PROSES INTEGRASI SOSIAL
MASYARAKAT MAJEMUK
(SEBUAH STUDI PADA MASYARAKAT KECAMATAN LANDONO)
Oleh: Irma Irayanti, M.Pd
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empirik bagaimana proses
integrasi sosial masyarakat majemuk di Kecamatan
Landono Kabupaten Konawe Selatan sebagai gambaran kehidupan masyarakat majemuk di
Indonesia.
Penelitian yang bersifat
eksplanatoris ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Melalui pendekatan
fenomenologi dan struktural fungsional, memusatkan telaahnya pada proses
kehidupan sosial masyarakat dalam upaya untuk berintegrasi diantara masyarakat
yang beretnis asli Tolaki, masyarakat transmigran dan pendatang lain di daerah
tersebut. Untuk dapat menemukan dan mendeskripsikan serta menjelaskan masalah
yang dikaji dalam penelitian ini, pengumpulan datanya dilakukan melalui wawancara
terarah yang mendalam, observasi, dan dokumentasi.
Hasil analisis
menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Landono dapat terintegrasi dengan baik
di tengah kemajemukan yang ada di daerah tersebut yang di dukung oleh faktor budaya yang berasal dari nilai-nilai budaya yang
bersumber dari akar kebudayaan bangsa yakni Pancasila, faktor kekerabatan melalui
perkawinan antar suku bangsa yang berbeda dan faktor kepatuhan
masyarakat pada pejabat serta penghargaan masyarakat Kecamatan Landono yang
tinggi terhadap kearifan lokal setempat.
Kata Kunci: Integrasi
Sosial dan Masyarakat Majemuk
I.
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat-istiadat dan agama. Menurut
Yaqin (2005 : 203-205) saat ini setidaknya penduduk Indonesia terdiri dari 101
suku (kelompok etnis) yang tersebar di seluruh nusantara dengan keadaan/geografis
yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 17.508 pulau terdiri atas berbagai suku, bahasa, adat istiadat dan agama.
Keanekaragaman sosial budaya, merupakan realitas alamiah yang dimiliki tanah
air kita sehingga bangsa Indonesia disebut sebagai masyarakat yang majemuk.
Keanekaragaman ini, merupakan kenyataan yang harus kita terima sebagai khazanah
kekayaan bangsa, namun disisi lain di dalam keanekaragaman dan pluralitas suku,
bahasa, adat istiadat dan agama juga mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat
menimbulkan konflik-konflik kepentingan antar kelompok, antar etnis, antar
agama dan antar wilayah (Zubir, 2001 : 47).
Abad ke-21
melahirkan tantangan beragam. Isu globalisasi, demokratisasi, pluralisme dan
dalam keadaan tertentu berbagai benturan kebudayaan diramalkan akan terjadi.
Tokoh agama dan masyarakat sesungguhnya mempunyai peran-peran strategis di era
global tersebut dan dakwah Islam mempunyai cita moral dalam pembangunan
peradaban manusia. Saat ini kehidupan bergerak begitu cepat ke arah pluralitas
dengan beragam budaya bahasa dan agama, sebagai akibat dari perkembangan
modernisasi, liberalisasi dan globalisasi. Di tengah gemerlap perubahan yang
dahsyat itu, bangsa Indonesia memperlihatkan sebaliknya, yakni kekerasan,
hilangnya toleransi (zero tolerance)
dan konflik (Idris, 2008 : 4). Konflik muncul, sebagian besar dipicu oleh
minimnya pemahaman keberagamaan, keanekaragaman etnik dan budaya yang pluralistik.
Kecamatan Landono
memiliki tingkat kemajemukan yang relatif tinggi dengan kedatangan para
transmigran dan para pendatang lain. Kemajemukan itu meliputi suku, agama dan
kebudayaan. Setidaknya terdapat sepuluh suku di dalam masyarakat Landono yaitu
Tolaki, Bali, Jawa, Madura, Sunda, Buton, Muna, Bugis, Toraja dan Makassar yang
tersebar di seluruh Kecamatan Landono. Sementara dari segi agama terdapat tiga
agama yang dianut masyarakat yaitu Islam, Hindu, dan Kristen Protestan. Dengan
jumlah sarana ibadah sebanyak 24 mesjid, 8 surau, 3 gereja Kristen Protestan dan
14 pura. Agama Islam merupakan
agama mayoritas penduduknya dengan 76,78
% kemudian Hindu dengan 21,13 % dan Kristen Protestan dengan 2,09 % sedangkan agama Kristen
Katholik dan Budha masing-masing 0 %. Dari adanya kemajemukan suku bangsa dan
agama maka secara tidak langsung masyarakat Landono juga memiliki kemajemukan
budaya yang dibawa oleh masing-masing etnis. Susunan masyarakat majemuk
seperti itu, merupakan suatu kondisi yang rentan terhadap konflik, dalam proses pembauran antara penduduk asli
Tolaki dengan para transmigran dan pendatang lain. Namun demikian,
masyarakatnya hidup berdampingan dan proses integrasi di kecamatan tersebut
berjalan dengan baik walaupun terdapat riak-riak konflik namun hal itu tidak
mengganggu keharmonisan hidup di masyarakatnya.
Dengan demikian, merupakan hal yang
menarik bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana proses integrasi sosial masyarakat majemuk yang ada di Kecamatan
Landono, apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat serta bagaimana
upaya peningkatan integrasi sosial masyarakat Kecamatan Landono.
Melalui penelitian ini diharapkan
dapat diperoleh deskripsi mengenai proses integrasi sosial pada masyarakat majemuk
sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya
menjadikan masyarakat hidup dengan rukun, damai dan adil, serta memiliki rasa
tanggung jawab dalam hidup bersama di tengah pluralitas kultur dan agama.
II. ACUAN
TEORITIS
Pola tingkah laku yang melekat pada masyarakat Kecamatan Landono yang
merupakan pembauran dari masyarakat lokal (orang Tolaki Landono), transmigran
dan pendatang lain, tergambar dari tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang tampak sekarang merupakan hasil dari suatu perubahan sosial budaya
yang telah terjadi dan dialami oleh mereka sejak awal. Untuk lebih mengetahui
lebih mendalam tentang perubahan itu, maka secara bersamaan hendaklah dipahami
tentang terjadinya perubahan stuktur masyarakat yang berkelanjutan. Dan, perubahan
sistem nilai budaya yang dianut dan dimengerti oleh orang yang mendukung budaya
itu. Hubungan timbal balik antara kedua aspek yang saling mempengaruhi perlu
dikenal secara tepat untuk memahami perubahan yang tejadi dalam berbagai
perantara sosial budaya pada suatu suku bangsa ( Smelser, 1971 : vi).
Hal yang menarik kemudian dinyatakan
Pierre L. van den Berghe dalam Leo Kuper dan M.G. Smith (1969 : 67-68) seputar
ciri dasar dari masyarakat majemuk seperti yang terjadi pada masyarakat Landono,
yaitu : (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang
seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain; (2) memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
nonkomplementer; (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya
terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; (4) secara relative seringkali
mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang
lain; (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di
dalam bidang ekonomi; (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompk atas
kelompok-kelompok yang lain.
Mengungkap perubahan struktur masyarakat di satu pihak dan perubahan
sistem nilai pihak lain memberi arti yang penting pada pemahaman sitem nilai
budaya yang dianut. Pengertian itu dapat ditemukan dan terakomodasi di berbagai
perantara sosial budaya masyarakat Kecamatan
Landono. Benturan itu menimbulkan pergeseran nilai budaya yang
dipercepat oleh adanya orientasi nilai yang berdimensi kognitif. Hal itu akan
terbaca dalam berbagai simbol yang telah dimengerti dan dikenal secara baik,
berdasarkan arti dan makna simbol yang telah dilegalisasi oleh masyarakat Kecamatan
Landono. Keadaan itu terlukis secara jelas dan mewarnai kehidupan mereka
sehari-hari sehingga masyarakat Kecamatan Landono menganggap hal tersebut
sebagai sesuatu yang wajar ketika menanggapi dan menghadapi berbagai tantangan
yang di temui dalam menyongsong berbagai perubahan. Kewajaran itu sangat
diperlukan untuk mengenal berbagai perubahan sistem nilai budaya yang tetap
bertranformasi dalam konfigurasi budayanya. Pijakan teori secara mendasar perlu
dikenal dan digunakan sebagai alat analisis. Teori ini adalah fungsional
stuktural (stuctural-functionalism),
konflik dan integrasi yang keduanya melandasi penulisan karya ini.
1.
Fungsional
Struktural
Pendekatan fungsional struktural digunakan secara awal, berdasarkan
penglihatan bahwa masyarakat Kecamatan Landono
yang terdiri atas orang tolaki Landono, para transmigran asal Jawa-Bali
dan orang pendatang lain yang merupakan masyarakat majemuk dalam wujud nyata di
masyarakat merupakan unit sosial yang sebenarnya saling kait dan bergantung
satu dengan yang lainnya secara erat. Penglihatan pada keadaan empirik pada
masyarakat majemuk dapat diduga pada awalnya terkait secara dinamik kedalam
bentuk equilibrium yang terpadu dan terintegrasi. Bahkan mereka saling
berhubungan secara fungsional. Dengan perkataan lain, bagian itu masing-masing
mempunyai nilai budaya tersendiri, namun satu dengan lainnya saling
mempengaruhi, bersifat ganda, timbal balik dan terikat dalam suatu nilai
nasionalisme yang lebih luas.
Disfungsi, ketegangan, dan konfik yang terjadi antara masyarakat majemuk
di Kecamatan Landono tidak dapat dielakkan. Namun dalam jangka panjang akan
kelihatan, keduanya akan berintegrasi berdasarkan nilai budaya yang telah
disepakati oleh pendukung kebudayaan itu melalui penyesuaian dan proses
institusionalisasi. Proses ini dapat dilihat secara gradual dalam mengahadapi
pengaruh luar yang memperlihatkan berbagai hal yang bersifat penyesuaian.
Dari gambaran tersebut di atas, permasalahan masyarakat Landono dapat
dianalisis pada tahapan awal dengan menggunakan teori fungsional struktural (structural- functionalism). Teori itu
telah dikembangkan oleh pakar antropologi. A.R
Radlliffe-Brown (lihat Staner, 1972 (1968), 13-14 : 285-289) dan
Bronislaw Malinowski (Bohannan dan Glazer, 1973 : 272-275). Pendekatan itu
dikembangkan berdasarkan cara pandang yang menyamakan masyarakat dengan
organisme biologis (organismic aproach).
Pikiran yang serupa juga dipakai oleh Herbert Spencer dan Emile Durkheim
(Parson, 1972 (1968), 3-4 : 311-319). Akhirnya pendekatan itu
mencapai perkembangan yang sangat populer dan berpengaruh dalam dunia sosiologi
yang dimotori oleh Talcold Parsons (Inkeles, 1964 : 34).
Untuk jelasnya, Radiliffe-Brown menyatakan bahwa : “the
life of a society can be conceived of as a dynamic fiduicary sytem of
interdependent element, functionally consistent with one another”
( Stanner, 1972 (1968), 13-14 :
287). Selanjutnya dinyatakan bahwa hubungan di antara anggota dari satu group masyarakat selalu disebutkan
dalam pernyataan : “unity”, “harmony”,
“consisteney”, atau solidarity”, bahkan secara tegas dikatakan : “we may define it as a conditional in which
all parts of the social system work together with a sufficient degree harmonyor
internal consistency...” (Radeliffe- Brown, 1952 : 181). Di samping itu, Malinowski dalam berbagai tulisannya
menyatakan bahwa element kebudayaan di
dalam suatu masyarakat menurut pandangan fungsional : “ denotes a relationship or interdependence between the parts of a
large whole, in that if one the elements is changed or removed the others will
be affected” (Hatch, 1973 : 315). Demikian juga pendapat Malinowski
tentang integrasi (integrationalism) disebutkan
melalui pandangan, “organic presentations”
menghasilkan “integrations between them”
(lihat selanjutnya tulisannnya tahun 1935, 1961/1922).
Dasar
cara pandang kedua pakar antropologi di atas
mempunyai kesamaan yang dilakukan oleh pakar sosiologi Parson. Dia juga
menyatakan bahwa masyarakat harus dilihat sebagai satu sistem yang komponennya
berhubungan, bergantung, dalam saling mengait yang secara fungsional
terintegrasi dalam bentuk equilibrium yang bersifat dinamis. Apabila ada
pertentangan, akan muncul nilai budaya yang akan mengintegrasikannya.
Pemunculan nilai budaya yang melandasi dalam rangka integrasi masyarakat
transmigrasi dan masyarakat lokal juga pendatang lain yang unik serta bagaimana
mereka melakukan proses integrasi, perlu ditemukan dan diungkap. Dengan
demikian teori struktur fungsional sangat relevan dalam analisis tahapan awal
dengan mempergunakan berbagai pandangan dasar untuk mengenal masalah masyarakat
majemuk.
