap orang dapat membuat klaim kebenaran semacam ini sehingga dapat berimplikasi bagi lahirnya benih-benih konflik, bahkan jika setiap tradisi agama menekankan pada posisi eksklusif absolut akhirnya akan jatuh pada ekslusif relatif.
Kategori keduaeksklusif relatif berpandangan bahwa berbagai sistem kepercayaan agama tidak dapat dibandingkan satu sama lain karena orang harus menjadi orang dalam untuk dapat mengerti kebenaran masing-masing agama. Karenanya setiap keyakinan agama tidak pernah mempunyai akses terhadap kebenaran agama lain. Lebih lanjut Smart menyatakan bahwa posisi dan cara pandang ini sangat riskan untuk dipertahankan sebab dapat merusak kebenaran itu sendiri.
Kategori ketigainklusif hegemonistik mencoba melihat ada kebenaran yang terdapat dalam agama lain, namun menyatakan prioritas pada agamanya sendiri. Pandangan ini banyak ditonjolkan dalam berbagai dialog antarumat beragama. Smart memasukkan sikap Islam ke dalam kategori inklusif hegemonistik karena di dalam agama ini terdapat pengakuan terhadap agama Kristen dan Yahudi sebagai agama wahyu dan dalam hukum Islam kelompok non muslim diberi suatu otonomi parsial di dalam keseluruhan sistem Islam.
Kategori keempat, disebut dengan pluralis realistik, yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa setiap agama merupakan jalan hidup yang berbeda-beda atau merupakan berbagai versi dari satu sumber kebenaran yang sama yaitu Tuhan. Gagasan ini mulanya dilontarkan oleh Swami Vivikenada pada Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago tahun 1893. Menurutnya suatu kebenaran mempunyai level-level di mana pada level yang lebih tinggi Yang Maha Mutlak tidak bisa diekspresikan pada level lebih rendah. Dia muncul dalam sebutan God, Allah dan seterusnya. Sebagaimana Vivikenada, Smart yang berangkat dari teori Copernicus, menyatakan bahwa agama seperti planet-planet yang mengorbit di sekitar Yang Maha Nyata, tiap-tiap agama memiliki pandangan tersendiri mengenai hakikat Tuhan, yang betapapun merupakan suatu noumena terhadap mana agama-agama empiris dapat dikatakan sebagai fenomenanya.
Kategori kelima, pluralis regulatif, merupakan pandangan bahwa sementara berbagai agama memiliki nilai-nilai dan kepercayaan masing-masing, mereka mengalami suatu evolusi historis dan perkembangan ke arah suatu kebenaran bersama, hanya saja kebenaran bersama tersebut belum lagi terdefinisikan. Pandangan ini tampak jelas dalam berbagai dialog antar agama yang tidak menentukan bagaimana hasil akhir dari dialog tersebut.
Berbeda dengan gagasan di atas, A. Mukti Ali dalam merespon pluralitas beragama mengajukan lima konsep, yaitu:
Pertama semua agama adalah sama dan disebut sebagai sinkretisme, yaitu berbagai aliran dan gejala-gejala yang mencoba mencampurkan segala agama menjadi satu dan menyatakan bahwa semua agama pada hakekatnya adalah sama. Di Indonesia paham ini juga hidup subur, terlihat pada ajaran kejawen. Menurut Ali, dari segi teologi dasar sinkretisme ialah pandangan yang tidak melihat adanya garis batas antar Khalik dan makhluk-Nya. Pandangan ini tidak dapat diterima karena menyamakan Khalik dengan makhluk.
Kedua, yaitu dengan jalan reconception, artinya menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasinya dengan agama lain. Gagasan ini pertama kali diluncurkan oleh WE. Hocking dalam Living Religion and a World Faith. Menurutnya agama adalah bersifaf pribadi dan bersifat universal juga. Dengan jalan ini orang makin mengenal agamanya sendiri dan akan melihat bahwa inti yang baik dari agamanya itu terdapat juga dalam agama-agama lain. Dengan dimasukkannya unsur-unsur agama lain ke dalam agama sendiri maka segalanya akan berkembang ke arah satu persatuan dan akan tercapai suatu consociation suatu koeksistensi religius. Di sini agama besar bagaikan sungai-sungai mengalir menjadi satu. Pemikiran ini tidak dapat diterima karena agama di sini menjadi produk pemikiran manusia, padahal agama adalah wahyu yang memberi petunjuk kepada akal manusia bukan sebaliknya.
Ketiga, dengan jalan sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari berbagai agama supaya tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis itu. Dengan jalan ini orang menduga bahwa kehidupan pemeluk agama akan menjadi rukun. Pemikiran ini juga tidak dapat diterima karena agama punya latar belakang sejarah sendiri-sendiri yang tidak bisa disintesiskan.