Para penganut paham fungsionalisme struktural (Nasikun, 2004 : 13-15) menyatakan bahwa sistem sosial terintegrasi di atas dua landasan yaitu,
masyarakat yang terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental dan masyarakat yang terintegrasi oleh karena anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial. Hal tersebut dikenal dengan cross cuting affiliations yaitu adanya loyalitas ganda para anggota masyarakat. Hal ini akan meminimalisir terjadinya suatu konflik karena dengan adanya loyalitas ganda maka konflik yang akan segera dinetralkan.
masyarakat yang terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental dan masyarakat yang terintegrasi oleh karena anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial. Hal tersebut dikenal dengan cross cuting affiliations yaitu adanya loyalitas ganda para anggota masyarakat. Hal ini akan meminimalisir terjadinya suatu konflik karena dengan adanya loyalitas ganda maka konflik yang akan segera dinetralkan.
2.
Konflik dan
Integrasi
Dalam penelitian antropologi dan sosial, teori konflik dan integrasi juga biasa dipakai. Misalnya fokus
penelitian yang dilakukan oleh Malinowski yang dinilai oleh Hatch, (1973 :
313) bahwa “malinowski’s focus on
the individual was leading him to the view that social equilibrium or stability
is the outcome of competitive self interst”. Demikian juga cara
itu digunakan oleh Spradley dan Mecurdy (1930, 1977), dengan istilah comformity and conflict dan dalam
pendekatan sejarah disebut conflict and
accomodation (Sutherland,
1976 : 106). Pengamatan
konflik dan integrasi yang difokuskan pada masalah masyarakat majemuk di Kecamatan
Landono akan dapat dilihat dinamika keseharian mereka. Berarti konflik dan
integrasi melekat pada masyarakat itu sendiri dimana masyarakat lokal dan
pendatang merupakan unit dari sistem sosial yang nampak di masyarakat.
Pandangan itu menambah kekosongan yang merupakan kekurangan dari teori
fungsional struktural utamanya dalam melihat perubahan sosial. Para sosiolog
melihat bahwa menggunakan kedua teori ini mempunyai banyak manfaat dalam
melihat secara utuh suatu perubahan. Nasikun, berdasarkan pendapat van den
Berghe dan Devid Lockwood menyatakan bahwa kedua teori itu saling melengkapi
(2004 : 33-34).
Melalui pandangan para sosiolog, maka masalah masyarakat majemuk perlu
mendapat penajaman pandangan melalui teori konflik dan integrasi. Karena konflik
pada masyarakat majemuk di Kecamatan Landono, apabila dilihat dari teori
konflik dan integrasi adalah merupakan konflik sosisal. Struktur sosial itu
berhadapan dalam batas terpisah, seimbang, mempunyai aspek yang sama, setara
dalam realitas dan seimbang dengan
kekuatan masing-masing. Dalam realitas yang dapat dibaca pada berbagai tingkah
laku masyarakat Kecamatan Landono, ia tidak hanya berhadapan untuk
bertentangan, tetapi sekaligus mendorong terwujudnya integrasi dalam rasa
persatuan dan kesadaran untuk hidup berdampingan dalam menata masyarakat.
Baik Coser (1956), Gluckman (1973), Andaya (1984), dan lain-lainnya yakin
bahwa integrasi yang terjadi akibat konflik memungkinkan adanya kesamaan dalam
struktur sosial yang lebih luas. Kesamaan itu dianut oleh masing-masing pihak
disebabkan adanya unsur-unsur yang meredam konflik berupa sistem agama,
politik, dan adat istiadat bahkan sistem nilai budaya yang lebih luas sifatnya
(Rahman, 1988 : 14). Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa konflik yang
terjadi antara orang Tolaki Landono dan pendatang di Kecamatan Landono tumbuh
juga, diantaranya sesuatu nilai yang positif dan integratif yang membantu
terciptanya unsur-unsur yang dapat menghilangkan pertentangan antara hubungan
sosial.
Masalah
integrasi dan konflik di pemukiman transmigrasi merupakan dua sisi dari mata uang,
maka menurut Rahardjo (1984 : 32) menjelaskan bahwa masalah yang paling rawan
menyangkut konflik adalah masalah perbedaan agama. Namun di lain pihak
berdasarkan penelitian Litbang Departemen Transmigrasi di tahun 1978 menunjukan
bahwa agama di samping sebagai salah satu faktor untuk mempercepat proses
integrasi, sekaligus sebagai faktor penunjang proses interaksi yang asosiatif
di kalangan para transmigran itu sendiri maupun dengan penduduk asli. Sedangkan
menurut Martono (1985 : 45) aspek lain yang juga sangat penting dalam proses
integrasi di pemukiman transmigrasi adalah adaptasi nilai-nilai positif yang
merupakan dasar bagi terwujudnya kemajuan dalam pembangunan yaitu transfer of skill and technology.
Hal demikian itu nyata bila kita ingin mengamati berbagai hal yang
mendorong pula terjadinya dinamisasi. Orientasi yang berbeda antara masyarakat
lokal dan pendatang ada kalanya muncul pada tahapan yang sangat kritis dan
dapat membahayakan kehidupan sosialnya. Pada tahapan itu muncul pula nilai
budaya yang merupakan alat integrasi, dimana nilai budaya tersebut secara
gradual mengalami penyesuaian untuk mempersatukan masyarakat Kecamatan Landono demi
keharmonisan hidup mereka. Integrasi yang muncul akibat adanya penyesuaian
nilai budaya itu, sekaligus merupakan cerminan simbol dari masyarakat lokal dan
pendatang baik itu transmigrasi ataupun pendatang lain di Kecamatan Landono
sebagai simbol yang bermakna dan berarti bagi mereka sendiri. Perubahan ini
disebabkan adanya konflik dan kontradiksi internal. Dengan kata lain, perubahan
sosial yang terjadi justru banyak ditentukan dan terjadi dalam masyarakat itu
sendiri dimana konflik melekat padanya. Dengan demikian setiap kali masyarakat Kecamatan
Landono berhadapan untuk konflik juga sekaligus berhadapan untuk integrasi.
III.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan
Landono. Pemilihan Landono
sebagai lokasi penelitian dikarenakan tingkat kemajemukan masyarakatnya cukup
tinggi, di mana masyarakat Kecamatan Landono terdiri dari masyarakat asli yang
bersuku tolaki Landono, masyarakat transmigran asal Jawa-Bali dan masyarakat
pendatang lain (Buton, Muna, Bugis, Toraja dan Makassar). Informasi yang di
dapat melalui koordinator statistik Kecamatan Landono di ketahui bahwa dari
jumlah keseluruhan penduduk Landono yang sebesar 11.451 jiwa, di dapat
perbandingan sebesar 45% jumlah penduduk asli tolaki, 35% para transmigran dan
20 % pendatang lain. Dari prosentase tersebut diketahui bahwa jumlah pendatang
secara keseluruhan lebih banyak dari jumlah penduduk asli tolaki yaitu 55%
pendatang dan 45% penduduk asli tolaki.
Waktu penelitian dilaksanakan selama
tiga bulan mulai awal maret
2010 sampai dengan awal Juni 2010.
A.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
fenomenologi dan pendekatan fungsional struktural. Kedua pendekatan ini
digunakan dengan pertimbangan bahwa:
Pertama, pendekatan fenomenologi digunakan karena penelitian ini bersifat
fenomenologi sosial yang berusaha menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti
fakta-fakta sosial yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran,
perasaan-perasaan, ide-ide, emosi-emosi, maksud-maksud, pengalaman dan
sebagainya dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar baik perkataan
dan perbuatan (Suprayogo dan Tabroni, 2003 : 103-104). Oleh karenanya,
pendekatan fenomenologi ini digunakan ketika melakukan wawancara dengan subjek
penelitian maupun ketika melakukan observasi pada saat yang bersangkutan
melakukan aktivitas dan fenomena sosial masyarakat secara umum di Kecamatan
Landono.
Kedua, pendekatan struktural fungsional digunakan dalam penelitian ini karena
pendekatan tersebut memiliki anggapan dasar sebagai berikut: (1) Masyarakat
harus dilihat sebagai suatu sistem dari pada bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain; (2) hubungan pengaruh mempengaruhi di antara
bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik; (3) sekalipun
integrasi sosial tidak dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem
sosial cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis, menanggapi
perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar
perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan
mencapai derajat minimal.
Pendekatan struktural fungsional ini, memandang masyarakat terbentuk dari
keseluruhan status-status dan peranan-peranan beserta sarana-sarananya yang
tersusun secara terpola. Setiap individu menduduki tempat tersendiri, mempunyai
kewajiban terhadap orang lain dan menuntut haknya dari orang lain. Masyarakat
dilihat sebagai jaringan status-status dan peranan-peranan, yang dalam
pandangan fakta sosial setiap kelompok sosial pada dasarnya terdiri dari
seperangkat status dan peranan yang saling berhubungan. Selain itu pendekatan ini dapat menjadi alat
pembenaran terhadap proses di atas dengan teori keharusan fungsional (functional imperative) atau
syarat-syarat fungsional (functional
requisite) dalam struktur masyarakat.
Dengan
demikian, pendekatan ini menekankan anggapan-anggapan dasarnya pada peranan
unsur-unsur normatif dan tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses
dimana hasrat-hasrat perseorangan diatur secara normatif untuk menjamin
terpeliharanya stabilitas sosial. Oleh karenanya, maka pengaplikasian
pendekatan struktural fungsional dalam penelitian ini, sebelum peneliti
memasuki tahap lapangan atau menemui tokoh masyarakat, adat dan agama yang
menjadi subjek penelitian, ada beberapa prosedur terstruktur yang dilalui
dengan mendekati atau menemui beberapa unsur yang memiliki fungsi atau peran
menempati struktur tertentu dan terkait.
B.
Sumber Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian, yaitu :
a.
Data primer
Data primer penelitian ini
adalah proses integrasi para transmigran dan orang asli Tolaki Landono serta beberapa penduduk
pendatang lain di Kecamatan Landono. Data primer ini bersumber dari wawancara dan observasi
beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan beberapa masyarakat yang
dianggap layak untuk dijadikan informan sebagai subjek penelitian ini baik yang berasal dari para transmigran, orang asli
Tolaki Landono maupun orang pendatang lain yang tinggal dan menetap di Kecamatan
Landono dengan berdasarkan pertimbangan bahwa orang-orang tersebut mengetahui
banyak tentang apa yang akan diteliti juga mudah untuk melakukan komunikasi
dengan mereka. Namun demikian, dari beberapa informan ada beberapa orang yang
tidak mau disebutkan namanya.
Penentuan subjek penelitian didasarkan pada
pertimbangan situasi sosial (social situation) yang terdiri atas
tiga elemen yaitu: tempat (space), pelaku (actors), dan aktivitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergis serta pada
keterbatasan kemampuan peneliti dan ketercakupan informasi data yang dibutuhkan
dengan tetap mempertimbangkan keterwakilan para tokoh adat, tokoh masyarakat dan
unsur pemerintah setempat, baik dari Kecamatan, Desa, Kepolisian dan Koramil.
b.
Data Sekunder
Data sekunder dalam
penelitian ini adalah gambaran umum lokasi penelitian. Data sekunder ini
bersumber dari dokumen-dokumen tertulis yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Landono,
Kantor Badan Pusat Statistik Konawe Selatan dan Kantor Badan Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Tenggara serta Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Sulawesi Tenggara.
C. Teknik
Pengumpulan Data
Dalam studi ini
menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu: wawancara, observasi dan
dokumentasi. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Wawancara
Teknik wawancara yang digunakan, yaitu wawancara tidak berstruktur atau
wawancara mendalam. Wawancara tidak berstruktur tersebut terdiri dari wawancara
terarah dan wawancara tidak terarah. Melalui wawancara terarah diungkap
berbagai persoalan yang berkaitan dengan proses integrasi pada masyarakat di Kecamatan Landono. Sementara dari wawancara
tidak terarah diungkap berbagai informasi yang mendukung data yang diperoleh
melalui wawancara terarah. Untuk mendukung wawancara tidak berstruktur tersebut
dilakukan juga wawancara sambil lalu (casual
interview), di mana subjek studi atau informan yang diwawancarai tidak
diseleksi lebih dahulu dan wawancara tersebut dilakukan secara informal dan
spontanitas. Sedangkan untuk menggali gagasan, ide, pendapat dan pandangan
tokoh masyarakat, agama, dan adat serta unsur pemerintah menggunakan wawancara
terbuka (open-ended) yang dilakukan
pada waktu dan konteks yang dianggap tepat guna keakuratan data yang diperoleh.
Di samping itu,
studi ini menggunakan wawancara yang dilakukan secara langsung kepada para tokoh
dengan mendengarkan apa yang disampaikan oleh para tokoh dan beberapa
masyarakat tentang proses integrasi di
Kecamatan Landono. Kemudian yang menjadi instrumen pokok dari penelitian
ini adalah peneliti sendiri dengan menggunakan instrumen pedoman wawancara yang
dipersiapkan sebelumnya dan buku catatan kecil. Kesemuanya ini dipakai guna
mempermudah reproduksi data agar data yang diperoleh betul-betul dapat memenuhi
standar keabsahan data.
2. Observasi
Teknik ini
digunakan untuk mengetahui secara jelas apa yang dipikirkan, dilakukan, dan
dihasilkan oleh subyek penelitian. Observasi ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung fenomena-fenomena
(gejala-gejala) yang difokuskan pada
masalah yang menjadi perhatian studi dalam hal ini tentang pelaksanaan proses integrasi antara orang asli Tolaki Landono,
para transmigran dan pendatang lain di Kecamatan Landono sebagai gambaran
proses integrasi pada masyarakat majemuk yang terjadi di Indonesia. Di
dalam melakukan observasi peneliti menggunakan buku catatan kecil.
3. Dokumentasi
Data
dokumentasi ini digunakan di samping untuk mengetahui gambaran daerah
penelitian, latar belakang agama dan sosio kultural masyarakat di Landono, juga
digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi yang
dilakukan pada masyarakat majemuk di
Kecamatan Landono.
D.
Teknik Analisis Data
Dalam studi ini menggunakan analisis data
deskriptif kualitatif. Hal ini didasari
beberapa alasan :
Pertama, yang dikaji adalah makna dari suatu
tindakan atau apa yang berada di balik tindakan seseorang. Kedua, di dalam
menghadapi lingkungan sosial, individu memiliki strategi bertindak yang tepat
bagi dirinya sendiri, sehingga memerlukan pengkajian yang mendalam. Penelitian
kualitatif memberikan peluang bagi pengkajian mendalam terhadap suatu fenomena.
Ketiga, penelitian tentang keyakinan, kesadaran dan tindakan individu di dalam
masyarakat sangat memungkinkan menggunakan penelitian kualitatif karena yang
dikaji ialah fenomena yang tidak bersifat eksternal dan berada di dalan diri
masing-masing invidu. Keempat, penelitian kualitatif memberikan peluang untuk
meneliti fenomena secara holistik. Fenomena yang dikaji merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan karena tindakan yang terjadi di kalangan
masyarakat bukanlah tindakan yang diakibatkan oleh satu dua faktor, akan tetapi
adalah melibatkan sekian banyak faktor yang saling terkait. Kelima, penelitian
kualitatif memberikan peluang untuk memahami fenomena menurut emic view atau pandangan aktor setempat.
Di sini peneliti hanyalah orang yang belajar mengenai apa yang menjadi
pandangan, ide, gagasan dan tindakannya, terutama terkait proses integrasi
masyarakat majemuk di daerah yang masyarakatnya plural. Keenam, proses tindakan
yang di dalamnya terkait dengan makna subjektif haruslah dipahami di dalam
kerangka “ungkapan” mereka sendiri, sehingga perlu dipahami dari kerangka
penelitian kualitatif.
Setelah data ditelaah secara cermat,
dilakukan penjabaran data ke dalam kategori-kategori dan karateristiknya
berdasarkan beberapa tema sesuai dengan tujuan penelitian kemudian membangun
kerangka konseptual dalam bentuk proposisi-proposisi sebagai penyederhanaan
dari data yang diperoleh tersebut.
Untuk membangun keyakinan bahwa data yang
diperoleh betul-betul dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dilakukan
uji keabsahan data lewat triangulasi data, yaitu dengan cara membandingkan
hasil observasi/pengamatan dengan data hasil wawancara, data hasil wawancara
dengan data dokumentasi, dan data hasil observasi/pengamatan dengan data
dokumentasi.
Untuk memahami data, baik mengenai pandangan
tokoh dan informan lain terhadap keberadaan pihak lain dalam memelihara hubungan harmonis antar masyarakat, menggunakan
konten analisis yang holistik
dengan tetap memperhatikan objektivitas, generalisasi, sekaligus mencakup upaya
klasifikasi dengan menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi. Kemudian data-data
yang terkumpul diseleksi, disusun, diberi atau dikurangi tekanan, dan
ditempatkan dalam suatu macam urutan kausal dan pemaparan yang argumentatif.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
Kecamatan Landono merupakan salah
satu dari Kecamatan yang berada di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh
kedatangan para transmigran dan adanya migrasi yang dilakukan oleh para
pendatang lain yang berasal dari beberapa daerah lain di Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Selatan. Kemajemukannya meliputi suku, agama, adat dan budaya.
Keberadaan masyarakat transmigran
membawa cerita tersendiri terhadap keberadaan Kecamatan Landono. Sebab justru
dengan kedatangan para transmigran, Kecamatan Landono mampu merubah muka dari
sebuah daerah yang sulit baik secara ekonomi maupun sosial menuju daerah yang
lebih maju perekonomian, transportasi dan kehidupan sosialnya.
Kondisi sosial budaya masyarakat lokal (etnis asli tolaki) sebelum
kedatangan masyarakat transmigran
dengan setelah kedatangan para transmigran mengalami pergeseran-pergeseran melalui
proses asimilasi dan akulturasi dan kemudian berintegrasi dengan masyarakat
lokal.
Berikut adalah beberapa pergeseran
nilai budaya masyarakat yang beretnis tolaki di Kecamatan Landono dengan
masyarakat pendatang melalui proses asimilasi dan akulturasi.
Pergeseran Nilai Budaya Masyarakat Di Kecamatan
Landono
No
|
Pola Hidup Masyarakat Pada Awal Kedatangan Masyarakat Transmigrasi
|
Hasil proses asimilasi dan akulturasi
|
|
Masyarakat Tolaki Landono
|
Masyarakat Pendatang
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Masih menggunakan bahasa daerah tolaki dalam berinteraksi sosial baik
oleh orang tua maupun anak-anaknya
Model Rumah Panggung dengan dinding Bambu
Pola hidupnya sangat tergantung pada alam dengan cara membuka ladang
berpindah
Hidup terpencar-pencar di hutan
Prosesi pernikahan menggunakan adat Tolaki
Makanan pokoknya adalah sagu, beras dianggap sebagai hal yang langka
|
Bahasa daerah dan bahasa Indonesia sudah dikenal baik kecuali oleh
sebagian orang-orang tua
Model Rumah Tanah dengan dinding papan (model rumah yang disiapkan
oleh Pemerintah)
Pola hidupnya memanfaatkan alam dengan mengolah lahan jatah (ladang
menetap)
Hidup bersatu dalam satu komunitas
Prosesi pernikahan menggunakan adat sesuai dengan adatnya
masing-masing
Makanan pokoknya ubi dan beras
|
Penggunaan Bahasa Indonesia dilakukan untuk berinteraksi sosial
Tidak ada lagi masyarakat yang menggunakan rumah panggung kecuali gubug
di sawah untuk menjaga hama dan burung
Kegiatan lahan berpindah sudah mulai ditinggalkan dengan membuka lahan
menetap oleh penduduk asli dengan mengikuti cara masyarakat pendatang
Hidup berbaur dalam masyarakat yang majemuk
Apabila terjadi perkawinan campur maka prosesi pernikahan sesuai
kesepakatan
Masyarakat secara umum menjadikan beras sebagai makanan pokok dan
masyarakat pendatang mulai mengkonsumsi sagu
|
Sumber : Hasil analisis wawancara dengan
para informan.
Dari tabel
diatas, diketahui bahwa kehidupan masyarakat asli (tolaki) Landono dan para
pendatang mengalami proses perubahan setelah berinteraksi lama dan intens satu
sama main. Pola hidupnya mengalami penyesuaian dan penyelarasan yang dilakukan
untuk mengurangi perbedaan yang terdapat pada mereka seperti pada cara mereka
berkomunikasi, model rumah yang mereka buat dan proses pernikahan campur
diantara mereka. Adanya pernikahan diantara mereka memungkinkan terjadinya
pertukaran nilai antara kultur dari masyarakat asli dengan kultur yang dibawa
oleh para transmigran. Proses seperti inilah yang disebut dengan asimilasi.
Asimilasi
merupakan suatu proses dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya
usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang
perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi
kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Secara singkat, proses
asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama , walaupun
kadang-kadang bersifat emosional, bertujuan untuk mencapai kesatuan, atau
paling sedikit untuk mencapai suatu integrasi dalam organisasi, fikiran dan
tindakan. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Soekanto (1998:74), proses
asimilasi yang timbul di Kecamatan Landono diakibatkan oleh adanya perbedaan
kebudayaan dari masyarakat asli dan para transmigran, lalu adanya proses
interaksi diantara mereka dengan bergaul secara langsung dan intensif dalam
jangka waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan asli dari para masyarakat
asli tolaki dengan para transmigran mengalami perubahan dan saling menyesuaikan
diri.
Begitupun
dengan bergesernya fenomena ladang berpindah yang menjadi tradisi bertani dan
berkebun masyarakat tolaki menuju kepada cara bertani dan berkebun yang tidak
lagi tergantung pada alam dan justru lebih memanfaatkan alam dengan
bersama-sama para transmigran. Namun demikian, tingkat kesejahteraan masyarakat
asli dan pendatang walaupun bersama-sama dalam mengolah lahan mengalami
perbedaan. Para transmigran cenderung lebih sejahtera di banding penduduk asli,
hal ini disebabkan lebih ulet dan lebih tekunnya para transmigran dibandingkan
para penduduk asli. Hal ini disebabkan oleh budaya yang sudah mengakar kuat
sehingga ciri dan sifat aslinya susah untuk mengalami perubahan diantara
mereka.
Hal yang sama
juga terjadi pada perubahan makanan pokok pada masyarakat. Pada awalnya
masyarakat Jawa-Bali mengkonsumsi ubi yang mereka tanam sendiri dan beras hasil
jatah dari pemerintah sebagai makanan pokok. Sementara, penduduk asli tolaki
Landono mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok sehari-hari, meskipun mereka sudah
mengenal beras namun beras merupakan sumber karbohidrat mewah pada saat itu.
Dengan kedatangan masyarakat transmigrasi yang mulai membuka sawah dan menanam
padi, masyarakat lokal pun mulai mengkonsumsi beras menggantikan sagu sebagai
makanan pokok. Namun begitu, sampai sekarang masyarakat tolaki masih menjadikan
sagu sebagai makanan pokok kedua setelah beras. Begitupun para transmigran yang
semula cuma mengenal sagu setelah dijadikan tepung untuk bahan pembuatan kue,
setelah berinteraksi dengan penduduk lokal mulai mengenal pengolahan sagu
dengan cara yang berbeda yaitu dijadikan makanan pokok yang dimakan bersama
sayur dan ikan yang disebut ‘sinonggi’. Namun demikian, dari sebagian
masyarakat transmigran yang menyukai ‘sinonggi’ mengatakan bahwa makanan ini
hanya dijadikan makanan pendamping bagi mereka karena sesudah memakannya
biasanya mereka tetap memakan nasi. Hal ini berbeda dengan kebiasaan masyarakat
tolaki.
Nampaknya
motif ekonomi merupakan faktor dominan yang membuat seseorang mengambil keputusan
untuk melakukan perpindahan (migrasi), namun alasan ekonomi bukanlah
satu-satunya alasan, tetapi didukung pula oleh alasan-alasan yang lain yang
saling berkaitan, misalnya karena perkawinan antar suku bangsa dan adanya
perasaan tidak nyaman di kampung halaman juga merupakan salah satu faktor
mereka melakukan migrasi dari daerah asal menuju Kecamatan Landono. Seperti
yang dituturkan oleh Nurhayati asal Pinrang Sulawesi Selatan, “kedatangan saya
ke Landono ini bukan semata-mata persoalan ekonomi tapi lebih kepada persoalan
sakit hati karena penipuan dalam kasus KOSPIN yang terkenal beberapa tahun
lalu. Saya kemudian ke sini mengikuti keluarga 11 tahun yang lalu. Awalnya saya
berniat cuma jalan-jalan menghilangkan stress namun karena suasananya yang
nyaman dan penerimaan masyarakat yang bersahabat, saya menjadi betah lalu
membuka usaha dan menetap sampai sekarang”. Hal sama diungkapkan pula oleh
Naisyah (48 tahun) seorang penjual di pasar Landono yang merupakan pendatang
beretnis Bugis bahwa faktor kenyamanan merupakan alasan kepindahannya ke
Landono, karena di daerah sebelumnya sering terjadi perkelahian antar warga
hingga perasaan was-was seringkali muncul.