Keempat, jalan penggantian, ialah mengakui bahwa agamanya sendiri yang benar sedang agama lain salah dan berusaha agar orang lain masuk ke dalam agamanya. Agama yang hidup dan berbeda dengannya harus diganti dengan yang ia peluk dan dengan itu ia menduga bahwa kerukunan hidup beragama baru dapat tercipta. Pendapat ini pun tidak dapat diterima dalam masyarakat yang majemuk, akan timbul intoleransi karena orang akan berusaha dengan segala cara untuk menarik orang lain ke dalam agamanya.
Kelima, jalan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan). Seseorang percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan benar di antara yang lainnya, selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Berdasarkan pengertian itulah akan menimbulkan sikap saling menghargai antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lainnya dan berusaha agar tindak laku lahirnya sesuai dengan ucapan batinnya yang merupakan dorongan agama yang ia peluk.
Selanjutnya mengenai konsep strategi dakwah dalam tulisan ini adalah upaya-upaya (cara) untuk mencapai goal atau apa yang menjadi tujuan dakwah itu sendiri. Cara dimaksud memiliki empat unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Pertama, fact finding, yaitu upaya mendapatkan data yang sesungguhnya mengenai kondisi obyektif masyarakat sebagai obyek dakwah. Keduaplanning (perencanaan) sekaligus merumuskan tujuan yang hendak dicapai dengan menentukan tahapan-tahapan skala prioritas. Ketiga,actuating (melaksanakan kegiatan dakwah baik berupa bi al-kitâbah, bi al-lisân, maupun bi al-hâl). Keempat, evaluating, yaitu mengukur seberapa besar keberhasilan dakwah sertacontroling, yaitu mengukur pelaksanaan dengan tujuan-tujuan, menentukan sebab-sebab penyimpangan dan mengambil tindakan korektif.
Strategi dakwah tersebut seyogyanya dilakukan oleh tokoh agama dalam rangka memelihara harmoni sosial. Harmoni sosial dimaksud adalah suatu konsep keharmonisan hubungan yang dinamis dari tiga aspek, yaitu kondisi antara kelompok berbeda yang dinamis, rukun/selaras, dan saling menguntungkan/seimbang, dan keharmonisan hubungan tersebut dapat terjadi tidak harus dengan melebur identitas etnik, budaya, atau agamanya sendiri.
Dalam rangka memelihara harmoni sosial, maka pesan dakwah ditekankan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, cinta kasih, tolong menolong, toleransi, tenggang rasa, kebajikan, menghormati perbedaan pendapat, dan sikap-sikap kemanusiaan yang mulia lainnya. Dalam dakwah yang demikian ditanamkan sikap dan kesadaran dewasa dalam menghadapi perbedaan agama dan perilaku keagamaan. Antarumat beragama bersatu menentang ketidakadilan, status quo, monopoli dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya. Paradigma dakwah ditekankan pada aspek emansipatoris, transformasi sosial, mengapresiasi humaniora dan pembentukan kesadaran pada obyek dakwah (masyarakat mad’u) agar tercipta suasana harmoni sosial. Pesan atau materi dakwah yang demikian tentu saja dapat mengacu pada tiga aspek pokok ajaran Islam, yaitu masalah akidah, syariat/ibadah, dan ahlak.

Pembahasan dan Temuan
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan dapat dibentangkan beberapa poin penting yang merupakan kesimpulan atau temuan penelitian sebagai berikut.
Setting Sosial Masyarakat Kendari
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, penduduk Kendari berjumlah 200.467 jiwa. Dari jumlah tersebut, setidaknya ada 8 (delapan) suku bangsa yang teridentifikasi, yaitu: Bugis (48.580 jiwa = 24,23%), Tolaki (43.816 jiwa = 21,86%), Muna (40.107 jiwa = 20,01%), Buton (15.556 jiwa = 7,76%), Jawa (13.814 jiwa = 6,89%), Makassar (12.281 jiwa = 6,13%), Toraja (7.151 jiwa  = 3,56%), Maronene (1.900 jiwa = 0,95%). Sedangkan lainnya 17.262 jiwa (8,61%), termasuk suku Madura, Batak, dan Bajo yang belum teridentifikasi dengan baik, padahal suku-suku tersebut sudah lama mendiami kota Kendari. Suku Madura misalnya terbukti dengan adanya kelompok Paguyuban Keluarga Madura, begitu pula dengan suku Batak, sedang suku Bajo banyak mendiami berbagai pesisir Pantai di wilayah kecamatan Poasia.