Pola Pemukiman Masyarakat
Landono
Pada awalnya pola pemukiman masyarakat transmigrasi yang diatur oleh
pemerintah menempatkan lokasi transmigran asal Bali dibagian pinggir dan agak
masuk kedalam dan transmigran Jawa di tengah berdekatan dengan pemukiman
penduduk asli tolaki. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan terjadinya
segregasi. Segradasi yang timbul merupakan segregasi yang disengaja dan
sukarela. Hal ini bukan dikarenakan transmigran asal Bali ingin memisahkan diri
dan tidak mampu berbaur dengan etnis, suku dan agama lain namun lebih
disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terkait menghindari terjadinya
riak-riak konflik yang kemungkinan bisa timbul akibat adanya perbedaan
karakteristik dan pola hidup dengan penduduk yang beretnis, suku dan agama lain
khususnya dalam hal hewan peliharaan. Seorang informan yang beretnis Bali mengatakan “ hal itu wajar, karena sebagian
dari kami beternak babi, yang merupakan hewan yang diharamkan dalam agama
Islam. Jadi walaupun kami mengandangkan babi kami namun seandainya kami
bertetangga dengan orang muslim, kami tetap merasa tidak enak hati karena bau
kotorannya pasti tercium oleh mereka”. Pemisahan yang dilakukan oleh Pemerintah
dengan melakukan pengelompokan orang-orang yang sama karakteristiknya dalam
suatu daerah dan sekaligus memisahkan diri dari orang-orang atau
kelompok-kelompok yang berlainan karakteristiknya ini disebut dengan segregasi
ekologis (Rahardjo, 1989 : 47).
Segregasi ekologis memiliki peluang bagi terjadinya gesekan-gesekan antar
kelompok yang berbeda, hal ini pernah terjadi pada tahun 1980-an di desa
Amotowo dan desa Lalonggapu antara etnis Bali dan Tolaki, konflik yang
disebabkan karena kesalahfahaman ini dipicu oleh perkelahian anak SMP. Anak
yang beretnis Bali dipukul oleh seorang anak beretnis Tolaki, ketika anak yang
beretnis tolaki ini akan disidang secara adat oleh masyarakat beretnis Bali di
desa Lalonggapu (saat itu masih masuk desa Tridanamulya) mereka melewati
perkampungan beretnis tolaki yang merupakan kampung sang anak. Pada saat itulah
bentrok fisik tidak dapat dielakkan, walaupun tidak ada korban jiwa namun
beberapa warga yang beretnis Bali mengalami luka-luka. Namun hal ini tidak
berlangsung lama dan tidak menyebabkan konflik horizontal yang lebih luas
karena adanya kesigapan pemerintah dan para tokoh agama dan adat masing-masing
dalam upaya penyelesaian konflik pada saat itu
Adanya segregasi, di satu pihak menyebabkan tingginya solidaritas di
tengah masyarakat yang memiliki karakteristik sama karena mengganggap gangguan
dari luar merupakan musuh bersama. Namun di lain pihak dapat membahayakan
integrasi pada masyarakat yang majemuk seperti pada peristiwa Amotowo. Kondisi
ini nampaknya akan memberi ruang bagi terjadinya sentimen etnis di kemudian
hari, olehnya itu diperlukan upaya-upaya preventif. Fakta sosial yang terjadi
di Ambon menunjukkan bahwa sentimen etnis memiliki potensi pengaruh yang kuat
terhadap keterikatan-keterikatan sosial lainnya, termasuk agama, dan tentu saja
hal ini sekaligus memberi ruang bagi terjadinya konflik sosial. Terkait dengan
hal tersebut, tesis Dahrendraf menyebutkan bahwa konsensus dan konflik hadir
sekaligus dalam masyarakat sebagai hubungan sebab akibat. Masyarakat tidak akan
memiliki konflik tanpa ada konsensus atau kesepakatan sebelumnya. Konflik
terjadi karena telah melanggar konsensus
(George Ritser dan Douglas J. Goodman, 2003 : 154).
Oleh karena itu, masyarakat diharapkan selalu berada dalam situasi
integratif, stabil dan teratur, karena dalam masyarakat ada nilai, norma, dan
aturan yang disepakati bersama oleh para anggotanya. Sistem sosial dalam
masyarakat dapat tetap bertahan dan survive memerlukan
pengkondisian-pengkondisian yang dapat memenuhi tujuan integratif dan
stabilitas serta keharmonisan hubungan sosial.
Dalam rangka mewujudkan kondisi yang harmonis di dalam masyarakat majemuk
sebagai akibat adanya program transmigrasi, Kanwil Departemen Transmigrasi dan
PPH Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 1999 pernah menyelenggarakan seminar
sehari yang membahas tentang konsep pembangunan pemukiman berwawasan Bhineka
Tunggal Ika. Tujuan pembangunan unit pemukiman transmigrasi berwawasan Bhineka
Tunggal Ika (UPT BHINTUKA) tersebut adalah terwujudnya pemukiman transmigrasi
yang mengintegrasikan berbagai suku bangsa yang saling menghargai dan menghormati
perbedaan yang ada dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa.
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Landono saat ini adalah adanya
pergeseran pola pemukiman dimana masyarakat transmigran Bali sudah banyak yang
keluar dan berbaur dengan etnis lain. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
transmigran asal Bali yang membeli tanah ditempat yang mayoritas penduduknya
beragama dan beretnis yang berbeda dengan mereka, tentu saja dengan kesadaran
dan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan dengan menjaga kenyamanan
masyarakat yang bersuku dan beragama lain disekitarnya. Hampir sebagian tanah
di daerah strategis yang memungkinkan berkembangnya modal usaha telah dikuasai
oleh para masyarakat transmigran baik itu dari Bali dan Jawa, padahal lokasi
dan tanah tersebut sebelumnya kebanyakan dimiliki oleh masyarakat Tolaki
Landono. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan suku bangsa Tolaki Landono sebagai
pemilik tanah adat atau tanah leluhur menjual tanah mereka yang terletak di
lokasi-lokasi strategis atas kemauannya sendiri karena terpengaruh oleh harga
tanah yang mahal. Kondisi tersebut menjadikan suku asli daerah ini semakin
tergeser dan akhirnya membuat lokasi pemukiman baru dengan lokasi agak mundur
kebelakang.
Adanya fakta sosial tersebut menyebabkan berubahnya sebagian pola
pemukiman masyarakat di Kecamatan Landono. Apalagi dengan kedatangan suku
bangsa lain seperti Buton, Muna, Bugis, Toraja dan Makassar. Perpindahan
kelompok etnis Buton, Muna, Bugis, Toraja dan Makassar ke Kecamatan Landono
pada umumnya untuk memperbaiki taraf hidup mereka, melalui kegiatan perdagangan
dan perkebunan. Dalam pemilihan lokasi tempat tinggal orang Buton, Muna, Bugis,
Toraja dan Makassar relatif sama yaitu adanya keterikatan dengan kelompoknya, namun
sebagian besar orang Bugis, Muna dan Buton biasanya memilih lokasi yang dekat
dengan kegiatan perekonomian. Orang
Muna, Buton dan Bugis yang ada di Landono, mayoritas menetap di Desa Wonua
Sangia disekitar pasar Kecamatan Landono. Walaupun begitu banyak juga orang
Bugis yang menetap di desa Talumbinga, Asaria dan Koronua, mereka berkebun
bersama-sama dengan orang Makassar. Sementara orang Toraja dan Makassar kebanyakan bertempat tinggal yang
sama dengan lahan perkebunannya. Orang Makassar biasanya membuka lahan
perkebunan agak masuk kedalam. Kebanyakan dari mereka menanam tanaman jangka
pendek yang bisa segera dijual seperti pisang dan sayur-sayuran. Pemilihan lokasi
tempat tinggal ini selain karena kegiatan perkebunannya juga karena alasan ekonomi, yaitu
efesiensi. Orang Makassar banyak menetap di Desa Talumbinga dan Koronua.
Sedangkan orang Toraja kebanyakan menetap di desa Tridana Mulya dan Abenggi
dikarenakan faktor kekerabatan, spiritual dan ekonomi.
B. Pembahasan.
1. Proses Integrasi Sosial Masyarakat Landono
Pola
tingkah laku yang melekat pada masyarakat Landono yang merupakan pembauran dari
masyarakat lokal, transmigran dan pendatang lain, tergambar dari tindakan
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang tampak sekarang merupakan hasil
dari suatu perubahan sosial budaya yang telah terjadi dan dialami oleh mereka
sejak awal. Untuk lebih mengetahui lebih mendalam tentang perubahan itu, maka
secara bersamaan hendaklah dipahami tentang terjadinya perubahan stuktur
masyarakat yang berkelanjutan. Dan, perubahan sistem nilai budaya yang dianut
dan dimengerti oleh orang yang mendukung budaya itu. Hubungan timbal balik
antara kedua aspek yang saling mempengaruhi perlu dikenal secara tepat untuk
memahami perubahan yang tejadi dalam berbagai perantara sosial budaya pada
suatu suku bangsa.
Mengungkap
perubahan struktur masyarakat di satu pihak dan perubahan sistem nilai pihak
lain memberi arti yang penting pada pemahaman sitem nilai budaya yang dianut.
Pengertian itu dapat ditemukan dan terakomodasi di berbagai perantara sosial
budaya masyarakat Kecamatan Landono. Benturan itu menimbulkan pergeseran nilai
budaya yang dipercepat oleh adanya orientasi nilai yang berdimensi kognitif.
Hal itu akan terbaca dalam berbagai simbol yang telah dimengerti dan dikenal
secara baik, berdasarkan arti dan makna simbol yang telah dilegalisasi oleh
masyarakat Landono. Keadaan itu terlukis secara jelas dan mewarnai kehidupan
mereka sehari-hari. Munculnya kedinamisan yang diperlihatkan oleh masyarakat
Landono dalam menanggapi dan menghadapi berbagai tantangan yang ditemui dalam
menyongsong berbagai perubahan, merupakan suatu hal yang wajar. Kewajaran itu
sangat diperlukan untuk mengenal berbagai perubahan sistem nilai budaya yang
tetap bertranformasi dalam konfigurasi budayanya.
Disfungsi,
ketegangan, dan konfik yang terjadi antara masyarakat majemuk di Landono tidak
dapat dielakkan. Namun dalam jangka panjang akan kelihatan, keduanya akan berintegrasi
berdasarkan nilai budaya yang telah disepakati oleh pendukung kebudayaan itu
melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi. Proses ini dapat dilihat
secara gradual dalam mengahadapi pengaruh luar yang memperlihatkan berbagai hal
yang bersifat penyesuaian.
Masyarakat
Landono, terintegrasi di atas nilai-nilai
luhur Pancasila yang dijadikan sebagai konsensus
nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental dan yang terintegrasi oleh hubungan sosial dengan
adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat akibat perkawinan campur diantara
masyarakat yang memiliki etnis dan agama yang berbeda serta kepatuhan mereka
kepada pemerintah. Hal tersebut dikenal dengan cross cuting affiliations yaitu adanya loyalitas ganda para anggota
masyarakat (Nasikun,2004:13-15). Hal ini akan meminimalisir terjadinya suatu konflik karena dengan adanya
loyalitas ganda maka konflik akan segera dinetralkan.
Di dalam proses interaksi masyarakat
majemuk, dibutuhkan rasa toleransi antara masyarakat dalam upaya mempercepat
terjadinya integrasi sosial. Interaksi diartikan sebagai hubungan timbal-balik
antara individu dalam pergaulannya, dimana interaksi sosial adalah merupakan
kunci dari semua aktivitas-aktivitas kehidupan sosial. Sehubungan dengan
pernyataan ini, dikemukakan bahwa iteraksi sosial adalah kunci dari semua
kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi tak mungkin ada kehidupan sosial
(Soekanto, 1998:66). Sementara modal dasar dari adanya toleransi dalam
masyarakat adalah adanya interaksi sosial melalui percakapan dan
pergaulan yang intensif dan upaya membangun kepercayaan di antara
masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras, status sosial dan perbedaan
lainnya. Secara umum, masyarakat Landono telah memiliki kedua modal awal
terbangunnya toleransi diantara mereka tersebut.
Para
transmigran asal Jawa-Bali dan pendatang lain yang berada di Kecamatan Landono
tidak memerlukan waktu yang lama untuk dapat berintegrasi dengan masyarakat
setempat. Akan tetapi meskipun mereka telah melakukan perkawinan dengan masyarakat
setempat, namun imigran masih merasa terikat dengan adat istiadat daerah asal
walaupun mereka sudah merasa cocok dengan adat istiadat setempat.
Menurut
Martono (1985), salah satu aspek yang sangat penting dalam proses integrasi di
pemukiman transmigrasi, adalah adaptasi nilai-nilai positif yang merupakan
dasar bagi terwujudnya kemajuan dalam pembangunan yaitu transfer of skill and technology. Pergeseran pola hidup masyarakat
tolaki di Landono yang hidup terpencar-pencar di dalam hutan dan melakukan ladang
berpindah menjadi lading menetap dengan belajar membuka dan mengolah kebun dan
sawah karena akibat adanya transfer of
skill and technology dari para transmigran kepada masyarakat asli tolaki
dengan mengadaptasi pola hidup para transmigran yang memanfaatkan alam dan
tidak tergantung pada alam sehingga memberi efek positif pada tingkat kesejahteraan masyarakat setempat.
Sejalan
dengan teori fungsional struktural yang menyatakan masyarakat harus dilihat
sebagai satu sistem yang komponennya berhubungan, bergantung, dalam saling
mengait yang secara fungsional terintegrasi dalam bentuk equilibrium yang
bersifat dinamis. Apabila ada pertentangan, akan muncul nilai budaya yang akan
mengintegrasikannya. Sangat terlihat dalam pola bermasyarakat yang terjadi di Kecamatan
Landono antara masyarakat asli dan para transmigran ataupun pendatang lain.
Kemajemukan yang meliputi agama, suku, budaya dan kebiasaan justru mendorong
masyarakat Landono untuk menjaga kerukunan hidup diantara mereka dan
berintegrasi satu sama lain.
2. Faktor pendukung terjadinya integrasi
sosial masyarakat Landono
a.
Faktor
Budaya
Faktor budaya dalam hal ini adalah budaya bangsa
Indonesia yang tertuang dalam konsensus dasar berbangsa dan bernegara yaitu
Pancasila. Pemilihan nilai budaya yang tertuang dalam Pancasila dikarenakan
pada dasarnya semua nilai-nilai Pancasila merupakan akar dari kebudayaan
seluruh bangsa Indonesia yang diyakini mampu mempersatukan perbedaan yang
terdapat pada masyarakat. Begitupun yang terjadi di Kecamatan Landono, diantara
kemajemukan masyarakatnya namun perasaan sebangsa dan setanah air sangat kental
dalam kehidupan bermasyarakat.
Nilai-nilai budaya Pancasila yang tidak lepas dari
kelima silanya merupakan acuan hidup bermasyarakat di Kecamatan Landono. Hal
ini terbukti dari sikap masyarakat yang tidak menganggap perbedaan agama
merupakan hal yang dapat mengganggu proses integrasi diantara mereka. Semua
elemen masyarakat Kecamatan Landono baik itu penduduk asli maupun pendatang,
pemerintah maupun masyarakat biasa membuka tali silahturahmi dengan sangat baik
kepada siapapun baik orang yang sudah lama berinteraksi dengan mereka maupun
yang baru mereka kenal. Hal
ini sangat dirasakan langsung oleh peneliti dalam proses pengumpulan data dan
observasi lapangan yang dilakukan.
Sikap
ramah tamah, saling hormat-menghormati, saling harga-menghargai,
tolong-menolong dan besarnya rasa toleransi di dalam masyarakat menjadi
pengikis banyaknya perbedaan yang terjadi di masyarakat. Adanya pemahaman bahwa
Kecamatan Landono berkembang justru dengan kedatangan para pendatang membuat
satu ikatan batin antara penduduk asli dengan pendatang. Apalagi sekarang,
banyak dari mereka yang sudah terbiasa dengan suku bangsa dan agama lain karena
dari kecil sudah berinteraksi satu sama lain. Para pendatang pun sudah
menganggap Landono sebagai kampung halamannya, bahkan sudah banyak dari
keturunan mereka yang lahir dan besar di Landono.
b.
Faktor Kekerabatan
Faktor berikutnya, yaitu hubungan kekerabatan yang
ada diantara mereka. Hal ini merupakan salah satu faktor penting terwujudnya
integrasi sosial. Berbicara mengenai kekerabatan tentu tidak lepas kaitannya
dengan masalah pernikahan. Faktor kekerabatan merupakan pengelompokan atas sejumlah orang yang masih
berhubungan, baik karena keturunan maupun perkawinan yang mencakup identitas
dan peranan yang digunakan oleh individu-individu dalam interaksi sosial
mereka. Dengan kata lain, sistem
kekerabatan terjadi karena keturunan dan perkawinan. Melalui perkawinan antar
suku bangsa yang berbeda, kekerabatan masyarakat Landono ini menjadi luas.
Simpul-simpul yang mengokohkan rasa kebersamaan di antara warga yang suku
bangsanya berbeda menjadi semakin kuat (wawancara).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa
hubungan kekerabatan yang terjadi akibat adanya perkawinan diantara masyarakat
asli dan pendatang yang berbeda suku bangsa, menyebabkan terjadinya proses
interaksi yang semakin meluas di antara kedua pasangan dan pihak-pihak
keluarganya. Hubungan kekerabatan diantara mereka
yang berbeda agama pun bisa
ditemukan di daerah ini. Namun dalam pernikahan yang berasal dari keluarga yang
berbeda agama biasanya kedua pasangan tinggal dan menetap dilingkungan orang
tua yang diikuti keyakinannya, walaupun tidak memutuskan tali silahturahmi dengan
orang tua yang berbeda keyakinan dengan mereka. Karena dalam kenyataannya,
perbedaan agama tidak menjadi persoalan bagi hubungan sosial kemasyarakatan di
Landono, sebab masyarakat menganggap bahwa perkawinan semacam itu adalah hal
yang lumrah terjadi di masyarakat yang majemuk. Hal ini juga di dorong faktor
kerukunan hidup antar umat beragama yang relatif tinggi dan tidak ditemuinya
sikap fanatisme berlebihan pada agama tertentu di Kecamatan Landono.
c.
Faktor
Kepatuhan Masyarakat Pada Pejabat Pemerintahan
Faktor lain yang mendukung integrasi sosial masyarakat
majemuk di daerah ini adalah kepatuhan masyarakat pada pemerintahan. Mayoritas
masyarakat Landono adalah masyarakat yang sangat patuh kepada pemerintahnya
baik itu di tingkat RT, Dusun, Desa dan Kecamatan. Hal ini menyebabkan setiap
masalah yang timbul di masyarakat dapat dengan cepat diselesaikan apabila
pemerintahnya turun tangan. Kasus di Amotowo dan Sabulakoa mencerminkan tingkat
kepatuhan masyarakat sangat tinggi pada pemerintah setempat. Dengan adanya
kepatuhan masyarakat pada pemerintah maka setiap permasalahan yang dapat
bersinggungan dengan keberadaan etnis tertentu dapat segera dinetralisir
sehingga konflik horizontal dapat dicegah dengan mengintegrasikan masyarakat
lewat kearifan lokal yang dibingkai oleh nilai-nilai luhur Pancasila sebagai
konsensus dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu permasalahan yang di selesaikan lewat
kearifan lokal dan campur tangan pemerintah adalah kejadian pada tanggal 15
februari tahun 2002, dimana tewasnya Yappa warga desa Sabulakoa yang bersuku
tolaki, akibat tikaman warga desa Talumbinga yang bersuku Bugis dan berimbas
terhadap pembakaran rumah tersangka yang dilakukan oleh suku tolaki di desa
Sabulakoa dan nyaris mengarah kepada permasalahan SARA. Namun dengan gerakan
cepat aparat Desa dan Kepolisian menetralisir keadaan sehingga tidak
menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Mantan Kepala Desa
Sabulakoa, Risman Bumbung H yang menjabat diperiode itu (1999-2008)
mengungkapkan :
Faktor
kepatuhan masyarakat kepada pemerintah sangat berperan penting dalam mencegah konflik
horizontal yang nyaris terjadi pada saat itu. Selain itu kesigapan aparat desa dan
Kepolisian dalam menetralisir
keadaan juga berpengaruh. Penyelesaian masalah ini saya bawa ketingkat desa
dengan melibatkan keluarga korban dan keluarga tersangka selanjutnya disepakati penyelesaian masalahnya sesuai adat yang
berlaku dan pihak tersangka
harus membiayai seluruh biaya pemakaman selanjutnya masalah dianggap selesai
sampai disitu dan Alhamdulillah, semua bersepakat dan mematuhi hasil keputusan
bersama itu (wawancara, minggu 16 mei 2010).
Senada dengan itu, Kanit Reskrim Polsek Landono Brig. Pol Ashar menyatakan :
kasus
tersebut memang telah diselesaikan lewat kearifan lokal agar tidak melebar
kemana-mana oleh pemerintah desa setempat, namun perkara pidananya tetap harus
diproses hukum sesuai KUHP (wawancara, senin 17 mei 2010)
Dari
kejadian ini dapat diketahui bahwa penyelesaian masalah sosial melalui kearifan
lokal lebih cepat dan lebih mudah diterima oleh masyarakat serta lebih dianggap
sakral.
Selain ketiga faktor pendukung itu,
terdapat pula beberapa faktor pendorong yang mempercepat proses integrasi
sosial masyarakat Landono, yaitu :
1.
Perkawinan Campur
Adanya
perkawinan campur yang terjadi di masyarakat Landono adalah hal yang sangat
lumrah terjadi. Hal ini banyak didapati di dalam masyarakat baik antara yang
berbeda etnis maupun berbeda agama. Tidak jarang dalam satu keluarga terdapat
dua agama yang berbeda di antara anak dan orang tuanya, karena adanya
perkawinan campur. Yang tentu saja dalam proses perkawinan diantara kedua
mempelai ada yang mengalah dengan mengikuti agama salah satu agama pasangannya,
karena Negara kita tidak mengijinkan adanya perkawinan beda agama. Ini
dapat dicontohkan dalam perkawinan campur antara para transmigran asal Bali
dengan suku tolaki ataupun suku lain. Dimana permasalahan diselesaikan dengan
mengintegrasikan budaya kedua belah pihak.
2.
Acara Keagamaan
Kunjungan silaturahmi kepada teman, keluarga dekat, dan tetangga, merupakan
hal yang lumrah bagi masyarakat
Landono, apalagi dalam rangka hari besar keagamaan seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Kuningan dan Galungan. Interaksi
sosial antara penduduk setempat dengan warga pendatang menjadikan warga Landono
lebih terbuka menerima pengaruh budaya luar, sehingga perubahan sosial nampak
jelas. Perbedaan hari-hari besar diantara mereka merupakan hal yang justru
menambah keakraban di antara mereka, sebab dalam setahun masyarakat Landono
yang jarang ketemu dengan berbagai kesibukan masing-masing setidaknya memiliki
lima kali pertemuan yang pasti dilakukan oleh mereka yaitu pada hari-hari besar
tersebut. Walaupun kegiatan tersebut merupakan hubungan individual diantara mereka
untuk saling bersilahturahmi.
Selain itu hubungan dalam bidang keagamaan yang dilakukan dengan
melibatkan dan mengundang banyak orang adalah dalam halal bi-halal yang
dilaksanakan oleh unsur pemerintah biasanya setelah pelaksanaan perayaan Idul
Fitri, Natal bersama yang dilaksanakan oleh pihak gereja dan biasanya
berkoordinasi dengan pihak SINODE
Sulawesi Tenggara, dan perayaan Dharma Shanti yang dilakukan oleh agama
Hindu setelah hari raya Nyepi. Perayaan-perayaan ini selain mengundang
pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat juga masyarakat disekitar
tempat pelaksanaan. Melalui kegiatan ini masyarakat saling meningkatkan
kerukunan beragama diantara mereka dan menjalin keharmonisan antara masyarakat
dan pemerintahnya, sehingga mendukung dan mendorong masyarakat untuk saling
berintegrasi sesamanya.
3.
Perekonomian
Hubungan bermasyarakat
di Kecamatan Landono terlihat dalam aneka kegiatan perekonomian yang
tidak dibatasi oleh perbedaan suku,
agama dan budaya. Ini terlihat
dari interaksi masyarakat ketika berada di pasar Landono sebagai pusat kegiatan
perekonomian warga Kecamatan Landono.
Proses integrasi masyarakat
lewat kegiatan perekonomian juga ditandai oleh adanya koperasi serba usaha
“Hiksa Jaya” yang anggotanya terdiri dari bermacam-macam etnis dan agama di
desa Sabulakoa, begitupun KSU “Budi Luhur” yang ada di desa Tridana Mulya. Lain
lagi di desa Lalonggapu, walaupun mereka tidak memiliki koperasi namun
ibu-ibunya mempunyai perkumpulan arisan yang sengaja melakukan jimpitan lalu
uang tersebut diputar kepada anggota yang membutuhkan dan diberi bunga yang
relative rendah kemudian keuntungan dibagi bersama kepada seluruh anggotanya.
Secara umum Landono memiliki koperasi atau kegiatan ekonomi yang berfungsi sama
seperti koperasi dengan kepengurusan yang tidak membedakan etnis dan agama.
Kegiatan ini mengikat masyarakat Landono menjadi satu kesatuan tanpa
diskriminasi etnis dan agama. Mereka saling mengenal satu sama lain dan saling berinteraksi.
4.