Dilihat dari pluralitas agama, penduduk Kota Kendari pada tahun 2004 berjumlah 222.955 jiwa, di antaranya 207.043 jiwa (92,86%) adalah pemeluk agama Islam, sebanyak 4.770 jiwa (2,14%) pemeluk agama Katolik, sebanyak 8.956 jiwa (4,02%) pemeluk agama Kristen Protestan, sebanyak 1.487 jiwa (0,67%) pemeluk agama Hindu dan 619 jiwa (0,31%) adalah pemeluk agama Budha. Berdasarkan data terakhir (data tahun 2005), jumlah pemeluk agama di Kota Kendari berjumlah  226109 jiwa, masing-masing: Islam 209013 jiwa (92,44%), Katolik 4851 jiwa (2,15%), Protestan 10025 jiwa (4,43%), Hindu 1400 jiwa (0,62%), dan Budha 820 jiwa (0,36%). Dari data tersebut, jika dilihat dari fluktuasi persentasi pemeluk agama dari tahun 2004 ke 2005, nampaknya umat Islam mengalami penurunan angka sekitar 0,42%, Katolik mengalami kenaikan 0,01%, Protestan mengalami kenaikan 0,41%, Hindu  mengalami penurunan 0,05%, dan Budha mengalami kenaikan 0,05%. Sedangkan dilihat dari tempat ibadah yang tersebar di enam kecamatan berdasarkan data tahun 2006, yaitu: masjid 225 buah, musallah 27 buah, gereja Katolik 3 buah, gereja Protestan 15 buah, pura/wihara 4 buah.
Dengan demikian, Kendari secara historis telah meletakkan pluralitas (agama, budaya, bahasa, dan suku) sebagai ciri kekayaannya dalam rangka membangun dan memantapkan eksistensi sosial mereka sebagai masyarakat plural yang beradab. Kendari dikenal sebagai daerah yang memiliki institusi-institusi sosial yang mencuatkan toleransi agama. Bagi masyarakat setempat, Islam dan Kristen adalah dua realitas yang saling memperkaya keberadaan mereka sebagai masyarakat yang beradab. Karenanya masjid dan Gereja dibangun berdekatan, bahkan ada yang nyaris seatap*, dan masing-masing agama sama-sama memelihara rumah ibadah mereka masing-masing dengan tidak mengganggu yang lain dalam rangka tanggung jawab kultural sekaligus spiritualitasnya. Mereka merasa saling memiliki dan bertanggung jawab antara satu dengan lainnya. Tidak saja antara satu suku dengan suku lainnya, akan tetapi juga antar agama sebagai sesama warga masyarakat yang saling membutuhkan dan saling melengkapi. Bagi mereka kenyataan itu lebih bersifat sebuah “daya kodrati” yang memberikan titik pencerahan dalam memandang dan menata arah cita-cita kehidupan bersama.

Sikap/Pandangan Tokoh Agama terhadap Keberadaan Pihak Lain dalam Hubungan Antarumat Beragama
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun masih terdapat sebahagian (36,67%) tokoh agama di Kendari menganggap bahwa semua agama adalah sama sebagai jalan menuju keselamatan, namun 100% mereka tidak setuju untuk menjadi orang dalam (memeluk agama tertentu) atau pindah dari agama yang satu ke agama yang lain agar dapat mengerti kebenaran agama lain itu tersebut. Semua tokoh agama yang dimintai pandangannya menyatakan bahwa boleh mendalami atau mempelajari agama lain, akan tetapi tidak harus menjadi orang dalam, apalagi pindah dari agama yang satu ke agama yang lain. Seluruh tokoh agama (100%) secara tegas menolak konversi agama dari Islam ke agama yang lain. Hal ini telah mengantarkan tokoh agama di daerah ini keluar dari sikap eksklusif relatif atau relativis.
Meskipun demikian, umumnya mereka menolak paham eksklusif absolut (bersikap antipati terhadap pihak lain). Mereka juga menolak sikap “anti agama” yang dianut oleh orang lain, bahkan secara tegas menolak perilaku kekerasan atas nama agama dan atau memerangi agama lain tanpa sebab.
Meskipun mereka menganggap bahwa agama selain Islam adalah salah/keliru, dan Islam adalah agama universal, namun tidak semua tokoh agama di daerah ini (23,33%) menganggap Islam sebagai satu-satunya kebenaran yang mesti diperuntukkan bagi semua orang, meskipun yang berpandangan demikian tidak memilki alasan yang jelas.
Adapun mengenai penyebaran agama lain seperti kristenisasi, kalaupun ada sebagian tokoh agama yang setuju melakukan perlawanan atas penyebaran agama lain tersebut, itu pun menurut mereka jika penganut agama lain melakukan penyebaran agama kepada orang yang sudah beragama dengan cara-cara pemaksaan.