Pertanian
Dalam bidang
pertanian, masyarakat Landono melakukan kerjasama pada saat mereka membuat
pematang, mengolah sawah dan pengairannya. Mereka melakukan penanaman dan panen secara
serempak sehingga bisa bersama-sama mencegah dan membasmi hama. Hal ini
dilakukan agar mendapatkan hasil panen yang maksimal dan juga dapat
mempererat persatuan diantara warga
di Kecamatan Landono. Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan adanya integrasi diantara mereka.
Kegiatan lain dalam bidang
pertanian yang dapat mengintegrasikan masyarakat di Landono adalah melalui
penjualan hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Seperti yang terjadi di desa
Talumbinga, masyarakatnya menjual hasil pertanian dan perkebunannya seperti rambutan,
jeruk, lada dan coklat kepada para tengkulak tanpa melihat etnis atau suku dan
agama mereka. Interaksi yang tercipta menimbulkan rasa saling membutuhkan sama
lain sehingga terjalin komunikasi dan silahturahmi. Para tengkulak ini juga
sebagian tinggal dan menetap di desa Talumbinga dan sebagian besar berasal dari
desa lain di sekitarnya dan bahkan ada yang dari kota Kendari dan Surabaya.
Selain itu adanya pembebasan
lahan warga masyarakat asli Tolaki dengan ganti rugi yang relatif ringan untuk
petani di desa Watabenua yang penduduknya kebanyakan dari warga pendatang asal
Bali dan Jawa dalam pembuatan bendungan atau yang biasa disebut ‘pelimpahan’
oleh penduduk setempat untuk pengairan di sawah mereka, membuat proses
integrasi diantara mereka pun semakin kental. Sebab masyarakat transmigran
merasa berutang budi pada masyarakat asli Tolaki, begitupun masyarakat asli
Tolaki merasa senang dengan adanya bendungan yang bisa juga mereka manfaatkan
untuk sawah dan kebun mereka.
5.
Olah raga
Dalam
bidang olah raga, sering juga ditemui masyarakat yang melakukan interaksi
diantara mereka tanpa melihat perbedaan suku, agama dan ras. Hal ini tampak
menjelang hari ulang tahun Republik Indonesia setiap tahunnya. Mereka
mengadakan pertandingan menjelang 17 agustus-an, kemudian lewat pertandingan
olah raga baik itu bola kaki, bola volley, sepak takraw, tarik tambang, dan
kasti, mereka lakukan dengan sportifitas dan semangat kekeluargaan. Mereka
berkumpul dalam satu lapangan, saling member semangat dan penontonnya saling
berkenalan satu sama lain dan yang telah saling mengenal melalui kegiatan
tersebut saling menyebarkan tali silahturahmi sehingga mempererat integritas
mereka lewat adanya komunikasi yang baik diantara mereka.
Selain
itu, di Landono setiap desanya memiliki kepengurusan karang taruna
masing-masing. Lewat organisasi karang taruna tersebut, mereka sering
mengadakan pertandingan persahabatan dalam bidang olah raga dengan menggilir
desa yang menjadi tuan rumah. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa bidang olah
raga juga menjadi pendorong integrasi sosial masyarakat di Landono.
6.
Pendidikan
Integrasi sosial
masyarakat Landono juga di dorong lewat bidang pendidikan, justru dunia
pendidikanlah yang merupakan salah satu tempat penting pelaksanaan proses
integrasi masyarakat Landono. Lewat sekolah, masyarakat berinteraksi tanpa
adanya perbedaan agama dan etnis, baik antara sesama guru, sesama murid, guru
dan murid, serta guru dan orang tua murid. Interaksi diantara mereka membuat
mereka saling mengenal satu sama lain, saling berbagi masalah yang menjadi
kendala pihak sekolah dan tentu saja melibatkan orang tua murid yang latar
belakang agama, etnis, dan tingkat sosial yang berbeda-beda. Para murid pun sudah terbiasa sejak dini
dengan perbedaan diantara mereka sehingga sentiment-sentimen etnis tidak
terjadi. Adanya interaksi dan komunikasi yang baik lewat dunia pendidikan
mendorong percepatan proses integrasi masyarakat Landono.
7.
Keamanan
Dalam
bidang keamanan, masyarakat Landono melakukan ronda malam dengan mengaktifkan kegiatan
ronda, dimana untuk menjaga
keamanan masing-masing desa para kepala desa membuat jadwal
dengan melibatkan para kepala dusun dalam pengaturan giliran masing-masing
warganya.
Adanya
ronda malam membuat masyarakat Landono memiliki nilai solidaritas dalam menjaga
keamanan kampung masing-masing. Nilai solidatitas tersebut mengikis sekat etnis
dan agama yang ada di masyarakat Landono sehingga mereka dapat terintegrasi
dengan baik.
8.
Sosial Budaya
Bentuk integrasi sosial budaya
warga Landono
dapat dilihat dari kegiatan kemasyarakatan yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut
antara lain, gotong royong, kegiatan kerja bakti dan menjaga kebersihan
lingkungan. Keterlibatan masyarakat secara bersama-sama dalam
kegiatan gotong royong ini, merupakan sarana integrasi masyarakat. Tradisi gotong royong telah
menjadi wadah yang bisa menampung aktivitas antar warga, sehingga masyarakat di
Kecamatan Landono dapat saling berinteraksi.
Hubungan sosial yang baik diantara masyarakat di Kecamatan Landono juga ditemukan dalam hubungan
bertetangga. Dalam upaya memperkuat
rasa kebersamaan masyarakat Landono, interaksi sosial dalam bertetangga dilakukan
antara lain dengan kunjungan ke tempat tetangga yang sedang sakit atau
mendapat musibah, menghadiri
undangan pernikahan, menghadiri yasinan dan acara-acara lain yang bisa
mempererat hubungan ketetanggan. Tradisi saling mengundang inilah yang
memberikan dampak keharmonisan dalam bertetangga. Terlebih lagi hubungan
ketetanggaan di Kecamatan Landono tidak didasarkan pada perkawinan, persamaan
agama, dan suku, sehingga dapat diketahui melalui pola bertetangga, interaksi dengan masyarakat lain tidak mengalami
perubahan yaitu interaksi mereka memungkinkan cepat akrab dengan masyarakat
lain.
9.
Upacara Siklus Hidup
Upacara siklus hidup yang dimaksud adalah peristiwa dalam kehidupan
manusia yang dianggap penting yang meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian.
Upacara-upacara tersebut berdasarkan pada tradisi atau adat yang dianut oleh
masyarakat dan bersumber pada ajaran agamanya masing-masing. Disamping itu, dalam
upacara kematian dan perkawinan, hubungan antar umat beragama juga terjalin
dengan baik pada upacara kelahiran (aqiqah), sunatan, keberangkatan dan
kepulangan menunaikan ibadah haji, dan upacara hajatan yang lain. Hubungan-hubungan
tersebut tanpa dibatasi oleh adanya perbedaan suku, budaya dan agama diantara
mereka.
Selain itu pada kegiatan pesta atau hajatan, hampir sebagian besar
masyarakat belum mengenal tenda besi. Mereka bekerja sama dalam membuat tenda
dengan menggunakan bambu atau dolken
(kayu berukuran sedang), tanpa memandang perbedaan suku, agama dan budaya
asalkan mereka saling mengenal dan masih berada dalam lingkungan yang sama.
Apalagi dalam kegiatan kedukaan. Karena menurut mayoritas warga
Landono, kalau ada masyarakat yang meninggal, tanpa dipanggil pun mereka
berbondong-bondong datang membantu mendirikan tenda untuk para pelayat tanpa
diminta atau diperintah juga tanpa melihat dia beragama dan beretnis apa. Ini
sudah menjadi tradisi masyarakat Landono dalam bertetangga, bahwa kedukaan
merupakan Kegiatan ini membantu mempercepat proses integrasi dalam kehidupan
masyarakat majemuk.
3. Faktor Penghambat Dalam Proses Integrasi
Masyarakat Landono
Bertitik
tolak dari konsep yang
dikemukakan Blau (1977)
tentang konsep integrasi masyarakat majemuk, dimana semakin besar jumlah
kelompok-kelompok etnis dalam sebuah komunitas, maka semakin besar
heterogenitas etnis atau horisontal diferensiasinya maka pemukiman transmigrasi dapat
merupakan melting pot (tempat dapur)
beraneka ragamnya etnis,
begitupun yang terjadi di Landono yang sebagian wilayahnya di huni oleh
masyarakat transmigran dan pendatang lain.
Adanya kemajemukan mau tidak mau
sekaligus juga membawa serta perbedaan di tengah masyarakat. berhasil tidanya masyarakat
majemuk berintegrasi merupakan pilihan dari masyarakat itu sendiri untuk saling
menyesuaikan dan menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan sebagai masalah
untuk dipersoalkan. Berikut adalah bagaimana masyarakat Kecamatan Landono
menyikapi persaingan, kontraversi dan konflik dalam kesehariannya, yang
tergambar pada pola hidup mereka dalam bermasyarakat.
1. Persaingan atau Competition
Pada masyarakat Kecamatan Landono,
persaingan merupakan hal yang lumrah terjadi namun tidak menyebabkan
masyarakatnya menjadi disharmonis, justru dengan adanya persaingan ini
masyarakat Landono menjadi lebih baik taraf hidupnya, pendidikannya dan
toleransi bermasyarakatnya. Persaingan dalam masyarakat Kecamatan Landono
merupakan pola persaingan sehat dalam arti negatif, tidak merusak dan
mengganggu integrasi masyarakatnya. Mayoritas masyarakat menganggap hal ini
merupakan hal sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan. Namun demikian
persaingan atau competition ini harus diwaspadai menjurus kearah yang mampu
merusak disintegrasi masyarakat Kecamatan Landono itu sendiri.
a. Persaingan Ekonomi
Persaingan ekonomi merupakan
realitas yang terjadi dalam masyarakat Kecamatan Landono, namun persaingan
ekonomi ini belum menimbulkan kesenjangan yang besar diantara masyarakat
Kecamatan Landono. Ini disebabkan oleh kebanyakan masyarakat yang tinggi
tingkat ekonominya mempunyai rumah yang sederhana di desanya dan mereka
membangun rumah yang lebih besar di sekitar jalan poros atau jalan utama yang
memang mayoritas penduduknya memiliki rumah dengan tipe dan model yang relatif
sama. Kebanyakan mereka membeli tanah para masyarakat asli Tolaki Landono
kemudian membangun rumah dan masyarakat asli Tolaki Landono pun kebanyakan
setelah menjual tanah, mereka mendirikan rumah yang lebih besar.
Sepintas lalu ini merupakan hal yang
wajar, namun apabila ini berlangsung secara terus-menerus maka para masyarakat
asli Tolaki Landono akan semakin tergeser dan lahannya akan semakin sempit
sementara mereka akan terus beranak cucu. Kondisi yang demikian bisa menyebabkan
rusaknya integrasi diantara masyarakat asli dan pendatang dengan timbulnya
kecemburuan sosial. Hal ini tentu saja belum terjadi saat ini, namun jika hal
ini berlangsung terus dan pola hidup masyarakat asli Tolaki Landono tidak
berubah maka suatu saat persaingan ekonomi akan memberi efek negatif bagi
kelangsungan hidup bermasyarakat di Kecamatan Landono.
b. Persaingan Kebudayaan
Persaingan kebudayaan disini
meliputi persaingan dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Dalam bidang
keagamaan, persaingan ini memberi efek positif pada masyarakat, yaitu
masyarakat berupaya dalam memperbaiki sarana peribadatan masing-masing dan
berupaya menggiatkan ritual-ritual keagamaan di masing-masing desa sebab enggan
dikatakan ketinggalan dari desa lain. Mereka mengadakan majelis ta’lim, taman
pengajian Al-Qur’an (TPA), yasinan, kebaktian untuk yang beragama Kristen dan
sembahyang bersama di Pura bagi yang beragama Hindu.
Kegiatan yasinan dilakukan
masyarakat tiap hari kamis malam dengan melakukan giliran dari rumah kerumah,
sedangkan majelis ta’lim dilakukan tiap hari jum’at sore di mesjid
masing-masing. Untuk TPA dilaksanakan setiap sore oleh anak-anak tiap sore di
mesjid atau mushallah terdekat. Namun di beberapa desa TPA-nya dilakukan di rumah guru mengajinya langsung.
Untuk yang beragama Kristen, mereka membentuk
lingkungan (kring) yang bertujuan untuk menyadarkan umat di
suatu wilayah sebagai bagian dari gereja serta untuk mempermudah komunikasi
antar umat dalam melaksanakan kegiatan peribadatan. Mereka mengadakan kebaktian setiap hari sabtu
dari rumah ke rumah. Kadang kala apabila ada yang mempunyai hajatan di rumah
salah seorang jemaat yang hampir berdekatan harinya maka mereka menggeser
kegiatan hari sabtu tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama. Kebaktian ini biasanya
dipimpin oleh seorang pendeta. Di Kecamatan Landono terdapat 3 orang pendeta
yang melayani 3 gereja. Masyarakat yang beragama Kristen tersebar di desa
Tridana Mulya, Abenggi dan Watabenua.
Untuk umat Hindu, mereka mengadakan
sembahyang bersama di Pura setiap 15 hari, yaitu pada saat bulan mati dan bulan
purnama. Selain itu mereka melakukan odalan setahun sekali namun perhitungan
tahunnya bukan berdasarkan tahun masehi yang satu bulan terdiri dari 30-31
hari, namun dalam 1 bulan mereka hitung selama 35 hari. (wawancara)
Pada saat ini persaingan antar umat
beragama tidak terdapat di Kecamatan Landono, masyarakatnya bebas menjalankan
aktifitas keagamaannya dengan toleransi yang tinggi. Yang perlu diwaspadai
adalah munculnya fanatisme berlebihan dari salah satu agama yang dapat
mengancam kehidupan antar umat beragama di Kecamatan Landono.
Dalam bidang pendidikan, masyarakat
berlomba-lomba menyekolahkan anaknya kesekolah yang lebih tinggi karena
masyarakat Kecamatan Landono telah menyadari pentingnya pendidikan bagi
anak-anak mereka.
c. Persaingan Kedudukan
Persaingan kedudukan adalah
merupakan keinginan seseorang untuk lebih diterima dan diakui dalam masyarakat.
Persaingan ini secara
realitas tergambar pada saat pemilihan kepala desa. Walaupun demikian persaingan
ini tidak menimbulkan disintegrasi dalam masyarakat Kecamatan Landono.
Riak-riak ketegangan dalam pemilihan Kepala Desa adalah hal wajar bagi
masyarakat. setiap warga pasti menginginkan jagoannya yang menang namun
demikian ketika hasil telah diputuskan masyarakat langsung bersatu padu
mendukung siapa pun yang terpilih. Sikap sportif yang ditunjukkan oleh
masyarakat Kecamatann Landono semakin mempererat integrasi sosial di daerah
tersebut. (wawancara)
d. Persaingan Ras
Persaingan ras dalam arti yang positif diperlukan
untuk melestarikan budaya asli masing-masing etnis sebagai satu kekayaan
bangsa, namun demikian dapat juga memberi efek yang negatif bila masyarakat
saling mengagung-agungkan etnisnya dan menganggap etnis lain lebih rendah.
Persaingan ras dalam arti yang negatif tersebut tidak ditemui dalam masyarakat
Kecamatan Landono. Semua masyarakat menganggap bahwa etnis atau ras
masing-masing memiliki kelebihan sendiri sehingga tidak pantas dibandingkan
antara satu sama lain. Walaupun demikian, mayoritas masyarakat Kecamatan
Landono masih memiliki identitas etnis yang ada disana sehingga tanpa
menyebutkan suku, identitas etnis tersebut bisa langsung terbaca. Identitas
etnis bisa diketahui dari cara masyarakat berbicara baik itu masyarakat asli
Tolaki, Jawa-Bali, buton, Bugis, Toraja ataupun Makassar. Dari logat bahasa
mereka dapat langsung diidentifikasi suku bangsa masyarakatnya. Walaupun mereka
sudah lama berbaur satu sama lain namun logat bahasa masyarakat Kecamatan
Landono masih kental dengan etnis masing-masing. Adanya identitas etnis dari
segi logat bahasa tidak menimbulkan pengaruh negatif bagi masyarakat Kecamatan
Landono.
2. Kontraversi
a. Kontraversi Antar Generasi
Kontraversi antar generasi wajar
tejadi, sebab perkembangan zaman terus merangkak maju, setiap tahun terjadi
perubahan, bahkan pola pendidikan pun mengalami pergeseran. Pengetahuan tentang pola hidup, pertanian,
teknologi dan komunikasi mengalami kemajuan pesat. Apa yang dianggap tabu oleh
orang-orang terdahulu sekarang sudah dianggap biasa, sehingga perbedaan
pendapat dan pandangan oleh generasi terdahulu dan sekarang sering terjadi.
Kalau dulu mengeluarkan pendapat dilakukan dengan sopan, santun dan memikirkan
kadar ketersinggungan orang lain maka saat ini hal itu telah mengalami
pergeseran dimana mengeluarkan pendapat identik dengan penghujatan dan
penghakiman.
Pergeseran-pergeseran semacam itu belum
nampak di Kecamatan Landono. Masyarakatnya masih hidup dalam kondisi mewarisi
pola-pola hidup masyarakat yang sopan, santun dan memiliki penghargaan kepada
orang lain. Namun demikian, hal yang perlu diwaspadai adalah masuknya
perubahan-perubahan tersebut di dalam kehidupan masyarakat yang di bawa oleh
generasi muda Kecamatan Landono yang melanjutkan sekolahnya di luar Kecamatan
Landono. Hal tersebut bukan tidak mungkin akan membawa perubahan pada pola
tingkah laku masyarakat dan akhirnya menggeser nilai-nilai baik yang selama ini
berkembang di masyarakat sehingga berefek pada integrasi masyarakat Kecamatan
Landono.
b. Kontraversi Seks
Kontraversi seks biasa dikenal dengan
kesetaraan gender. Namun dalam masyarakat Kecamatan Landono, sebagian besar
belum faham tentang apa itu kesetaraan gender. Kontraversi ini menyangkut
tentang pembagian tugas dalam berumah tangga. Realitas yang terjadi pada
masyarakat Kecamatan Landono pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan
cenderung konvensional. Dimana laki-laki bertugas mencari nafkah dan perempuan
mengurus rumah dan anak-anak. Kondisi seperti ini menempatkan masyarakat
Kecamatan Landono dalam kondisi yang stabil, pertengkaran suami istri jarang
terjadi, pembagian kerja jelas, hubungan kekerabatan kental dan minimnya
tingkat perceraian (wawancara).
c. Kontraversi Parlementer
Kontraversi parlementer tidak
ditemui di Kecamatan Landono, sebab kontraversi ini terjadi akibat adanya
mayoritas dan minoritas dalam masyarakat. perbandingan antara masing-masing
etnis yang hamper sama dimana pendatang dan penduduk asli Tolaki Landono adalah
55% dan 45% membuat kontraversi ini kemungkinan kecil terjadi. Keadaan
masyarakat yang relatif seimbang tersebut menumbuhsuburkan integrasi sosial
dalam masyarakat sebab tidak ada yang mendominasi.
3. Konflik
Dalam kasus-kasus konflik yang
terjadi di daerah yang sering terjadi konflik kekerasan, tidak dipungkiri bahwa
dengan meningkatnya heterogenitas etnis dapat menimbulkan masalah timbulnya
gangguan dalam antara kelompok etnis, kadang-kadang menjurus ke konflik
terbuka, terutama dalam konflik tersebut berkaitan dengan masalah perbedaan
sikap dan pandangan terhadap kelompok etnis lainnnya. Dalam konflik tersebut
tidak jarang diaktifkannya kesukubangsaan dan steriotife etnik negatif, yang pada hakekatnya bersumber dari
identitas yang dimiliki masing- masing etnis.
Bagi
masyarakat Kecamatan Landono pada umumnya, konflik adalah merupakan peristiwa luar biasa yang dapat merusak tatanan
hidup bermasyarakat yang patut dihindari, tabu dan dapat mengganggu
keharmonisan hidup antar masyarakat di Kecamatan landono. Konflik yang dipahami
oleh masyarakat merupakan konflik yang membawa kekerasan dan bentrok fisik,
oleh karena itu perlu segera diakhiri dan diselesaikan (wawancara). Pandangan
masyarakat Kecamatan Landono terhadap konflik ini juga telah diungkap oleh
Sutaryo tentang beberapa mitos masyarakat tentang konflik (2000 : 246).
Dari pandangan masyarakat tersebut, dapat diketahui bahwa
masyarakat Kecamatan Landono menganggap bahwa konflik merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi kelangsungan proses integrasi di dalam masyarakat Kecamatan
Landono yang selama ini berjalan sangat baik. Mereka mengambil pengalaman masa
lalu sebagai pelajaran yang sangat berharga di dalam kehidupan mereka lewat
kasus Amotowo dan Sabulakoa. Meskipun konflik ini tidak menyebabkan konflik
horizontal yang lebih besar di dalam masyarakat, namun menyebabkan kerugian
bagi masyarakat dengan adanya korban dan ketegangan yang walaupun cuma
berlangsung dalam 1-2 hari namun mampu mengganggu proses bersosial masyarakat
baik itu ke sawah, ke pasar maupun aktifitas warga yang lain.
Dari peristiwa inilah masyarakat Kecamatan Landono
menganggap bahwa konflik tidak membawa keuntungan bagi mereka namun menyebabkan
kerugian dengan terciptanya suasana yang tidak harmonis diantara masyarakat.
Ketidakharmonisan yang berlangsung lama dalam masyarakat merupakan hal yang
dapat merusak integrasi di dalam masyarakat (wawancara).
Dalam upaya penyelesaian
konflik pada masyarakat asli Tolaki di Kecamatan Landono, hal yang dianggap sangat
tepat adalah dengan menggunakan adat lokal atau kearifan lokal karena selama ini sudah membudaya
dalam masyarakat. Oleh karena kearifan lokal adalah sesuatu yang sudah mengakar
dan biasanya tidak hanya berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi
sakral sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah diterima oleh
masyarakat. Dengan adat lokal ini diharapkan resolusi konflik bisa cepat
terwujud, bisa diterima semua kelompok sehingga tidak ada lagi konflik laten
yang tersembunyi dalam masyarakat. Untuk penyelesaian konflik berdasarkan
kearifan lokal pada masyarakat tolaki digunakan “kalosara”.
Menurut Laduma, seorang
tokoh adat masyarakat Tolaki di Landono :
Kalosara merupakan
simbol tertinggi dalam masyarakat tolaki sejak dahulu hingga saat ini juga
merupakan lambang pemersatu dan perdamaian yang sangat sakral dalam kehidupan
suku tolaki. Kalosara merupakan symbol kekeluargaan dan digunakan sebagai alat
perdamaian dalam menyelesaikan salah faham dalam masyarakat. Rotan sebagai
bahan kalo dengan sehelai daun sirih dan pinang adalah untuk mengingatkan orang
tolaki agar hidup rukun dan bekerjasama dengan orang lain, tolong menolong,
terjalin suatu persekutuan hidup yang damai dan tenteram, terhindar dari
perselisihan memperingatkan seseorang agar didalam hidupnya selalu berguna,
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain (wawancara).
Kalosara juga
merupakan simbol kepatuhan masyarakat kepada pemerintah. Pada penyelesaian
kasus Amotowo dan Sabulakoa, kalosara juga digunakan dalam penyelesaian masalah
yang melibatkan pemerintah setempat dan para tokoh adat dan agama. Proses
penyelesaian konflik yang cepat disebabkan oleh kesadaran masyarakat terhadap
makna dari kalosara. Risman Bumbung
yang turut dalam penyelesaian masalah tersebut mengatakan :
Penyelesaian masalah yang
ada di Sabulakoa tersebut juga dikarenakan sikap keluarga korban yang beretnis
Tolaki, yang sangat menjunjung tinggi kesakralan kalosara yang di bawa oleh pihak tersangka yang beretnis Bugis
melalui tokoh adat tolaki setempat. Sudah tradisi yang lazim dalam masyarakat,
bahwa sepanas apapun kondisi psikologis seseorang ketika dihadapkan oleh adat (kalosara) maka semua masalah dapat
diselesaikan lewat proses musyawarah untuk mencari penyelesaian terbaik.
Apalagi Kalosara juga merupakan
simbol kepatuhan masyarakat terhadap pemerintahnya.
Sementara di dalam masyarakat
Bali yang ada di Kecamatan Landono, terdapat kearifan lokal yang sudah ada
sejak dahulu dan masih terpelihara sampai sekarang yaitu menyama braya. Dimana setiap permasalahan dapat diselesaikan secara
kekeluargaan diantara mereka. Tradisi dan kearifan lokal yang masih ada serta
berlaku di masyarakat, berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup rukun
dan damai. Hal itu karena kearifan tradisi lokal pada dasarnya mengajarkan
perdamaian dengan sesamanya, lingkungan, dan Tuhan. Apabila konflik terjadi
antara mereka dengan masyarakat lokal (Tolaki) maka mereka pun menyelesaikannya
sesuai dengan adat-istiadat setempat. Hal ini diungkapkan salah satu Ketua Adat Bali di
Kecamatan Landono, Ketut Simir :
Penyelesaian masalah diantara kami sesama orang Bali dilakukan secara
kekeluargaan baik itu di tingkat lingkungan, dusun dan desa. Semua masalah
dapat diselesaikan lewat rapat kampung, kalau masalahnya menyangkut pidana maka
kami melibatkan pemerintah dalam hal ini kepolisian, karena hal itu di luar
kewenangan kami. Kalau dengan penduduk asli kami tidak pernah ada masalah,
selama ini baik-baik saja. Kalaupun ada, hal ini terkait perkawinan silang
antara suku Bali dan Tolaki. Pada proses penyelesaiannya kami harus mengikuti
cara penyelesaian yang biasa dilakukan oleh suku Tolaki dengan menggunakan
kalosara. Karena kami sangat sadar bahwa penduduk disini sangat menjunjung
tinggi adatnya.