Selanjutnya meskipun tokoh agama di daerah ini mengakui adanya perbedaan antara Islam dengan agama-agama lainnya, namun perbedaan itu bagi mereka tidak menjadi penghalang untuk menghormati pihak lain. Terbukti 30 tokoh agama yang dimintai pandangannya atas hal ini 100% menyatakan penerimaan atas perbedaan dengan pihak lain. Bahkan secara tegas mereka menyatakan bahwa perbedaan pandangan tidak atau bukan menjadi penghalang untuk menghormati dan menghargai pihak lain.
Sebagai pemeluk agama yang paling benar (menurut anggapan sebagian mereka), tidak ada alasan untuk membenci pihak lain (agama lain). Justru perbedaan tersebut harus dihormati. Keyakinan yang demikian besar terhadap Islam juga tidak mengharuskan mereka untuk menarik atau mempengaruhi agama lain agar memeluk Islam.
Dalam menyikapi penyebaran agama lain, umumnya mereka tidak mempersoalkan jika hal itu dilakukan pada intern agamanya atau pada orang yang belum beragama. Akan tetapi jika penyebaran agama itu dilakukan pada umat Islam, maka hal itu menurut sebagian tokoh agama di daerah ini menyatakan perlu dicegah. Itupun jika cukup data bahwa mereka telah menyebarkan agama kepada komunitas agama lain.
Dengan demikian, jika sikap toleran dianggap sebagai suatu sikap yang berdiri di atas pemahaman yang didasari oleh rasa saling hormat tetapi secara prinsip masih memegang keyakinan bahwa hanya agamanyalah satu-satunya kebenaran, maka dai toleran merupakan klaim yang tepat diperuntukkan bagi tokoh agama di Kendari. Meskipun tokoh agama di daerah ini masih memperlihatkan adanya kecenderungan secara umum yang seakan masih jauh dari ciri-ciri inklusif (76,67% tidak memberikan ruang kebenaran terhadap pihak lain), dengan menolak untuk menyatakan bahwa Islam bukan satu-satunya kebenaran yang dapat diperuntukkan kepada yang lain, namun tidak menghalangi mereka untuk menghargai keberadaan pihak lain agama. Bahkan 90% tokoh agama secara tegas menyatakan bahwa agama selain Islam masih memiliki sisi-sisi kebenaran yang baik dan penting untuk diperhatikan.
Nampaknya terdapat kontradiksi mengenai pandangan mereka yang di satu sisi menyatakan bahwa Islam sebagai satu-satunya kebenaran yang diperuntukkan bagi semua orang, tetapi pada saat yang sama, mereka juga menyatakan bahwa agama di luar Islam masih memiliki aspek-aspek kebenaran yang penting dan baik untuk diperhatikan. Bahkan mereka juga menyatakan bahwa agama lain perlu dihargai serta diakui dan diperhitungkan keberadaannya. Dua hal yang disebutkan terakhir, justeru merupakan ciri inklusivitas, yang pada gilirannya tokoh agama di Kendari dapat dianggap sebagai dai inklusif meskipun belum sepenuhnya atau paling tidak sudah terdapat beberapa tokoh agama yang dapat dianggap sebagai dai inklusif.
Adapun tokoh agama yang menolak untuk menyatakan bahwa Islam bukan satu-satunya kebenaran yang diperuntukkan kepada yang lain, justeru pandangan tersebut sejalan dengan "komitmen" kuat para tokoh agama di daerah ini yang meyakini bahwa Islam sebagai satu-satunya kebenaran, meskipun pada saat yang sama mereka juga menolak untuk memaksakan keyakinan mereka, apalagi melakukan tindak kekerasan kepada orang yang berbeda dengannya.
Demikian halnya sikap/pandangan pluralis yang ditunjukkan oleh tokoh agama di daerah ini, meskipun belum sepenuhnya, karena masih menyimpan potensi sikap eksklusif absolut, yaitu masih terdapatnya 76,67% yang menyatakan bahwa Islam adalah sebagai satu-satunya kebenaran yang diperuntukan bagi semua orang. Juga pada saat yang sama masih memiliki ciri eksklusif relatif, terbukti 83,33% yang menyatakan persetujuannya atas pandangan bahwa kebenaran ada pada masing-masing agama dan berlaku untuk penganut agama itu.
Meskipun demikian, adanya komitmen yang kokoh serta rasa kepemilikan yang tinggi terhadap Islam sebagai agama yang mereka anut, apalagi mereka juga tidak mudah menyalahkan pihak lain, kedua hal tersebut merupakan modal pokok dari sikap pluralis, sehingga dapat dipastikan bahwa sikap pluralis tokoh agama di daerah ini telah ditapakinya. Selanjutnya persyaratan untuk dapat diklaim sebagai dai pluralis paling tidak telah dimiliki oleh sebagian tokoh agama di daerah ini. Dai pluralis yang dimaksud, adalah dai yang memiliki prototipe mampu menghormati dan menghargai perbedaan sebagai satu-satunya kenyataan yang niscaya. Ia bukan saja mampu menghargai perbedaan dan pandangan dalam satu keyakinan, tetapi ia juga mampu menghargai perbedaan keyakinan atau paham keagamaan yang berbeda dengannya. Dai demikian memiliki sikap dan pandangan bahwa selain kebenaran agama yang dianutnya, agama-agama lainnya masih memiliki sisi-sisi kebenaran yang perlu dihargai dan dihormati. Meskipun demikian ia tetap memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama yang diyakininya. Ia tetap menghormati perbedaan, akan tetapi tidak mudah mengambil alihnya.
Hal di atas dibuktikan oleh adanya pernyataan mereka tentang upaya melakukan sinkretisasi/pemaduan atas nilai-nilai dari masing-masing agama. Semua tokoh agama yang dimintai pandangan menyatakan tidak setuju jika unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama dijadikan bagian integral dari suatu agama tertentu atau agama baru.
Menurut mereka, tidak perlu ada tradisi baru yang elemen-elemennya diambil dari berbagai agama, karena akidah Islam sudah lengkap, akan tetapi perlu ada dialog dengan penganut agama lain. Bahkan menurut sebagian tokoh agama di daerah ini, umat Islam dari kecil harus ditanamkan akidah yang benar serta paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah karena Islam perlu kader intelektual yang agamis. Semua tokoh agama yang dimintai pandangannya menganggap bahwa Islam adalah agama yang paling baik dan sempurna di antara agama lainnya, sehingga tidak perlu lagi ada sinkretisasi. Menurut mereka antar Islam dengan agama lainnya selain terdapat segi-segi persamaan, juga terdapat perbedaan, namun hal itu bukan/tidak menjadi penghalang untuk menghargai pihak lain, apalagi dalam aspek sosial, agama di luar Islam masih memiliki aspek-aspek kebenaran yang penting dan baik untuk diperhatikan.
Dalam rangka membangun keberagamaan yang saling menyapa, tokoh agama yang dimintai pandangannya menyatakan bahwa perlu ada sesuatu yang menjadi perekat di dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan terutama masalah konflik, misalnya melalui dialog dengan mengemukakan titik-titik persamaan nilai-nilai kebenaran yang menjadi substansi ajaran masing-masing agama. Menurut mereka diskusi terbuka tentang kebenaran masing-masing agama diperlukan sebagai bentuk keterbukaan sikap terhadap pihak lain.
Secara umum tokoh agama di daerah ini memandang Islam sebagai agama yang “paling” benar, berdasarkan persepsi dan keyakinan mereka, namun demikian mereka tetap membuka ruang yang lebar untuk hidup secara bersama dan berdampingan dengan pihak lain yang berbeda dengannya (penganut agama lain). Dalam kategorisasi Smart pandangan yang demikian masih dikelompokkan sebagai pandangan yang eksklusif. Namun demikian, bila merujuk pada hakikat eksklusivitas yang secara definitif dimaknai; “terpisah dari yang lain khusus dan tidak mencakup”, dan ketika menjadi suatu paham disebut eksklusifisme, yaitu paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat dan memiliki kecenderungan untuk melihat kelompoknya sebagai satu-satunya kelompok yang ada, maka bila definisi eksklusif seperti di atas disandarkan sebagai tipologi sikap/pandangan tokoh agama di daerah ini, nampaknya tidak tepat. Karena kendatipun para tokoh agama (Islam) memandang keyakinan mereka sebagai suatu kebenaran absolut dibanding yang lainnya, tetapi mereka sepakat untuk menerima perbedaan dan menolak segala bentuk tindak kekerasan atas nama agama.
Adanya ruang kerelaan untuk menerima dan mengapresiasi perbedaan, sekaligus untuk hidup berdampingan secara damai dan harmonis, serta menolak perilaku dan tindak kekerasan antara sesama umat manusia, maka membuka ruang untuk menyatakan, bahwa pemahaman tokoh agama di daerah ini, kalaupun belum dapat dikatakan sebagai suatu bentuk dari karesteristik sikap/pandangan yang pluralis, akan tetapi celah untuk sampai pada ideologi tersebut telah ditapaki oleh para tokoh agama di Kendari, minimal untuk beberapa tokoh agama tertentu.
Dalam perspektif A. Mukti Ali, tipologi yang tepat untuk menggambarkan sikap/pandangan umum tokoh agama di daerah ini adalah sikap/pandangan yang mengacu pada jargon agree and disagreement, yaitu suatu corak yang kendatipun mereka meyakini dengan sepenuh keyakinan bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang paling benar dan baik, namun terhadap agama lain selain memiliki perbedaan dengan Islam sebagai agama yang dianutnya, juga memiliki sisi persamaan. Berdasarkan hal tersebut, maka sikap saling menghargai antara satu dengan lainnya dalam hubungan antarumat beragama menjadi sesuatu yang niscaya. Menyadari kenyataan tersebut maka masing-masing pemeluk agama dituntut agar tindak laku lahirnya sesuai dengan ungkapan nurani sebagai ekspresi dari dorongan nilai-nilai agama yang mereka yakini.
Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa secara empiris dan faktual, eksklusivitas sebagai suatu sikap dan cara pandang yang menyimpan potensi konflik sekalipun dalam bentuknya yang laten, tidak lagi menjadi ciri dominan paham keagamaan tokoh agama di daerah ini, sehingga kekhawatiran akan lahirnya konflik horizontal antarumat beragama sebagai implikasi imbas pemahaman dan pandangan tokoh agama, kecenderunganya semakin menipis. Meski demikian upaya untuk membentuk pemahaman tokoh agama yang lebih “inklusif” dan “pluralis” mesti tetap menjadi prioritas yang lebih dikedepankan pada masa-masa akan datang.

Strategi Dakwah Tokoh Agama di Kendari
1. Fact Finding
Fact finding sebagai suatu kegiatan mencari data faktual tentang kondisi sosial masyarakat yang menjadi mad'u untuk keperluan pelaksanaan dakwah, ternyata tokoh agama di Kendari kurang melakukannya dengan baik. Nampaknya hal ini disebabkan oleh karena dalam melakukan tugas dakwah dalam masyarakat hanya berdasarkan permintaan jamaah yang membutuhkannya, terkecuali bagi sebagian mereka yang memiliki obyek binaan dakwah yang menetap. Adanya kesulitan mengenali karakteristik mad'u dilihat dari berbagai varian, baik dari segi stratifikasi sosial ekonomi, pluralitas suku, bahasa, budaya, jenis kelamin, tingkat usia, maupun tingkat pendidikan, dan paham keagamaannya serta berbagai masalah yang melingkupinya, menyebabkan kesulitan pula dalam mengidentifikasi berbagai masalah yang mendesak untuk diterapi dengan pendekatan dakwah.
Tampaknya tokoh agama di daerah ini kurang melakukan proses identifikasi terhadap kondisi obyektif masyarakat yang menjadi mad'u-nya, apalagi untuk melakukan suatu proses penelitian yang lebih mendalam. Semua tokoh agama yang diteliti, ternyata pada kesempatan yang lain mereka juga sering diminta oleh masyarakat untuk berdakwah (ceramah, khutbah, dan sebagainya) di lokasi yang bukan menjadi daerah binaan rutinnya. Menurut mereka, untuk mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi obyek dakwah semacam ini hanya berdasarkan asumsi atau informasi sepintas dari yang mengundang. Sebelum ceramah biasanya mereka menggunakan waktu kurang lebih lima menit untuk sekedar menanyakan hal itu kepada yang mengundang atau salah satu jamaah yang dapat dipercaya, tentang kondisi obyek dakwah.
2. Planning
Apabila dilihat dari kualifikasi pengetahuan dan kemampuan tokoh agama yang diteliti yang juga sekaligus sebagai dai yang melakukan tugas-tugas dakwah di tengah masyarakat, semuanya berlatar belakang sarjana dari berbagai perguruan tinggi agama Islam, bahkan ada yang sementara S2 dan ada yang sudah selesai S2. Di samping itu ada yang berasal (alumni) pondok pesantren dan pembina pesantren. Akan tetapi tidak ditemukan pada mereka yang membuat kurikulum dakwah, baik dalam bentuk rumusan tahapan-tahapan skala prioritas tujuan yang dicanangkan maupun rumusan dalam bentuk sederhana seperti silabus yang selayaknya ada dalam rumusan program dakwah. Padahal kurikulum merupakan alat yang sangat penting untuk merealisasikan tujuan dan sekaligus menjadi instrumen dalam melaksanakan program dakwah.
Sebagian tokoh agama di daerah ini, dalam menentukan prioritas tujuan yang ingin dicapai, justru tidak berangkat dari apa sesungguhnya problem yang dihadapi atau dialami oleh masyarakat yang menjadi obyek dakwah untuk kemudian dicarikan solusinya melalui pendekatan dakwah yang sesuai.
Hal ini ditemukan pada tokoh agama yang tidak memiliki lokasi binaan dakwah tertentu dan menetap. Tokoh agama yang demikian di dalam melakukan tugas-tugas dakwah di masyarakat (seperti ceramah dan khutbah) hanya berdasarkan permintaan jamaah yang membutuhkannya dan bersifat temporer (tidak kontinyu pada satu tempat). Menurut tokoh agama yang demikian, tujuan dakwah yang dilakukannya adalah untuk meningkatkan pemahaman keagamaan masyarakat. Tujuan dakwah semacam ini tampaknya masih bersifat umum. Akibatnya, dakwah Islam hanya akan mampu memasuki daerah pinggir dari sistem kepribadian dan sosial, dan akhirnya kurang memberikan jawaban konkret terhadap permasalahan umat. Padahal menurut sebagian tokoh agama di daerah ini, proses dakwah selayaknya bermula dari usaha mempertanyakan kembali dasar asumsi yang memberikan orientasi sistem dakwah lalu membangun sistem kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Apalagi dakwah sebagai suatu proses yang tidak hanya merupakan usaha penyampaian saja, tetapi merupakan usaha untuk mengubah pemahaman (way of thinking), kesadaran (way of feeling), serta sikap dan pola hidup (way of life) manusia sebagai sasaran dakwah ke arah kualitas kehidupan yang lebih baik, yaitu terciptanya keharmonisan dan kebahagiaan dalam masyarakat.
Meskipun sesuai pengakuan tokoh agama di daerah ini bahwa di dalam menentukan metode dakwah disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi obyek dakwah, namun di dalam menentukan materi dakwah yang cocok bagi obyek dakwah, di antara mereka masih ada yang hanya berdasarkan asumsi atau persepsi dai terhadap mad'u. Ada pula yang berdasarkan permintaan serta ada yang disesuaikan dengan situasi aktual, serta ada pula yang hanya berdasarkan informasi sepintas dari yang mengundang.
Sementara itu, bagi tokoh agama yang mengakui dirinya kurang berpengalaman berdakwah di tengah masyarakat, menyatakan bahwa materi dakwah yang telah ditetapkannya sudah bersifat final, sehingga tidak pernah dirubah meskipun kadang berhadapan dengan situasi obyek dakwah yang seseungguhnya menghendaki adanya perubahan materi dakwah. Menurut tokoh agama yang demikian ini, jika materi diubah, dikhawatirkan justru akan berpengaruh negatif terhadap tingkat penguasaan materi dari dai bersangkutan yang pada gilirannya berimplikasi pada hasil yang diharapkan dan kredibilitas dai di masyarakat karena dianggap kurang menguasai materi.
Meskipun demikian, tokoh agama di daerah ini tetap mengakui bahwa realitas masyarakat plural di Kendari yang menunjukkan banyak perbedaan baik dari segi kultural maupun sosial, menuntut dai untuk dapat membaca mad'u dari berbagai aspek agar dapat mengetahui dari mana dakwah harus dimulai. Menurut mereka, dalam masyarakat plural, perbedaan karakter dan cara pandang mad'u dengan berbagai latar belakang mereka, menuntut dai untuk mampu mencari titik temu, sehingga dakwah yang disampaikan memiliki gelombang yang sama dengan alam pikiran mad'u. Itulah sebabnya, bagi tokoh agama di daerah ini lebih memilih menghindari atau tidak mengagendakan masalah-masalah khilafiyah sebagai materi dakwah untuk disampaikan pada forum terbuka seperti melalui khutbah jum'at dan sebagainya. Demikian pula masalah perbedaan paham keagamaan/keyakinan agama, menurut mereka hal tersebut dapat memicu konflik apalagi banyak masjid yang berdekatan dengan gereja. Bahkan dalam acara-acara tertentu, seperti halal bi halal yang dilaksanakan oleh kelompok peguyuban dan instansi pemerintah bukan saja dihadiri oleh komunitas beragama Islam.
3. Actuating  
Bagi tokoh agama di Kendari dalam rangka implementasi perencanaan dakwah maka program-program-program dakwah secara aplikatif dan spesifik dilaksanakan dengan menggunakan tiga metode: pertama, melaksanakan dakwah secara tertulis (bi al-kitâbah), baik dalam bentuk buku, maupun menulis kolom pada surat kabar, akan tetapi yang demikian ini hanya sebagian kecil yang melakukannya; kedua, melaksanakan dakwah secara lisan (bi al-lisân), baik dalam bentuk ceramah, khutbah, obrolan, diskusi/dialog, dan sebagainya; dan ketiga, melaksanakan dakwah bi al-hâl dalam bentuk percontohan/keteladanan, memelihara lingkungan, tolong-menolong sesama, membantu fakir miskin, memberikan pelayanan sosial, dan sebagainya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak banyak tokoh agama yang menggunakan semua metode dakwah yang telah dikemukakan di atas, akan tetapi hanya sebahagian di antara mereka. Dari keseluruhan bentuk-bentuk dakwah yang telah dikemukakan, menunjukkan bahwa tokoh agama di Kendari lebih banyak melakukan dakwah dalam bentuk ceramah/khutbah.
Mengenai peranan tokoh agama di Kendari dalam upaya memelihara harmoni sosial di daerah tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa dakwah yang dilakukan tokoh agama, baik pada saat ceramah di masjid, di masjlis ta'lim, acara perkawinan, peringatan hari-hari besar Islam, maupun melalui radio, dan televisi, bahkan melalui media cetak yang ditulis oleh sebagian di antara mereka, memiliki tiga kategori. Tiga kategori yang pada prinsipnya adalah merupakan inti pokok ajaran Islam itu adalah masalah akidah, masalah syariah/ibadah, dan masalah akhlak. Dalam hal akidah, materi dakwahnya mengarah ke penguatan akidah dan keyakinan yang kuat, tetapi bukan secara eksklusif, melainkan secara inklusif dalam arti agar obyek dakwah menjadi mampu untuk melihat yang baik, juga pada orang/keyakinan atau paham lain yang berbeda dengannya. Dalam hal syariah/ibadah, materi dakwahnya mengarah pada penguatan syariah/ibadah yang berdimensi vertikal-horizontal, lahir-batin, internal-eksternal, individual-sosial, ibadah kepada Tuhan yang dibarengi dengan kepekaan sosisal terhadap orang-orang yang menderita, tertindas dan tidak berdaya dari agama dan golongan manapun. Dalam hal akhlak, matei dakwahnya mengarah ke pandangan yang luas, yaitu pada kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, serta kemampuan untuk bersikap toleran yang dilandasi oleh nilai-nilai akhlaq al-karimah dalam hidup di tengah masyarakat plural, bukan pandangan yang sempit seperti primordialisme dan panatisme kelompok atau golongan tertentu.
Dengan demikian, dilihat dari keseluruhan materi dakwah yang disampaikan menunjukkan bahwa tokoh agama di Kendari, telah melaksanakan peranannya dengan baik. Mereka telah melaksanakan dakwah dalam masyarakat plural, baik dalam kapasistasnya sebagai mediator, motivator, maupun sebagai pembimbing moral dalam rangka memelihara harmoni sosial, berdasarkan asas dan cara yang dapat dibenakan oleh ajaran Islam. Hal ini didukung oleh temuan yang menunjukkan bahwa mereka ketika di hadapan jamaah yang menjadi obyek dakwahnya, bersikap ofensif (terbuka) dan komunikatif, sehingga tidak ada ruang untuk mengklaim mereka sebagai dai yang eksklusif, meskipun tentu upaya peningkatannya di masa depan merupakan sesuatu yang niscaya, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika perkembangan sosial masyarakat yang mengitarinya.
4. Controling/evaluating
Selanjutnya, dalah hal controling/evaluating, nampaknya para tokoh agama di Kendari belum melakukannya secara maksimal. Menurut mereka, untuk masalah controling baru pada tahap memperhatikan gejala-gejala yang ditunjukkan oleh obyek dakwah yaitu jika jamaah pendengar sudah ada yang mulai mengantuk atau ada suara berisik maka diupayakan untuk segera mengakhiri pesan dakwahnya. Demikian pula halnya dengan evaluating, menurut tokoh agama di daerah ini untuk dapat mengetahui sejauhmana keberhasilan dakwah yang telah dilakukan, baru pada tahap ukuran banyaknya undangan yang datang dari obyek dakwah yang membutuhkannya. Menurut sebagian mereka, semakin banyak undangan yang datang setelah dai tersebut berdakwah di lokasi tertentu, maka berarti dai tersebut dakwahnya berhasil. Hal ini tentu bukan merupakan satu-satunya indikasi dari suatu keberhasilan dakwah, jika kerangka keilmuan dakwah hendak diterapkan.

*Enam buah Masjid yang berdekatan dengan gereja (berjarak kurang lebih 50 meter) antara lain: 1) Masjid Raya lama dengan gereja GPIB Sumber Kasih; 2) Masjid Akbar Benu-benua dengan gereja GEP Sultra Imanuel; 3) Masjid Agung Al Kautsar dengan gereja GEP Sultra Oraet Labora;4) Masjid Al Mukarrabun dengan gereja Yesus Gembala; 5) Masjid At Taqwa Sodohoa dengan gereja Santaana; dan 6) Masjid Dakwah Wanita dengan gereja Protestan Bukit Zaitun. Masjid yang terakhir yang hanya bersebelahan dinding (nyaris seatap dengan gereja) atau hanya berjarak satu jengkal antara dinding Gereja dan dinding masjid.