Menurut Korten (1985 : 14) cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan
model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya
setempat. Ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh
dari masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan
pentingnya budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat. Begitupun
yang terjadi dalam masyarakat Kecamatan Landono, mereka lebih menyukai proses
penyelesaian konflik lewat bahasa budaya karena dianggap lebih cepat, lebih
mudah dan lebih sakral.
4. Upaya Peningkatan Integrasi Sosial
Masyarakat Landono
Upaya peningkatan Integrasi Sosial
masyarakat Landono dilakukan dengan mengembangkan toleransi melalui pendekatan
sistem sosial dan sistem budaya. Pendekatan
sistem sosial dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dengan melibatkan seluruh agama
dan suku tanpa adanya diskriminasi. Sedangkan pendekatan sistem budaya, bilamana masyarakat majemuk dapat bersatu
melalui penganutan nilai umum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat.
Nilai-nilai umum ini sebagai perekat bagi kelompok-kelompok dalam kehidupan
bermasyarakat. Nilai-nilai umum itu bersumber pada budaya dominan masyarakat majemuk
yang menjadi acuan perilaku yang terpola. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kalosara
dalam penyelesaian konflik antar etnis di Kecamatan Landono.
Melalui kedua
pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan toleransi untuk meningkatkan
integrasi sosial masyarakat. Tercapainya integrasi sosial memerlukan
pengorbanan baik pengorbanan perasaan, maupun pengorbanan materil. Dasar dari pengorbanan
adalah langkah penyesuaian antara banyak sekali perbedaan perasaan, keinginan,
ukuran dan penilaian. Apabila pengorbanan dan toleransi dapat dicapai dalam
bentuk konsensus, kemungkinan terjadinya integrasi tahap awal akan mulai
nampak. Norma sosial sebagai acuan bertindak dan berprilaku dalam masyarakat
akan memberikan pedoman untuk seorang bagaimana bersosialisasi dalam
masyarakat.
Masyarakat
Landono merupakan contoh keberhasilan masyarakat yang mampu mengintegrasikan
diri terhadap kemajemukan yang melekat padanya. Adanya kemampuan untuk
mengkondisikan keragaman suku bangsa, agama, adat dan kebiasaan menjadi sesuatu
yang tidak perlu dipersoalkan dalam berinteraksi di dalam masyarakat merupakan
wujud dipedomaninya consensus dasar dalam berbangsa dan bernegara yaitu
Pancasila di Kecamatan ini. Keberhasilan toleransi bermasyarakat di Kecamatan
Landono dalam menyatukan semua etnis dan agama dalam bingkai nilai-nilai luhur
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, membentuk masyarakat yang mempunyai
kesamaan tujuan dan cita-cita. Adanya tujuan dan cita-cita yang sama menjadikan
masyarakat Landono sebagai masyarakat yang homogen berdasarkan kesamaan consensus dasar, bukan
lagi sebagai masyarakat yang heterogen karena tersimpul dalam satu nilai budaya
yang sama yaitu budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kesamaan
ini menciptakan rasa solidaritas yang tinggi pada masyarakat Landono yang
tercermin dalam suasana rukun dan damai. Hal ini memberi kesan unik, seiring
kian merebaknya konflik antar etnis di negeri ini.
D. Kesimpulan dan Saran.
1. Kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian,
penulis dapat menyimpulkan bahwa masyarakat asli Tolaki dengan para pendatang,
baik itu para transmigran maupun pendatang lain mampu dapat terintegrasi
dengan baik di tengah kemajemukan yang ada di daerah tersebut akibat adanya rasa toleransi yang tinggi diantara
mereka dalam hidup bermasyarakat di Landono.
2. Saran dan
Rekomendasi.
Dengan tetap
mengacu pada hasil penelitian ini, demi terciptanya integrasi dalam masyarakat
yang majemuk, terciptanya keadaan yang kondusif, dan lebih memantapkan
ko-eksistensi damai serta dapat
mengukuh-kuatkan pilar-pilar harmonis antar masyarakat, maka:
Pertama, hendaknya semua komponen bangsa menunjukkan keterbukaan pandangan dalam menerima perbedaan dan
keinginan untuk belajar memahami pihak lain yang berbeda suku, agama, bahasa dan juga adat dalam berinteraksi sosial.
Perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat majemuk merupakan kekayaan bangsa
Indonesia yang tidak perlu dipersoalkan. Sebagai bangsa
Indonesia hendaknya menerima kemajemukan sebagai kenyataan hidup yang tidak
dapat dihindari serta menyadari sepenuhnya bahwa sikap hidup saling menghormati
antar sesama dan menerima perbedaan baik suku, agama, bahasa dan ras merupakan
bagian yang inheren dengan sila-sila Pancasila.
Kedua,
hendaknya nilai-nilai luhur yang tertuang dalam Pancasila dikembangkan menjadi
suatu kebiasaan dalam bermasyarakat dengan menjadikannya pedoman hidup
berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luhur Pancasila merupakan budaya bangsa
yang mampu mengintegrasikan beranekaragam kebudayaan daerah di Indonesia.
Selain itu, hendaknya untuk mendorong integrasi sosial masyarakat majemuk
diperlukan pemimpin yang berfikiran pluralis sebab faktor kepatuhan masyarakat
kepada pemerintah juga merupakan hal penting dalam mewujudkan masyarakat yang
terintegrasi dengan baik.
Ketiga, hendaknya semua komponen bangsa menyadari bahwa
konflik yang berujung kekerasan dan bentrok fisik yang disebabkan oleh suku,
agama dan ras seharusnya dicegah, sebab dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Olehnya itu diperlukan sikap
humanis, inklusif, dan pluralis dalam
hidup bermasyarakat agar tercipta saling pengertian yang kental dan
mendalam. Interaksi antarumat beragama perlu dikembangkan dan dipupuk secara
lebih intensif dan komprehensif melalui pendekatan di berbagai aspek termasuk
dalam menjaga hubungan harmonis yang selama ini sudah tercipta.
Keempat, dalam upaya meningkatkan integrasi masyarakat
majemuk, hendaknya toleransi hidup bermasyarakat selalu menjadi pijakan dalam
setiap sendi-sendi kehidupan baik dalam keluarga, tetangga, lingkungan,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Harus selalu diingat bahwa toleransi
merupakan nafas dari saling pengertian, saling menghargai, menghormati dan
kerukunan hidup di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Blau, Peter M. Inequality and Heterogenity A Primitive
Theory Social Stucture. New York: The Free Fress. 1997.
Bohannan dan Mark
Glazer. High Points in Antropology.
New York: Alfred A Knof. 1973.
BPS Kabupaten Konawe
Selatan. Konawe
Selatan dalam Angka 2009. Andoolo: BPS Kabupaten Konawe Selatan, 2009.
BPS Kabupaten Konawe
Selatan. Kecamatan Landono dalam Angka
2009. Andoolo: BPS Kabupaten Konawe Selatan, 2009.
BPS Provinsi Sulawesi
Tenggara. Hasil
Sensus Penduduk tahun 2000.
Buggers, R.G. Strategies of Educational Research
Qualitative Methods. London & Philadelphia: The Falmer Press. 1985.
Christopher, Daniel
L.Smith (editor) . Lebih Tajam Dari
Pedang-Refleksi Agama-Agama Tentang Paradoks Kekerasan. Yogyakarta :
Kanisius. 2005.
Condliffe, Peter. Conflict
Management: a Practical Guide. Kuala
lumpur: S. Abdul Majeed & Co. 1995.
Coser, Lewis A. The Functions of Social Conflict. New
York: The Free Press. 1956.
Departeman Transmigrasi.
Bentuk-bentuk Interaksi Sosial Antar
Kelompok Etnik di Daerah Transmigrasi. Jakarta: Litbang Departemen
Transmigrasi. 1978.
Geertz, Clifford. Old Societies and New States : The
Integrative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in the New
States. New York : The Free Press of Glencoe. 1963.
Gluckman, Max. Conflict and Ritual in Africa. Oxford:
Maxwell-Bassel Co. 1973.
Hatch, Elvin. Theories
of Man and Culture. New York & London: Colombia University Press. 1973
Inkeles, Alex. “ What is Sociology : An Introduction to The
Disciplinary and Profession”. Foundation of Modern Sociology Series. New
Jersey: Frentice Hall, Inc Englewood Cliffs. 1964
Idris, La Malik. Dakwah dalam Masyarakat Plural : Peranan
Tokoh Agama dalam Memelihara Hubungan Harmonis Antar Umat Beragama di Kendari. Disertasi. Makassar: Universitas
Islam Negeri Alauddin. 2008
Koetjaraningrat.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Djambatan. 1993.
Korten,
David C. Pembangunan Berpusat pada Rakyat.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1985.
Kuper, Leo dan M.G.
Smith eds,. Pluralism in Africa: “Pluralism and the Polity: A Theorical
Exploration” oleh Pierre L. Van Den Berghe. Barkeley and Los Angeles:
University of California Press. 1969.
Liem, Tjong Tiat. Ethnicity and Modernization in Indonesian
Education : A Comparative Study of Pre-Independence and Post-Independence
Periods. Disertasi: University of Wisconsin. 1968.
Martono. The Five Dimention Of Intgrated
Transmigration. Jakarta : Departemen Transmigrasi. 1985.
Misrawi, Zuhairi . “Toleransi Sebagai Kuasa Nilai”. Kompas
24 Mei 2008.
Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
Parsons, Talcott. The Social Systems. London: Tavistock, 1952.
_____________. “Durkheim”. Emilie (dalam) International
Encyclopedia of The Social Sciences Company & The Free Press. New York
: hal 311-319. 1972
Provinsi Sulawesi
Tenggara, Kanwil Departemen Transmigrasi dan PPH. Konsep Pembangunan Berwawasan Bhineka Tunggal Ika. Dokumen Departemen Transmigraai dan
PPH 1999. Kendari: Kanwil Departemen Transmigrasi dan PPH
Provinsi Sulawesi Tenggara, 1999.
Radeliffe, Brown A.R. Structure and Function in Primitive Society.
London: Routledge & Kegan Paul. 1952.
Rahardjo, C. B. Benturan Nilai-Nilai Budaya di Daerah
Transmigrasi. Salatiga: Universitas
Kristen Satya Wacana. 1984.
Rex, John. Multicultural and Plural Societies, dalam
The Ethnicity Reader. Montserrat Guibernau dan John Rex (eds). Great
Britain: Polity Press, 1997.
Shibutani, Tomatsu, dkk.
Ethnic Stratification: A Comparative
Approach. London: The Macmillan Company. Collier-Macmillan Limited. 1963.
Singarimbun, Masri. Metodologi Penelitian Survey. Jakarta:
LP3ES. 1983.
Simon
Fisher. Mengelola Konflik: Ketrampilan
dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta: The British Council. 2001.
Smelser, Neil J. “Introduction” (dalam) Values in Models of Modernizations.
Bombay: Ratna Dutta, Vikas Publication, Delhi (v-viii). 1971.
Soekanto,
Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali Press. 1998.
Stanner, W.E.H. “Radliffe-Brown, A.R.” (dalam) International Encyclopedia Of The Social
Sciences. David L Sills (ed), Vol. 3 (13-14), hal 285-289. New York:
MacMillan Company & The Free Press. 1972 (1968)
Sugiyono.
Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Cet. III.
Bandung: Alfabeta. 2007.
Suprayogo, Imam dan
Tabroni. Metodologi Penelitian Sosial
Agama. Cet. II. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2003.
Sutaryo. Sosiologi Komunikasi, Modul UT. Jakarta:
Depdiknas. 2000.
Suthrland, H.A. “Between Conflict and Accomodation History,
Colonialism, Politics in South Asia”. Amsterdam: Vrije Universiteit. 1976.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan
Multikultural-Cross Cultural Understanding Untuk Demokrasid dan Keadilan. Cet. I; Yogyakarta: Pilar
Media, 2005.
Data dari internet :
http://fauzi.ngeblogs.com/2009/12/16/konflik-sosial-dan-integrasi-sosial/ akses 2 Februari 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/integrasi-sosial/
akses 10 januari 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/bentuk-bentuk-integrasi-sosial/
akses 10 januari 2010
http://setabasri01.blogspot.com/masyarakat-majemuk-indonesia.html/
akses 15 Februari 2010
http://smatengaran.blogspot.com/2008/06/konflik-dan-integrasi-sosial.html/
akses 10 januari 2010
http://sosiologipendidikan.blogspot.com/2009/03/integrasi-sosial.html/ akses 10
januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar