TAFAKUR RAMADAN (1)
~ PERBEDAAN
MEMBAWA HIKMAH ~
Bulan penuh
rahmat telah datang! Rahmat itu, utamanya, diberikan kepada orang-orang yang
menjalani puasa Ramadan dengan penuh hikmah. Karena itu, bulan Ramadan identik
dengan bulan ‘berburu hikmah’. Berpuasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga.
Atau, apalagi sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Puasa Ramadan harus mampu
mengubah kualitas diri menjadi lebih baik. Lahir dan batin.
Untuk
memperoleh hikmah sebanyak-banyaknya itulah, selama Ramadan kali ini Jawa Pos
dan Kaltim Pos menurunkan kolom TAFAKUR yang akan diisi oleh Agus Mustofa,
mantan wartawan Jawa Pos yang kini telah beralih profesi menjadi penulis buku. Karyanya
yang sudah lebih dari 40 judul buku itu dikenal sebagai serial Diskusi Tasawuf
Modern yang laris manis. Anda akan diajaknya berburu hikmah dengan caranya yang
khas, yakni memadukan pemahaman spiritualitas yang mendalam dengan sudut
pandang ilmu pengetahuan modern.
Selamat
berpuasa Ramadan. Selamat bertafakur. Semoga Allah mengaruniakan barokah dan
hikmah sebanyak-banyaknya kepada kita semua...
* * *
Dalam sebuah
forum kajian, seorang jamaah bertanya kepada saya. ‘’Apakah Pak Agus memilh
satu golongan dan meninggalkan yang lain, terkait dengan perbedaan penetapan
awal puasa ini?’’ Rupanya, ia mengira saya berpikir sempit mengarah ke
golongan tertentu. Sehingga dikhawatirkan akan memunculkan friksi yang semakin
meluas.
Saya
katakan: ’’Tidak. Saya justru ingin menyelesaikan masalah abadi, yang hampir
setiap tahun muncul ini.’’ Kadang berbeda di awal Ramadan, kadang pula di
akhir Ramadan. Dan bahkan sudah merembet ke penetapan Hari Raya Haji yang
semakin tidak jelas jluntrungan-nya. Untuk menyelesaikan
‘ketidak-jelasan’ itulah saya harus bisa menjelaskan secara teknis terlebih
dahulu duduk persoalannya.
Bahwa
perbedaan ini sebenarnya bukan soal penetapan ‘awal bulan’ Ramadan, melainkan
penetapan ‘awal puasa’. Kalau soal awal bulan Ramadan, secara teknis sudah
sangat jelas. Bahwa ketika bulan Sya’ban usai, seketika itu pula sudah masuk
bulan Ramadan. Dalam penanggalan Hijriyah, bulan Sya’ban adalah bulan ke-8,
sedangkan Ramadan adalah bulan ke-9.
Secara
Astronomi, sudah pasti tidak ada jeda antara Sya’ban dan Ramadan. Dan itu bisa
langsung dicek di angkasa. Yakni, Kamis pagi posisi bulan masih berada di
sebelah kanan matahari. Namun, sesaat setelah pukul 11.25, posisi Bulan sudah
berada di kiri matahari. Itu artinya, sudah memasuki fase baru, yakni Ramadan.
Sehingga
menjadi aneh, secara astronomi, ketika semua pihak sepakat bahwa Sya’ban sudah
berakhir di KAMIS, 19 Juli 2012, tetapi 1 Ramadan ditetapkan jatuh pada hari
SABTU, 21 Juli 2012. Jangan heran kalau lantas ada kawan saya yang bertanya: ‘’Kalau
begitu hari JUM’AT, 20 Juli 2012 termasuk dalam bulan Sya’ban ataukah Ramadan,
ataukah tidak punya Bulan?’’ tanyanya sambil garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal.
Penetapan
seperti itu, sungguh tidak jelas. Dan membuat umat tambah bingung. Harusnya
dibedakan antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Ramadan sebagai bulan, sudah
pasti telah masuk SESAAT setelah ijtima’ - posisi segaris antara
Bulan-Matahari-Bumi. Dan bisa langsung diamati di angkasa dengan menggunakan
peralatan astronomi, maupun simulasi metode hisab. Karena tidak mungkin ada
‘hari antara’ di peralihan Sya’ban dan Ramadan. Pilihannya hanya dua: masuk
Sya’ban atau Ramadan.
Nah, ketika
sudah disepakati Sya’ban telah habis Kamis siang, maka siang itu pula hilal
sudah memasuki bulan Ramadan. Sehingga sore hari saat matahari tenggelam ‘hilal
Ramadan’ sudah berumur 6 jam. Memang tidak akan terlihat oleh mata telanjang,
saking tipisnya. Tetapi, bulan Ramadan sudah masuk.
Tinggal
masalahnya: apakah akan berpuasa hari Jum’at ataukah hari Sabtu. Ini sudah
bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masalah fiqih ibadah puasa.
Disinilah sebenarnya perbedaan itu muncul. Ada yang berpatokan pada hadits:
jika hilal tidak kelihatan, maka genapkanlah. Sehingga, karenanya ada yang
berpuasa Sabtu. Lainnya berpendapat: karena bulan Ramadan sudah masuk, maka
wajib hukumnya untuk segera berpuasa. Masalahnya menjadi clear. Silakan
Anda memilih sesuai keyakinan Anda sendiri-sendiri.
Seandainya, perbedaan
itu dijelaskan dengan cara demikian, saya kira masyarakat luas akan bisa
memahami dan menerima dengan lapang dada. Sayangnya, yang terjadi sangat rancu:
campur aduk antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Dan persoalannya menjadi
merembet kemana-mana. Ada yang merasa dibodohi karena informasinya seperti
ditutupi, ada yang merasa dibodohkan karena dianggap tidak bisa menghitung,
padahal dia merasa sebagai pakar ilmu Falak. Dan, ada pula yang tak tahu harus
melakukan apa, karena serba bingung.
Jika,
kondisinya clear seperti itu, saya kira perbedaan ini akan benar-benar
membawa hikmah dan menjadi rahmat bagi umat Islam. Setiap orang menjadi paham
duduk persoalannya. Dan terserah mereka mau memulai puasa Jum’at atau Sabtu,
dengan dalilnya sendiri-sendiri. Pertanggungjawabannya langsung kepada ilahi
rabbi.
Tetapi,
kalau soal ketidak-jelasan hari Jum’at masuk Sya’ban atau Ramadan, itu
pertanggung-jawabannya adalah secara Astronomi. Dan itu berlaku untuk seluruh
penduduk Bumi, bukan hanya bagi umat Islam. Posisi Bulan tak akan bisa
ditutup-tutupi dengan cara apa pun. Karena sungguh, Bulan tak pernah berbohong.
Meskipun, sayangnya, Bulan tidak bisa ngomong. Wallahu a'lam bishshawab. (bersambung).
TAFAKUR RAMADAN (2)
~ BULAN SORE
HARI, PUASA DI ESOK PAGI ~
Ramadan
benar-benar bulan penuh hikmah. Bulan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas
kedewasaan kita dalam beragama. Coba saja lihat, baru berada di ’ambang
pintunya’ kita sudah disodori masalah sebagai studi kasus: ‘perbedaan awal
Ramadan’. Rupanya, Allah sedang mengajari umat Islam agar menjadi lebih pintar
dan dewasa dalam menyikapi berbagai peristiwa yang ada di sekitarnya. Dan,
pembelajaran yang paling mengesankan, memang, adalah dengan studi kasus seperti
ini.
Bukan hanya
studi kasus, tetapi juga harus berulang-ulang! Yang kadang-kadang bisa sangat
membosankan bagi murid-murid yang pandai. Atau, setidak-tidaknya yang punya kecerdasan
di atas rata-rata. Masa iya sih, setiap tahun harus belajar masalah yang
sama: tidak lulus-lulus. Menentukan awal Ramadan, menetapkan 1 Syawal, bahkan
menyepakati Hari Raya Haji pun kita hampir selalu berbeda. Padahal, yang
namanya Hari Raya Haji itu mestinya ‘tidak mungkin’ berbeda di seluruh dunia.
Kenapa?
Ya, karena
penetapannya harus merujuk ke ritual haji di tanah suci. Jika disana
jamaah haji sedang wuquf di Padang Arafah, maka umat Islam di seluruh dunia
disunnahkan melakukan puasa Arafah. Dan esok harinya, di seluruh penjuru planet
ini digelar shalat Idul Adha. Itu bertepatan dengan jamaah haji yang lempar
jumrah dan bertawaf di Baitullah. Tapi, ternyata banyak juga yang melakukan
puasa Arafah, justru saat jamaah haji sudah meninggalkan Arafah, berada di
Mina. Sehingga selayaknya, puasa kita itu tidak disebut sebagai puasa Arafah,
melainkan puasa Mina.
Perbedaan
penetapan waktu ibadah semacam ini sebenarnya boleh saja dikatakan ‘lumrah’
jika hanya terjadi satu-dua kali. Bahkan, disebut penuh hikmah jika arahnya
menuju pada perbaikan kualitas diri maupun keumatan. Tetapi, jika hal semacam
itu terjadi berulang-ulang tanpa solusi yang jelas, ditakutkan akan banyak
‘peserta didik’ yang bosan dengan hal yang sama itu. Apalagi jika mulai muncul
indikasi semakin memburuk. Misalnya, mulai ada yang mempersepsi sidang itsbat
tidak lagi berguna, dan tak mau menghadirinya. Ini menjadi bumerang bagi
kebersamaan umat. Dan bukan lagi memunculkan hikmah, tapi mengarah kepada
masalah yang semakin serius. Kita harus waspada..!
Masalahnya
bukan lagi berada pada tataran keilmuan dan kematangan spiritualitas, melainkan
mulai mendangkal ke arah ego pribadi, kelompok, atau bahkan kepentingan
politis. Jika ini yang terjadi, sungguh kita semakin jauh dari hikmah yang
dijanjikan Allah bertaburan di bulan Ramadan ini. Dan kita akan dimintai
pertanggungjawaban atas hal ini. Khususnya, bagi yang hanya ikut-ikutan.
‘’Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggung-jawabannya (masing-masing). [QS. Al Israa’: 36].
Jika secara
keumatan tidak ada yang mampu menyelesaikan masalah ini, maka umat Islam harus
pandai-pandai mengambil hikmah secara pribadi, agar kita tidak menjadi korban
sia-sia. Dan, kita berharap, mudah-mudahan Allah segera mengirimkan pemimpin
yang memiliki kapabilitas dan integritas yang bisa menyatukan umat, demi
kemaslahatan bersama.
Bagaimanakah
caranya agar kita selamat secara pribadi dan tidak menjadi korban kesia-siaan
dari sebuah kelalaian ataupun ketidak-pedulian? Tentu saja, harus memiliki
pengetahuan tentang kasus ini, sebagaimana diajarkan dalam firman Allah di
atas. Yang pertama, pahamilah kapan bulan Sya’ban berakhir. Yang jika kita
merujuk ke pendapat para pakar Astronomi dari lembaga-lembaga
berkompeten, hasilnya adalah sebagai berikut.
Menurut ahli
Ilmu Falak PBNU KH Slamet Hambali, sebagaimana dikutip oleh website resmi PCNU
Pekalongan, akhir Sya'ban 1433 Hijriyah jatuh pada Kamis (19/7). Demikian pula
Muhammadiyah malah sudah mengumumkan bahwa akhir Sya’ban jatuh pada Kamis, 19
Juli 2012. Sedangkan, menurut pakar Astronomi Boscha, Dr Ir Moedji Raharto,
akhir bulan Sya’ban akan terjadi pada Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib.
Artinya, semua pihak sebenarnya sepakat, bahwa hari Kamis, 19 Juli 2012 itu
bulan Sya’ban sudah berakhir, pada siang hari itu.
Masalahnya,
karena habisnya adalah siang hari, maka pada saat matahari terbenam ketinggian bulan
sabit sebagai penanda datangnya Ramadan masih berusia sekitar 6 jam, alias
di bawah 2 derajat. Sehingga sangat mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang.
Tetapi, kalau kita sepakat bahwa puasa ini adalah ‘Puasa Ramadan’, tentu kita
sudah harus berpuasa ketika bulan Ramadan itu datang, bukan? Persis seperti
dijelaskan dalam ayat berikut ini.
‘’ Bulan
Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia. Dan berisi penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (kebaikan
dan keburukan). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa... [QS. Al Baqarah: 185]
Yang perlu
kita pahamkan lebih lanjut adalah, bahwa waktu sahur untuk berpuasa esok hari
itu masih sekitar 10 jam lagi. Kita mengamati datangnya bulan sabit sekitar jam
6 sore, tapi waktu untuk berpuasa dimulai sekitar jam 4 pagi. Jadi, kalau pun
jam 6 sore itu bulan belum kelihatan, sepuluh jam lagi pasti dia sudah sangat
tinggi di atas horison, berusia sekitar 16 jam. Karena, sebenarnya malam itu
Ramadan memang sudah datang..!
Maka, betapa
sayangnya jika bulan penuh rahmat yang sangat mulia ini tidak kita sambut
kedatangannya. Dan kita baru berpuasa esoknya pada tanggal 2 Ramadan.
Sementara, Allah pun sudah memerintahkan agar kita segera berpuasa begitu bulan
suci ini hadir. Kenapa kita mesti dibingungkan oleh bulan sabit sore hari ya,
padahal puasanya kan baru esok pagi? Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).
TAFAKUR RAMADAN (3)
~ MENGURAI
BENANG KUSUT PENETAPAN WAKTU IBADAH ~
Perbedaan
yang sering terjadi dalam menentukan waktu ibadah umat Islam harus mulai
diurai. Karena, ibarat benang kusut masalah ini semakin tidak ketahuan ujung
pangkalnya. Lha, kalau ujung pangkalnya saja tidak ketahuan, bagaimana
kita bisa mengurai keruwetan?
Penetapan
waktu ibadah sebenarnya bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu shalat. Bahkan
ayat tentang ini sangat jelas disebut Al Qur’an, bahwa shalat adalah ibadah
yang ditetapkan waktunya. ‘’... Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [QS. An Nisaa’: 103]
Namun, waktu
shalat bisa diselesaikan dengan relatif mudah. Terjadi kompromi antara tradisi
dengan sains secara harmonis. Dulunya, waktu shalat ditetapkan dan dijalankan
sesuai tradisi Rasulullah, yakni dengan melihat posisi matahari secara kasat
mata, karena memang di zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.
Ketika fajar
sudah mulai merebak di ufuk timur, umat Islam diwajibkan menghadap Allah dengan
shalat fajar atau shalat Subuh. Ketika matahari sudah melewati ufuk
tertingginya, diwajibkan shalat Zhuhur. Saat matahari berada di pertengahan
antara ufuk tertinggi dengan saat tenggelam, diwajibkan shalat Ashar. Dan
ketika matahari sudah tenggelam di ufuk Barat, umat menjalankan shalat Mahgrib.
Kemudian, saat gelap malam menjalankan shalat Isya’.
Dalam
perkembangannya, umat Islam sesudah zaman Nabi merumuskan cara mudah untuk
menandai datangnya waktu shalat itu. Yakni, dengan menegakkan tongkat di bawah
sinar matahari. Khususnya di Indonesia. Saya ingat betul bagaimana guru ngaji
saya sewaktu kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu shalat itu. Waktu
zhuhur adalah saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke
timur. Waktu Ashar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu
sendiri. Waktu Maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. Waktu Isya’,
sudah gelap malam. Dan Subuh adalah saat fajar shidiq, dimana warna benda sudah
bisa dibedakan antara hitam dan putih.
Sekarang,
kita sudah tidak menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan
datangnya waktu shalat. Saya tidak pernah lagi menegakkan tongkat untuk
mengetahui datangnya waktu Zhuhur atau Ashar. Demikian pula untuk Maghrib,
Isya’ dan Subuh, saya hampir-hampir tidak pernah melihat ke langit untuk
menaksir cahayanya. Saya sudah begitu percayanya kepada jam tangan, jam
dinding, atau jam di handphone saya. Dan saya lihat, itu juga yang dilakukan
oleh para muadzin, sebelum ia mengumandangkan adzan. Tradisi telah bergeser,
tanpa meninggalkan substansi waktu shalat.
Ketika saya
bermukim di Kairo, Mesir selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang
masa kecil saya saat mengaji itu. Karena tradisi menegakkan tongkat untuk
mengukur datangnya waktu shalat itu ‘ketemu batunya’. Saat Zhuhur datang,
ternyata bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek. Melainkan sama
panjangnya dengan tinggi badan saya. Dan arah bayangan itu tidak ke timur,
melainkan agak ke utara. Karena, posisi matahari Mesir di musim dingin itu
berada di Timur-Selatan.
Menurut
pelajaran ngaji saya saat kecil, itu mestinya waktu Ashar. Tapi jam tangan
saya menunjukkan pukul 12 siang. Dan ketika Ashar datang, sekitar jam 3 sore,
bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, melainkan dua kali
tinggi badan saya. Saya garuk-garuk kepala, karena pelajaran fiqih yang saya
terima ketika kecil itu hanya bisa dijalankan di Indonesia. Dan tidak berlaku
di Mesir. Apalagi di Eropa utara. Atau New Zealand ke selatan.
Karena, di
Eropa utara keadaannya semakin runyam. Suatu ketika saya berkunjung ke Belgia
untuk menghadiri konferensi Aeronautika atas undangan Menristek B.J. Habibie
waktu itu. Di puncak musim panas, siang harinya lebih panjang dari malamnya.
Waktu Maghrib datang sekitar jam sepuluh malam. Tentu saja, tradisi menegakkan
tongkat itu tidak bisa berlaku lagi. Apalagi di Finlandia, dimana matahari
tidak tenggelam sampai 23 jam, dan malam hari hanya berdurasi 1 jam. Atau,
semakin parah di St Petersburg – kota kecil di utara Moskow – dimana matahari
bisa tidak tenggelam selama 24 jam..!
Waktu shalat
menjadi ‘kacau’ jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahari. Apalagi waktu
puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh berpuasa 24 jam di Moskow dan sekitarnya,
ketika musim panas datang. Karena menurut ‘fiqih tropis’, mestinya berpuasa itu
dimulai saat matahari belum terbit, dan diakhiri setelah matahari terbenam.
‘’Mataharinya tidak terbenam, mas..!’’ Kata kawan saya Saipudin Zuhri, yang
bekerja di KBRI Moskow. Tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku
disini. ‘Fiqih tropis’ harus diadaptasi menjadi ‘fiqih sub tropis’. Atau,
bahkan ‘Fiqih luar angkasa’ ketika diterapkan kepada para astronout yang sedang
bertugas di orbit bumi.
Karena jika
tidak, ajaran Islam akan terjebak kepada tradisi masa lalu yang tidak bisa
diterapkan lagi untuk umat manusia di zaman modern. Sehingga tidak heran,
sahabat saya, mantan rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Bambang Guritno
yang pernah bersekolah di Eropa mengatakan: ‘’Mas Agus, jangan-jangan
orang-orang Eropa itu enggan masuk Islam karena takut disuruh berpuasa 24
jam..!’’ Kan runyam kalau begini pemahamannya.(Agus
Mustofa-bersambung).
TAFAKUR RAMADAN (4)
~ PUASA
RAMADAN ANTARA TRADISI & SAINS ~
Tentang
perbedaan awal Ramadan kali ini, saya ingin mengemukakan pendapat salah seorang
kawan. Ia mengatakan, bahwa perbedaan itu sebenarnya berujung pangkal
dari definisi hilal, yang memang berbeda. Ada yang mendefinisikan hilal
secara tradisi, dan ada yang mendefinisikannya secara substansi. Jika
didefinisikan secara tradisi, maka hilal adalah bulan sabit yang tampak
oleh mata telanjang, seperti zaman Nabi SAW. Tetapi, jika hilal
didefinisikan sebagai substansi, hilal adalah penanda datangnya ‘bulan
baru’. Sehingga kemunculannya bisa dihitung dengan metode sains modern, tanpa
harus mensyaratkan terlihat secara kasat mata.
Maka,
sebagaimana penetapan waktu shalat, kita bisa memilih definisi tentang hilal.
Jika waktu shalat dipahami secara tradisi, maka tidak bisa tidak, kita harus
selalu melihat matahari setiap mau menjalankan shalat, sebagaimana Rasulullah
melakukannya saat itu. Dalam hal puasa Ramadan, hilal harus terlihat
kasat mata, tanpa ada kompromi apa pun. Termasuk jika awan tebal menutupi ufuk
barat selama berhari-hari, sehingga hilal tidak kelihatan. Tetapi, jika kita
memilih substansi bahwa hilal adalah penanda datangnya bulan Ramadan,
maka kita sudah bisa memulai puasa Ramadan sesuai hasil perhitungan waktu
secara saintifik, tanpa terikat penampakan hilal. Persis seperti
penentuan waktu shalat yang cukup melihat jam sebagai hasil hisab
ilmiah, tanpa harus melihat matahari.
Dalam
konteks umat Islam di Indonesia, masalahnya memang bukan soal bisa melakukan
perhitungan secara saintifik atau tidak. Karena semua pihak sudah sama-sama
pintar menghitung posisi Bulan. Melainkan, pada ketidak-kesepakatan penentuan
definisi hilal tersebut. Satu pihak mendefinisikan hilal secara
tradisi, dan lain pihak mendefinisikan hilal sebagai substansi. Runyamnya,
perbedaan yang mestinya sederhana dan bisa diselesaikan secara teknis ini,
lantas merambah ke wilayah yang lebih politis dengan bumbu-bumbu ego pribadi
atau ego kelompok, yang semakin ‘kusut’.
Maka, ketika
hal ini masih belum bisa diselesaikan secara keumatan, saya mengusulkan agar
umat Islam menjadi tahu duduk persoalannya secara pribadi terlebih dahulu. Agar
sebagai individu, kita bisa mempertanggungjawabkan keputusan kita di hadapan
Allah. Dan biarlah mereka yang punya kewenangan untuk memutuskan secara
keumatan itu juga mempertanggung-jawabkan keputusannya kepada Allah, pada
waktunya.
Umat Islam
harus dipahamkan agar menjadi tahu duduk persoalannya. Dan tidak beragama
secara ikut-ikutan belaka. Karena, pertanggungjawaban kita kepada Allah memang
tidak berlaku rombongan. Melainkan sendiri-sendiri. Pemimpin
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, pengikut juga mempertanggungjawabkan
keikutsertaannya secara personal. Bahkan, antara orang tua, anak, dan guru pun
tidak menghadap Allah secara bersama-sama. Melainkan nafsi-nafsi.
Dan mereka
semua akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah. Lalu berkata para pengikut
kepada pemimpinnya: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu.
Maka dapatkah kamu menghindarkan kami dari azab Allah barang sedikit? Para
pemimpin itu menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami,
niscaya kami akan memberitahukan caranya kepadamu. Kita ini sama saja, mau
mengeluh atau bersabar. Sedikitpun, kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan
diri." [QS. Ibrahim: 21]
Nah, dalam
berbagai perhitungan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten kita
tahu bahwa akhir bulan Sya’ban adalah sekitar 11.25 wib. Di seluruh Indonesia, hilal
muncul pada ketinggian yang sangat tipis, tidak sampai 2 derajat. Dengan
tingkat kecemerlangan di bawah satu persen. Dengan kata lain, hampir bisa
dipastikan tidak tampak oleh mata telanjang. Semua pihak tidak ada yang berbeda
pendapat tentang hasil perhitungan ini.
Tetapi,
ternyata dari data yang sama ini bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Yakni, ketika digunakan untuk memutuskan awal berpuasa. Bukan awal Ramadan.
Kalau, soal awal Ramadan semua berpendapat sama, bahwa bulan Sya’ban sudah
habis pada Kamis, 19 Juli 2012. Dan 1 Ramadan jatuh pada Jum’at, 20 Juli 2012.
Yang berbeda itu, sekali lagi, adalah ‘awal berpuasa’.
Ada yang
berpuasa di tanggal 1 Ramadan (20/7), dan ada yang memulainya di tanggal 2
Ramadan (21/7). Dengan alasan masing-masing. Satu pihak mengikuti tradisi, di
lain pihak berdasar pada substansi. Tentu saja, kita sebagai ‘pengikut’ harus
pintar dan hati-hati mengikutinya, karena pertanggungjawaban kita kepada Allah
itu ternyata bersifat sendiri-sendiri..! Semoga Allah membimbing kita semua di
dalam ilmu dan Ridha-Nya.
* NOTES ini
juga diterbitkan di Jawa Pos dan Kaltim Post di kolom TAFAKUR.
TAFAKUR RAMADAN (5)
~
MENGOMPROMIKAN HISAB DAN RUKYAT ~
Agar tafakur
kita tentang penetapan awal Ramadan ini menghasilkan hikmah yang bermanfaat
untuk umat, saya ingin memberikan usulan yang bersifat kompromistis dalam
tulisan kali ini. Bahwa, penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’
Ramadan sebaiknya dimaknai secara terpisah. Bagaimana maksudnya?
Sesungguhnyalah
yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini adalah rancunya antara
‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’. Awal bulan adalah permulaan ‘bulan baru’ yang
ditandai oleh ijtima’ alias posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Ini
sebenarnya murni wilayah Astronomi alias ilmu Falak. Dimana kedua belah pihak
yang berbeda memiliki kesepakatan yang sama. Bahkan sudah sama-sama pintarnya.
Kesamaan itu
terlihat dari kesepakatan: bulan Syakban berakhir pada hari Kamis, 19 Juli
2012, pukul 11.25 wib. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Kalaupun ada, hanya
berbeda tipis, dalam hitungan menit saja. Bukan jam, atau apalagi hari.
Artinya, sudah ada pijakan yang sama dalam mendekati permasalahan. Kenapa bisa
demikian? Karena, kesimpulan ini memang dibuat berdasar pada fakta posisi
Bulan. Bukankah bulan tidak pernah berbohong? Dan, kita bisa sama-sama
mengeceknya di angkasa. Inilah universalnya Sains, dalam hal ini Astronomi.
Dilihat oleh siapa pun, dan dihitung oleh siapa pun hasilnya kurang lebih sama.
Bahkan, jika yang melihat bulan itu adalah seorang non muslim sekalipun.
Bedanya hanya dalam orde menit, atau bahkan detik disebabkan oleh metode
penghitungan saja.
Perbedaan
baru muncul, ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa: Jum’at (20/7) ataukah
Sabtu (21/7)? Sebenarnya ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan
masuk wilayah Fikih. Wilayah Astronomi bersifat eksak, sedangkan wilayah Fikih
bersifat lentur sesuai kondisi yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal
Ramadan, fakta Astronomi yang eksak dan Fikih yang lentur itu jangan
dicampur-adukkan. Karena, hasilnya akan sangat membingungkan.
Bagaimana
Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya. ‘’Semua lembaga yang
berkompeten SEPAKAT bahwa bulan Syakban habis pada KAMIS, 19 Juli 2012, pukul
11.25 wib. Dan karena hilal tidak kelihatan, maka diputuskan dan ditetapkan
bahwa 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012.’’
Secara fakta
Astronomi kesimpulan semacam ini tidak memperoleh pijakan. Karena, Syakban
adalah bulan ke-8 dalam penanggalan Hijriyah, dan Ramadan adalah bulan ke-9. Mestinya,
tidak ada jeda hari antara Syakban dan Ramadan. Begitu Syakban habis, langsung
masuk ke Ramadan. Lha ini, Syakban berakhir pada hari Kamis, tapi awal
Ramadan jatuh hari Sabtu. Tidak heran, sejumlah kawan langsung me-SMS saya.
Mereka bertanya: ‘’lho terus hari Jum’at itu ikut bulan Syakban, ataukah
Ramadan, ataukah tidak punya Bulan, mas?’’
Logikanya
memang menjadi ‘jumping’. Sangat sulit mencernanya. Apalagi ini wilayah
ilmu Astronomi yang eksak, bisa langsung dicek ke angkasa. Logikanya, jika Kamis
siang itu bulan Syakban sudah habis, sesaat kemudian sudah masuk bulan Ramadan.
Jadi, bulan sabit yang kita rukyat pada Kamis sore itu sebenarnya adalah ‘hilal
Ramadan’. Namun, karena usianya masih 6 jam, maka hampir bisa dipastikan hilal
itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang demikian. Semua pihak yang
berbeda pendapat pun pasti paham, bahwa hilal seumur 6 jam tidak mungkin
terlihat. Sampai disini, semua sepakat.
Nah,
perbedaan itu mulai muncul saat menentukan ‘awal puasa’. Ini sebenarnya sudah
bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu Fikih. Yang jika rujukan
kondisinya berbeda, hasilnya bisa berbeda pula. Di wilayah Fikih inilah kita
bisa memahami, ketika salah satu pihak memutuskan berpuasa di hari Jum’at, dan
lainnya di hari Sabtu. Bagi yang berpedoman pada wujudul hilal,
memutuskan permulaan puasanya Jum’at. Sedangkan bagi yang menganut ru’yatul
hilal, memutuskan berpuasa Sabtu. Tidak ada masalah, karena rujukan
Fikihnya sama-sama sahih.
Dengan
demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi Astronomi dan Fikih
yang kuat dan tegas, sehingga umat tidak bingung dibuatnya. Jika diumumkan ke
masyarakat luas, barangkali redaksinya menjadi begini:
‘’Sesuai
dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai lembaga yang berkompeten,
bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Karena
itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi, karena ketinggian hilal
masih sangat rendah, maka tidak ada yang berhasil merukyatnya. Oleh sebab itu,
berdasar pada sunnah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan puasa Ramadan
dimulai SABTU, 21 Juli 2012...’’
Clear. Secara
Astronomi valid, dan secara fikih sah. Bahwa, lantas ada yang berbeda
pendapat dengan pemerintah, dan memulai puasanya di hari Jum’at misalnya, tidak
masalah. Sangat bisa dipahami, karena rujukan fikihnya juga jelas. Yakni,
barangsiapa menyaksikan hadirnya bulan Ramadan hendaklah dia berpuasa QS. 2:
185. Astronomically, Jum’at itu memang sudah masuk 1 Ramadan 1433 H.
Dengan
demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya benang kusutnya
sudah mulai terurai. Dan sudah memperoleh titik temu. Lebih bagus lagi jika
urusan Astronomi, diserahkan saja ke LAPAN atau BOSCHA. Sedangkan urusan fikih
dipisah, diserahkan kepada MUI. Dan menteri agama hanya tinggal membacakan
kedua fatwa itu kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan di tahun depan kita sudah
bisa memperoleh solusi lebih baik. Karena, sungguh kita sudah sangat merindukan
kebersamaan ini. Betapa indahnya, jika Ramadan dan Idul Fitri bisa bersama-sama
dengan sahabat dan handai tolan..! Wallahu a'lam bishshawab.
* Notes ini
juga diterbitkan di koran Jawa Pos, dan koran anak-anak perusahaannya.
TAFAKUR
RAMADAN (6)
~ BECERMIN KE MESIR SOAL ISBAT
YANG LANCAR ~
Saat bermukim di Kairo, Mesir, saya sempat
merasakan datangnya awal Ramadan, awal Syawal, dan lebaran Haji, di tahun 2010
. Penetapan awal puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha disana sangat ‘lancar, aman
dan terkendali’. Karena itu, saya kira sangat pantas kalau kita belajar dari
mereka. Apalagi kita tahu, Mesir dengan Al Azharnya adalah salah satu kiblat
dunia dalam keilmuan Islam. Siapa tahu kita bisa memperoleh inspirasi dalam
menyelesaikan ‘masalah abadi’ yang sangat khas Indonesia ini.
Hampir setiap terdengar perbedaan
penetapan waktu ibadah di Indonesia, sejumlah kalangan di Mesir menanggapi
dengan ‘senyuman aneh’. Mereka rupanya tidak bisa mengerti kenapa persoalan
yang di Mesir sangat simple
itu di Indonesia menjadi ‘hiruk pikuk’. Dimanakah letak masalahnya?
Menyongsong Ramadan, di Kairo suasananya
sangat hangat. Bukan hangat oleh isu penetapan permulaan puasa, melainkan oleh
semangat menyambut datangnya bulan mulia. Hampir di setiap jalan dan gang-gang
mereka menyambutnya dengan lampu tradisional berwarna-warni yang dikenal dengan
sebutan Fanus. Jauh-jauh hari mereka sudah tahu bahwa Ramadan akan jatuh
tanggal sekian, karena sistem kalendernya memang sudah mapan.
Meskipun demikian, pemerintah memang juga
mengadakan sidang isbat untuk menetapkan awal puasa. Namun, sidang itu berjalan
sangat lancar, hampir-hampir tak ada masalah berarti. Pengumuman penetapan awal
puasa di Mesir, sepertinya hanya menjadi ritual atau ‘selebrasi’, bagi
permulaan ibadah bersama. Bukan ‘perjuangan hidup dan mati’ ala sidang isbat di
Indonesia, yang sampai ada walk
out segala.
Sore itu, saya sedang bertamu di rumah
Minister Counselor KBRI, Pak Burhanuddin Badruzzaman. Obrolan kami, salah
satunya, adalah tentang penetapan awal ibadah di Mesir. Dengan tertawa dia
mengatakan bahwa di Mesir tak pernah ada ribut-ribut soal hilal. Juga tidak ada
ribut-ribut soal perbedaan awal puasa maupun Idul Fitri. Apalagi soal lebaran
Haji. ‘’Orang sini memandang kejadian di Indonesia itu sebagai kejadian aneh
bin ajaib,’’ katanya lantas tertawa.
Kenapa di Mesir soal ini bisa sedemikian
mapan? Ada tiga hal yang mendasarinya. Yang pertama, mereka menyerahkan
persoalan kepada ahlinya. Soal penyaksian hilal diserahkan kepada lembaga
Astronomi yang berkompeten. Dimana hasil perhitungan mereka sudah dipakai
sebagai dasar untuk menyusun kalender Hijriyah Mesir. Sehingga, penguasaan
terhadap masalah hilal
itu memang sudah menjadi ‘makanan sehari-harinya’.
Meskipun demikian, menjelang akhir Syakban
lembaga Astronomi Mesir tetap melakukan pengamatan di beberapa lokasi, termasuk
observatorium terbesar di pinggiran kota Kairo: Helwan. Tak ada masyarakat awam
yang boleh melakukan hal itu, karena bisa menimbulkan keraguan atas hasilnya.
Berbeda dengan di Indonesia yang siapa saja boleh melakukannya asal di bawah sumpah.
Sehingga ketika itu benar-benar terjadi - ada penduduk yang mengaku melihat
hilal, dan masyarakat di kawasan itu memutuskan tarawih malam itu juga - malah
memunculkan masalah tambahan.
Yang kedua, lembaga Darul Ifta’ di Mesir
sangatlah berwibawa. Ini adalah lembaga fatwa semacam MUI di Indonesia. Isinya
para ulama fikih Al Azhar, yang ketika itu diketuai oleh Dr Ali Jum’ah. Ia
digelari sebagai Mufti Agung Mesir. Fatwanya sangat didengar oleh umat. Dengan
berdasar pada hasil pantauan para ahli astronomi itulah Darul Ifta’ memberikan
fatwanya, tentang kapan puasa mestinya dimulai. Sehingga tidak ada perbedaan
tafsir atas data astronomi yang dihasilkan.
Sidang isbat dilakukan di kantor Darul
Ifta’, dengan dihadiri oleh sejumlah tokoh pengambil keputusan. Prosesnya
berlangsung sangat singkat dan tidak bertele-tele. Hampir-hampir seperti
seremonial belaka. Tidak ada adu argumentasi yang berlangsung sengit seperti di
sini. Setelah mendengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an, Grand Mufti langsung
membacakan pengumuman dengan terlebih dahulu menyebutkan landasan keputusan
tersebut. Yakni, berdasar pada data hilal dari lembaga astronomi yang
diterimanya dan sejumlah ayat dan hadist yang menjadi rujukannya. Acara pun
selesai. Dan kemudian ditutup dengan lantunan ayat suci al Qur’an kembali.
Hadir dalam sidang isbat itu, diantaranya
adalah Grand Syekh Mesir yang diposisikan sebagai sesepuh umat Islam, gubernur
Kairo yang mewakili Presiden Mesir, Menteri Kehakiman terkait dengan ketetapan
tersebut sebagai produk hukum, dan menteri agama yang membawahkan bidang
tersebut. Selebihnya adalah para ulama dan duta besar perwakilan berbagai
Negara sahabat. Semua undangan itu hanya menjadi saksi atas penetapan awal
Ramadan.
Faktor ketiga, yang menyebabkan pengumuman
penetapan itu sedemikian lancar, adalah kepemimpinan dan pemerintahan yang
kuat. Dalam kondisi normal, pengumuman itu dilakukan oleh lembaga fatwa Darul
Ifta’. Tetapi jika terjadi perbedaan, maka pemerintah akan turun tangan untuk
menyatukan segala perbedaan. Karena, selain sebagai ibadah personal, puasa
Ramadan dan Idul Fitri adalah ibadah yang bersifat sosial secara kolektif.
Pemerintah berkepentingan untuk mengatur warga masyarakat agar suasana tetap
kondusif.
Saya dan Pak Burhanuddin, waktu itu sempat
berandai-andai, membayangkan betapa indahnya ya,
jika proses seperti itu bisa terjadi di Indonesia. Kita bakal benar-benar bisa
beribadah Ramadan dengan hati yang bersih. Dan menikmati indahnya Idul Fitri
dengan hati yang suci..! Insya Allah.
* Notes ini dimuat di koran Jawa Pos dan
koran-koran anak perusahaannya di berbagai kota.
TAFAKUR
RAMADAN (7)
~ PUASA DI PERJALANAN, IKUTI
JAM ATAU MATAHARI ~
Tiga hari menjelang bulan Ramadan, seorang
kawan saya mengirimi SMS dari Amerika Serikat. SMS berbahasa Inggris itu kurang
lebih berisi begini: mas Agus, saya dan anak saya sedang berada di kota
Seattle. Kami berencana melakukan perjalanan ke Oklahoma naik mobil pada saat
bulan puasa. Anak saya memutuskan berpuasa 13 jam saja, sesuai dengan paparan
buku Anda: ‘Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari’. Tapi saya berencana
berpatokan pada gerakan matahari, yang durasinya lebih panjang. Bagaimana
pendapat Anda?
Saya katakan kepadanya, tidak ada masalah
dengan keduanya. Baik berbuka mengikuti tenggelamnya matahari, maupun berbuka
lebih awal. Karena keduanya memiliki pijakan yang jelas. Yang berbuka mengikuti
matahari berdasar pada tradisi yang sahih, sedangkan yang berbuka sesuai
perhitungan jam mengikuti substansi ibadah; yang akan saya jelaskan berikut
ini.
Suatu ketika saya membawa jamaah umroh di
bulan puasa. Berangkat dari Jakarta sekitar jam 1 siang, pesawat bergerak ke
arah barat menuju Jeddah. Kecepatan pesawat itu rata-rata 1000 km/ jam. Karena
bergerak ke arah barat, maka pesawat itu seperti sedang mengejar matahari.
Kecepatan rata-rata matahari 1.600 km/ jam, sehingga pesawat itu pun tertinggal
600 km/ jam. Dampaknya, durasi siang menjadi lebih panjang 4-5 jam, karena
mataharinya lebih lama terlihat.
Kejadian menariknya adalah saat perjalanan
itu sudah menempuh waktu lima jam. Seorang jamaah umroh bertanya kepada saya: ‘’pak Agus, menurut jam tangan saya
yang masih mengikuti waktu Jakarta, sekarang ini sudah jam 6 sore. Tetapi, saya
melihat keluar jendela matahari masih terang. Bagaimana dengan puasa kita,
apakah kami boleh berbuka ataukah harus menunggu matahari tenggelam?’’
Saya katakan kepadanya, ‘’Anda boleh berbuka sekarang
mengikuti jam Jakarta.’’ Saya lihat matanya bersinar penuh tanda
tanya. Dan, ia memang bertanya lebih lanjut:
kenapa kok boleh berbuka sekarang?Bukankah berbuka harus ditandai dengan
tenggelamnya matahari?, tegasnya. Saya menjawabnya demikian, karena
ia memulai puasanya sahur di Jakarta, maka ia pun boleh mengakhirinya dengan
berpedoman pada jam Jakarta juga. Lha
wong tidak berpuasa saja boleh kok.
Karena, ia sedang dalam perjalanan: sebagai musafir.
Jamaah umroh yang mendengar argumentasi
saya ada yang bisa menerima, dan lantas berbuka. Tetapi, sebagiannya tidak
mantap dengan penjelasan saya itu. Dan kemudian memutuskan untuk mengikuti
matahari tenggelam saja. Sambil tersenyum saya katakan kepada mereka: ‘’Silakan
bagi yang mau mengikuti matahari tenggelam’’. Jadilah sebagian jamaah itu
berbuka, dan sebagiannya menahan diri menunggu tenggelamnya matahari.
Satu jam kemudian, jamaah yang menunggu
tenggelamnya matahari itu melihat jam tangannya. Masih jam 19.00 wib. Dia
melihat keluar jendela: sinar matahari terang menyinari langit. Dua jam
kemudian, dia melihat jam tangannya lagi, sudah menunjukkan jam 20.00. Di luar
jendela ternyata masih terang. Tiga jam kemudian, pukul 21.00, ia melihat
keluar jendela lagi, juga tetap masih terang. Ia mulai gelisah. Dan empat jam
kemudian, pukul 22.00 wib, ternyata langit masih terang. Saya lihat, ia sudah
hampir tidak mampu menahan kegelisahan...
Untunglah, tak lama kemudian pramugari
mengumumkan bahwa kota nun jauh di bawah pesawat sudah memasuki waktu maghrib.
Beberapa jamaah itu hampir bersamaan berucap Alhamdulillah,
tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Dibukanya jendela, tapi mereka
terkejut, karena ternyata langit tetap masih terang..! Dengan wajah bingung, ia
bertanya kepada saya, kenapa sampai waktu maghrib pun langit di luar jendela masih
cukup terang.
Sambil tesenyum saya menjawab: ‘’tentu saja, karena kita sedang
berada di ketinggian 40 ribu kaki alias 13 kilometer dari daratan. Sehingga,
matahari masih kelihatan cukup terang.’’ Saya lantas menggodanya, ‘’apakah Anda benar-benar ingin
berbuka setelah matahari tenggelam?” Sambil tersipu mereka pun
memulai berbuka puasa.
Saya katakan lebih lanjut kepadanya, ‘’untung kita naik pesawat dengan
kecepatan 1000 km/ jam. Seandainya pesawat ini bergerak dengan kecepatan 1.600
km/ jam, yakni sama dengan kecepatan matahari, maka kita tidak akan pernah
menyaksikan matahari tenggelam, meskipun berhari-hari mengelilingi bumi.’’
Lebih parah lagi, kalau kita naik pesawat
Concorde yang sudah grounded
itu. Kecepatannya lebih dari 2000 km/ jam. Sehingga pesawat akan menyelip
matahari yang kecepatannya hanya 1.600 km/ jam. Dan ketika matahari sudah
terselip, berarti posisi matahari yang tadinya di barat pesawat, kini menjadi
di timurnya. Artinya, lebih pagi dari saat berangkat. Semakin lama bukan
semakin siang, melainkan semakin pagi. Kemudian ketemu waktu subuh, padahal,
tentu saja, kita sudah shalat subuh di tanah air. Selanjutnya, bertemulah kita
dengan waktu sahur. Semakin runyam, karena semakin jauh dari waktu berbuka..! Kok, jadi ‘kacau balau’
begini?
Yah, begitulah keadaan peradaban modern
ini. Pergerakan manusia yang semakin mengglobal telah menembus batas-batas
waktu konvensional yang selama ini kita jadikan patokan ibadah. Jika kita tidak
melakukan adaptasi sesuai kondisi yang terus berkembang pesat ini, umat Islam
benar-benar akan terjebak di masa lalu, dan sibuk berkutat dengan hal-hal yang
tidak perlu. Wallahu a'lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (8)
~ TAHAJUD SIANG HARI, DUHUR
MALAM HARI ~
‘Shalat adalah ibadah yang
ditentukan waktunya’. Begitulah Allah berfirman di
dalam Al Qur’an. Ayat ini memiliki multi-tujuan. Selain memberikan pedoman
dalam menjalankan shalat, di dalamnya terkandung perintah agar umat Islam
memahami soal waktu. Bahkan, di sebuah surat yang sering kita baca, Allah
menjadikan waktu sebagai sumpah: wal
ashri - demi waktu. Menunjukkan betapa pentingnya ‘waktu’ itu.
Terkait dengan penetapan waktu ibadah
shalat, umat Islam di dunia internasional masih memiliki masalah yang sangat
mengganjal. Dan saya masih sering memperoleh pertanyaan tentang itu. Terutama,
dari kawan-kawan yang sedang melakukan perjalanan lintas waktu global – antar
benua. Atau, yang bermukim di negara-negara sub-tropis.
Kawan saya – cerita di tulisan sebelumnya
– yang sedang melakukan perjalanan dari Seattle menuju Oklahoma itu pun
bertanya tentang hal ini. ‘’Mas, bagaimana saya menentukan waktu shalatnya.
Seiring pergerakan matahari ataukah mengikuti jam saja. Lantas, berpedoman ke
jam yang mana?’’ tanyanya, gundah.
Pertanyaan semacam itu, katanya sudah
disampaikan ke beberapa kawannya yang dianggap mengerti, tapi belum terjawab
secara tuntas, sampai ia membaca buku saya: ‘Tahajud Siang Hari, Duhur Malam
Hari’. Beberapa jawaban yang ia terima, menganjurkan agar ia memanfaatkan saja
‘keringanan’ yang diberikan Al Qur’an, yakni dengan men-jamak-qashar shalat, dan
mem-fidyah
puasanya.
Jamak-qashar berarti mengerjakan dua waktu
shalat dalam satu waktu saja. Misalnya, Duhur dan Ashar dikerjakan di waktu
Duhur, atau boleh juga di waktu Ashar. Jumlah rakaatnya pun tidak usah
empat-empat, melainkan cukup dua-dua. Demikian pula dengan Maghrib dan Isya’,
Tiga rakaat dan dua rakaat. Sehingga shalat lima waktu hanya dikerjakan dalam
tiga waktu saja. Sedangkan fidyah,
adalah tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makanan kepada orang
miskin.
Tapi, menurutnya, karena ia berada di
negara lain itu dalam kurun waktu yang panjang, ‘’masa iya saya harus terus
menerus melakukan jamak-qashar dan fidyah? Bukankah itu hanya berlaku
sementara, beberapa hari saja? Saya di AS selama sebulan, untuk mengunjungi
anak saya yang bersekolah disini,’’ paparnya. Pertanyaan semacam ini beberapa
kali saya terima. Termasuk dari kawan saya yang bekerja di KBRI Moskow, Rusia.
Maka, saya menganjurkan mereka untuk
mengacu kepada jam saja. Sama dengan yang terjadi di negara-negara tropis,
termasuk Indonesia. Setiap shalat tak perlu lagi melihat posisi matahari. Cukup
melihat jam tangan, atau jam dinding atau jam HP. Bahwa shalat Subuh di wilayah
tropis adalah sekitar jam 4 sampai jam 5 pagi. Duhurnya, antara jam 12 sampai
jam 3 siang. Asharnya jam 3 sampai jam 6 sore. Maghrib antara jam 6 sampai jam
7 petang. Dan Isya’ antara jam 7 sampai menjelang subuh.
Pertanyaannya adalah: bagaimana dengan
musim panas yang waktu siangnya bisa jauh lebih panjang? Bisa saja, Maghrib
baru masuk pukul 10 malam. Atau di tempat yang lebih utara lagi bisa jam 11
atau 12 malam. Atau, bahkan tidak tenggelam? Saya menganjurkan kepada
kawan-kawan saya itu agar tidak mempersoalkan matahari lokal. Yang harus
dilihat adalah matahari tropis, di garis bujur yang sama. Karena, di garis
bujur yang sama itu semua kota di berbagai negara pasti memiliki jam yang sama.
Cuma berbeda posisi mataharinya. Yang dijadikan patokan adalah kota di negara
tropis dimana matahari bergerak secara seimbang, pada kawasan 23,5 derajat
lintang utara, dan 23,5 derajat lintang selatan.
Contoh gampangnya begini. Jika di Surabaya
sedang jam 12 siang, maka kota-kota di garis bujur yang sama adalah jam 12
siang juga. Di bagian utara adalah kota-kota di Cina, Mongolia, dan Rusia,
semua yang segaris bujur sedang berada di jam 12 siang. Demikian pula di
belahan selatan, mulai dari pantai barat Australia sampai ke Antartika.
Bedanya, ketika di belahan utara Bumi sedang Musim Panas, maka di belahan
selatan sedang musim dingin.
Yang di utara siangnya lebih panjang,
sedangkan yang di selatan malamnya lebih panjang. Tapi semua kawasan yang
segaris dengan Surabaya itu berada di jam 12 siang. Meskipun di belahan selatan
sedang puncak musim dingin, dan langitnya gelap seperti malam hari,
substansinya kawasan itu sedang berada di siang hari. Jadi, kalau mau shalat
Duhur, tidak usah menunggu matahari musim panas yang baru datang beberapa bulan
lagi. Laksanakan saja shalat Duhur pada ‘malam hari’ itu. Karena, sebenarnya,
meskipun langit sedang petang, sesungguhnya itu adalah jam 12 siang..!
Demikian pula, pada saat tengah malam di
Surabaya. Katakanlah sedang jam 12 malam. Kawasan-kawasan yang sedang mengalami
puncak musim panas, pasti sedang terang benderang. Kalau Anda ingin shalat
Tahajud, Anda tidak perlu menunggu sampai mataharinya tenggelam di musim dingin
yang baru akan datang beberapa bulan lagi. Lakukan saja shalat Tahajud di
‘siang hari’ itu. Karena sesungguhnya, itu adalah jam 12 malam, cuma sedang
dihadiri oleh matahari. Sehingga, terjadilah shalat Tahajud di siang hari,
Duhur di malam hari..!
‘’… Dan Allah menetapkan
ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat
menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena
itu bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an…’’ [QS.
Muzzammil: 20].
Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (9)
~ WAKTU MUTLAK DAN PENANGGALAN
RELATIF ~
Tanggal berapakah sekarang? Orang
Indonesia menyebutnya tanggal 29 juli 2012. Orang Cina menamakannya, 11 Bing
Shen 4710. Dan orang Arab mengatakan, 10 Ramadan 1433 H. Padahal harinya sama.
Tetapi, kenapa kok tanggalnya berbeda? Itulah realitas. Waktu alam semesta
bersifat mutlak, tetapi waktu manusia berbeda-beda, bersifat relatif.
Memang, kalender bersifat kesepakatan
manusia. Bisa dalam komunitas kecil, atau bangsa, atau dunia internasional.
Tiga macam kalender yang saya sebut diatas adalah tiga kalender besar dunia,
yang masing-masingnya dianut oleh miliaran penduduk bumi. Kalender Masehi alias
Gregorian dipakai secara internasional, antar bangsa dan negara. Kalender Cina
dipakai oleh bangsa Cina dimana pun mereka berada. Demikian pula kalender
Hijriyah dipakai oleh umat Islam di berbagai negara.
Perbedaan antara satu kalender dengan
lainnya, terletak pada sistem penghitungan dan permulaan tahun pertamanya.
Kalender Masehi menganut sistem solar yang berbasis pada peredaran bumi
mengelilingi matahari, dan memulai awal tahunnya dari kelahiran Al Masih.
Sekarang sudah berumur 2.012 tahun. Kalender Cina menggunakan dasar perhitungan
terpadu antara sistem matahari dan bulan (lunisolar). Dan awal tahunnya dimulai
dari masa pemerintahan kaisar Huang Ti. Usia kalendernya sudah 4.710 tahun.
Sedangkan kalender Hijriyah berdasar pada perputaran bulan (lunar), dan dimulai
dari saat hijrahnya Rasulullah SAW. Usia kalendernya sudah 1.433 tahun.
Untuk menyebut fakta alam yang sama,
ternyata manusia menggunakan cara berbeda-beda, tergantung pada kepentingannya.
Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi, masing-masing pengguna kalender tersebut
sepakat bahwa kalender mereka berlaku internasional. Bukan hanya pada komunitas
terbatas. Bahkan, semuanya ingin agar kalendernya dipakai sebagai pedoman
internasional untuk menandai berbagai peristiwa.
Kalender Masehi adalah kalender yang
paling global, dianut oleh hampir seluruh negara di dunia. Termasuk yang sudah
punya kalender Cina dan Hijriyah. Sedangkan Kalender Cina terbatas di negaranya
sendiri, dan para Cina perantauan yang masih ingin menjalin hubungan dengan
bangsanya. Demikian pula kalender Hijriyah, berlaku di negara-negara Arab
seperti Mesir dan Arab Saudiyah, beserta umat Islam dimana pun berada, yang
berkepentingan untuk menandai peristiwa-peristiwa keagamaannya. Diantaranya,
puasa Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Semua itu, tentu saja, dimaksudkan
agar pelaksanaan ibadah puasa, Idul Fitri dan Hari Raya Haji memiliki gaung
syiar secara internasional.
Maka, jika terjadi perbedaan antara satu
negara dengan negara lain dalam penetapan kalender Hijriyah, sebenarnya itu
menyalahi tujuan dibuatnya kalender tersebut. Mestinya tidak mungkin berbeda,
kecuali para penganut kalender itu tidak ingin kalendernya mendunia. Dan hanya
berlaku lokal-lokal saja. Atau, bahkan hanya terkotak-kotak dalam komunitas
kecil belaka. Kalender seperti ini bakal berakhir tragis – punah – karena
penganutnya akan semakin sedikit, disebabkan konflik yang terus menerus muncul
karenanya. Dan tidak bisa dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat.
Jadi, untuk apa dibuat kalender kalau
tidak untuk disepakati dan ditaati, dimana negara-negara yang bertetangga pun
bisa berbeda. Bahkan, di dalam negara yang sama pun, ternyata ada dua kalender
Hijriyah. Keadaan semacam ini akan mendorong generasi selanjutnya lebih suka
memilih kalender lain yang lebih praktis. Maka, kayaknya ada yang salah dengan penanggalan
Hijriyah yang berbeda saat awal Ramadan itu. Dan tentu saja harus segera
diselesaikan, karena bisa menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif secara
syiar.
Itulah alasannya, kenapa saya lantas
mengajukan solusi memisahkan ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’ Ramadan, seperti
dalam tulisan sebelumnya. Karena, kalender Hijriyah di seluruh muka bumi ini
harusnya sama. Kalau berbeda, menjadi aneh. Masa, di Arab Saudi dan Mesir
tanggal 1 Ramadan, tapi di Indonesia tanggal 30 Syakban, misalnya. Padahal
jarak antara Timur Tengah dengan Indonesia hanya 4-5 jam saja. Tentu, ada yang
keliru dengan perbedaan ini. Kecuali, kedua kawasan itu berjarak 12 jam,
sehingga berada di balik bumi.
Dengan memisahkan antara ‘awal bulan’ dan
‘awal puasa’, persoalannya menjadi clear.
Bahwa di setiap negara yang menganut kalender Hijriyah, pada hari yang sama
tanggalnya pasti sama. Tetapi puasanya bisa saja berbeda, dikarenakan alasan
fikih terkait penampakan hilal.
Ada yang melakukannya lebih awal, dan ada pula yang lebih akhir. Saya kira –
untuk sementara waktu – tidak menjadi masalah. Karena ada landasan yang jelas.
Akan tetapi akan menjadi absurd,
kalau di antara negara-negara penganut kalender Hijriyah itu sendiri berada di
tanggal yang berbeda-beda. Segala interaksi administrasi internasional bakal
ikut bermasalah.
Mudah-mudahan umat Islam di dunia
Internasional – khususnya di Indonesia – segera menyadari hal yang sangat
serius ini. Segeralah duduk bersama untuk membuat kalender Hijriyah yang disepakati
bersama, karena dari sinilah bermula kerbersamaan umat. Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (10)
~ BERIJTIHAD MENCARI SOLUSI PERBEDAAN ~
Betapa nikmatnya bertafakur di bulan
Ramadan. Apalagi bersama sejumlah pemikir Islam, yang tulisan-tulisannya
tertuang di kolom Tafakur Jawa Pos ini. Kita memperoleh banyak hikmah dan
pencerahan, serta arah yang jelas dalam menjalankan agama dalam kehidupan
sehari-hari. Bahwa ada beberapa perbedaan diantara buah pikiran tersebut, itu
menjadi keniscayaan. Tetapi, justru disitulah Allah menaburkan hikmah dan
rahmat-Nya.
Saya terkesan dengan tulisan Pak Said Aqil
Siroj, ketua umum PBNU, kemarin, tentang perlunya umat Islam kembali kepada
substansi ibadah puasa. Bahwa bulan suci ini harus dimaknai sebagai bulan
perjuangan (syahrul jihad),
bulan bertafakur (syahrul
ijtihad), dan bulan berspiritual (syahrul mujahadah). Ini sungguh cocok dengan
kolom Tafakur yang digagas Jawa Pos.
Maka sejak pertama tulisan saya dimuat di
kolom ini, saya sudah berniat untuk mengajak pembaca Jawa Pos melakukan tafakur
dan ijtihad dalam mencari solusi atas ‘masalah tahunan’ umat Islam dalam
menyongsong Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Meskipun, sebagian kita
berpendapat bahwa masalah ini adalah ‘masalah kecil’ yang tidak perlu
dibesar-besarkan. Tapi, saya justru melihatnya sebagai masalah yang
memprihatinkan, sebagaimana disuarakan oleh jutaan umat Islam Indonesia secara
diam-diam.
Saya khawatir, anggapan bahwa ini adalah
hal kecil yang remeh temeh itu dikarenakan kita sudah ‘terbiasa’ menghadapinya
selama bertahun-tahun. Sehingga hal yang menurut saya sangat serius ini kita
anggap sebagai masalah kecil. Salah satu pengalaman yang membuat saya prihatin
dan bahkan merasa malu, adalah ketika saya bermukim di Mesir ditertawai oleh
sejumlah kalangan umat Islam disana.
Mereka merasa ‘aneh bin ajaib’ dengan
adanya perbedaan awal waktu ibadah di Indonesia. Baik Ramadan, Syawal, maupun
Dzulhijjah, sebagaimana telah saya bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu.
Menurut mereka, mestinya hal itu tidak perlu terjadi. Rasa keumatan dan
kebangsaan saya tersinggung, karena mereka menyebut-nyebut umat Islam Indonesia
tidak mampu menyelesaikan ‘masalah kecil’ itu. Apalagi yang lebih besar.
Maka, dalam rangka menjembatani perbedaan
ini, saya mengajukan usul yang oleh kawan saya dianggap agak aneh, yakni:
memisahkan antara astronomi dan fikih dalam menentukan awal ibadah. Saya
meyakini, hal tersebut bisa menjadi jembatan yang sangat berarti untuk mencari
titik temu dari persoalan ini. Bahwa penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal
puasa’ Ramadan itu seharusnya dipisahkan. Hal ini sebenarnya sudah
diindikasikan oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat.
Di tulisan pak Said Aqil Siroj kemarin
misalnya, dikutipkan rujukan kenapa kalangan NU mengambil sikap harus melakukan
rukyatul hilal.
Yakni, karena ada perintah sebagai berikut: ‘’Berpuasalah kamu berdasar melihat hilal (bulan), dan
berlebaranlah kamu berdasar melihat bulan. Jika bulan terhalang oleh awan
terhadapmu, maka genapkanlah.’’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu kita sangat menghargai rujukan yang
bersifat perintah ini. Sebagaimana kita juga menghargai pendapat yang berbeda,
yang merujuk kepada perintah ayat Qur’an: ‘’…barangsiapa
menyaksikan datangnya bulan (Ramadan), hendaklah dia berpuasa di dalamnya.’’
[QS. Al Baqarah: 185].
Jadi, kedua belah pihak yang berbeda
sebenarnya sama-sama berdasar pada perintah. Yang satu berdasar pada perintah
hadits, yang lainnya berdasar pada perintah Al Qur’an. Yang satu berpatokan
pada hilal alias
bulan sabit yang terlihat mata, sedangkan yang lainnya berpatokan pada syahr alias bulan Ramadan
yang ditandai oleh fase sesudah ijtima’. Tentu keduanya benar, sebagaimana
dikatakan oleh pak Said Aqil Siroj, di tulisan tersebut. Karena itu, sebaiknya
kita tidak usah mermpersoalkan fikih ibadah puasa ini lebih jauh.
Yang saya usulkan disini bukan sisi fikihnya,
melainkan sisi Ilmu Falak alias Astronominya. Karena, secara astronomis,
acuannya sangat jelas dan bisa dicek langsung di lapangan oleh seluruh penduduk
Bumi. Sehingga mestinya tidak terjadi perbedaan. Baik yang muslim maupun yang
bukan. Bahwa, Bulan itu memiliki fase-fase yang berbeda, diantaranya ada ‘bulan
tua’ dan ‘bulan muda’. Pakar Ilmu Falak dari pihak-pihak yang berbeda pendapat
sudah sama-sama mumpuni dalam hal ini, dan terbukti bisa memperoleh kesimpulan
yang sama dalam menghitung ijtimak akhir Syakban: Kamis, 19 Juli 2012, sekitar
pk.11.25 wib.
Maka, sebenarnya semua sudah tahu, bahwa
setelah ijtimak alias konjungsi pastilah datang fase ‘bulan baru’, yakni bulan
Ramadan. Penandanya, diantaranya adalah pada lengkungan bulan sabitnya. Pada
‘bulan tua’, lengkungan sabitnya ke arah kanan. Sedangkan pada ‘bulan baru’,
lengkungan sabitnya ke arah kiri. Saya yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada
perbedaan dalam hal ini bagi siapa saja yang mengerti Ilmu Falak.
Perbedaan itu memang bukan pada: sudah masuk atau belum masuknya bulan
baru Ramadan, melainkan pada: kapan
harus memulai puasa. Bagi yang mendasarkan awal puasanya dengan
melihat hilal
secara kasat mata, adalah benar untuk memulai puasanya di hari Sabtu, karena
rujukan perintahnya memang begitu. Sebaliknya, bagi yang berpegang pada
perintah agar berpuasa ketika syahr
Ramadan sudah masuk, juga benar untuk memulai puasanya di hari
Jumat, karena rujukannya juga demikian. Ini adalah perbedaan fikih alias khilafiyah yang tak perlu
diperlebar lagi.
Sehingga, demi jalan tengah itu, saya
lantas mengusulkan, mestinya redaksi penetapan ‘awal puasa’ Ramadan itu
berbunyi begini: ‘’Semua
pihak yang berkompeten sepakat bahwa bulan Syakban sudah berakhir hari Kamis,
19 Juli 2012, pk. 11.25 wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah
datang. Tetapi karena hilal tidak kelihatan, maka sesuai sunah Rasulullah SAW
kita memulai puasa esok lusa, di hari Sabtu.’’. Wallahu a’lam
bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (11)
~ KETIKA BULAN BERPUTAR 12
KALI DALAM SETAHUN ~
Kalender-kalender besar seperti kalender
Masehi, Cina dan Hijriyah semuanya sepakat, bahwa satu tahun berisi 12 bulan.
Meskipun, dulunya kalender Masehi pernah hanya berisi 10 bulan, di zaman
Romawi. Tetapi karena ‘kekacauan’ sistem penanggalannya, kalender ini pun
lantas menggenapkan jumlah bulannya menjadi dua belas seperti sekarang.
Kalender Masehi dikenal sebagai kalender
yang berbasis pada gerakan semu matahari. Yang kemudian diketahui sebagai gerak
planet bumi berkeliling matahari sebagai pusat tatasurya. Satu putaran Bumi
mengelilingi matahari itu adalah 365,25 hari, yang kemudian disebut sebagai
satu tahun. Namun dalam prakteknya, satu tahun hanya berisi 365 hari. Sisanya
yang 0,25 hari dikumpulkan setiap empat tahun sekali menjadi tanggal 29
Februari. Dikenal sebagai tahun kabisat.
Jumlah bulan dalam kalender Masehi adalah
12 bulan. Masing-masingnya berisi 28-29 hari pada bulan Februari, dan 30-31
hari pada bulan-bulan lainnya. Awalnya, jumlah hari dalam sebulan kalender
Masehi adalah 29,5 hari sesuai perputaran bulan mengelilingi bumi. Tetapi
sejarah mencatat, sejumlah penguasa di zaman masing-masing menambahi jumlah
harinya seiring dengan kepentingannya, sehingga menjadi tidak sesuai dengan
durasi perputaran Bulan terhadap Bumi. Karena itulah, kalender Masehi disebut
sebagai kalender Matahari alias solar.
Ini berbeda dengan Kalender Cina yang
sebulannya masih menggunakan 29,5 hari, meskipun setahunnya tetap berpatokan
pada angka 365,25 hari. Karena sebulannya lebih pendek dari kalender Masehi,
maka setiap tahunnya ada selisih sebelas hari antara Kalender Cina dan kalender
Masehi. Yang kemudian dirupakan sebagai ‘bulan ke-13’ sebanyak tujuh kali dalam
kurun waktu 19 tahun. Sehingga, jumlah rata-rata hari dalam setahun tetap
mengacu pada periode matahari. Karena itulah, kalender Cina dikenal sebagai
kalender Bulan-Matahari alias Lunisolar.
Kalender Hijriyah tidak menggunakan
matahari sebagai patokannya, melainkan sepenuhnya mengacu kepada perputaran
Bulan. Karena itu disebut sebagai kalender Bulan alias Lunar. Jumlah hari dalam
setahun yang 354 hari, maupun durasi bulanan yang 29,5 hari sepenuhnya
disandarkan pada perputaran bulan itu. Sehingga tidak seperti kalender Cina
yang berusaha menyesuaikan bilangan hari dalam setahun dengan menyisipkan
‘bulan ke-13’, kalender Hijriyah memilih membiarkan saja perbedaan sebelas hari
itu. Sehingga penanggalan Hijriyah terus menerus maju sebelas hari setiap
tahunnya. Itulah kenapa, kok
awal Ramadan dan Lebaran selalu bertambah maju dari tahun ke tahun.
Yang menarik, semua kalender itu
menetapkan setahun berisi 12 bulan, yang mana ini sangat bersesuaian dengan
informasi di dalam al Qur’an. Bahwa sejak saat penciptaan langit dan Bumi,
Allah telah mendesain keterkaitan antara bilangan tahun dengan bilangan bulan. ”Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi…’’ [QS : At Taubah: 36].
Dalam fakta astronominya, ternyata terjadi
sinkronisasi antara gerak semu matahari dengan gerak Bulan. Yakni, satu kali
perputaran matahari mengelilingi Bumi setara dengan 12 kali Bulan mengelilingi
Bumi. Itulah sebabnya, kenapa semua kalender akhirnya menetapkan setahun berisi
12 bulan. Manusia telah memperoleh patokan yang bersifat universal tentang
pergerakan waktu yang bisa digunakan untuk menandai berbagai peristiwa yang
terjadi. Dan lagi-lagi Al Qur’an memberikan petunjuknya tentang hal ini. Bahwa,
Bulan dan Matahari diciptakan Allah, salah satunya, memang untuk menjadi
patokan pergerakan waktu alam semesta.
‘’Dia menyingsingkan pagi dan
menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari serta bulan
sebagai (pedoman) penghitungan (waktu). Itulah ketentuan Allah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui.’’ [QS. Al An’aam: 9].
Namun demikian, harus dipahamkan bahwa
pergerakan‘waktu’ bukanlah disebabkan oleh perputaran benda-benda langit itu.
Katakanlah, seandainya saja Bulan dan Matahari kita itu lepas dari orbitnya dan
lenyap dari pandangan makhluk Bumi, ‘waktu’ bukan berarti ikut lenyap. Ia tetap
saja berjalan menggiring usia kita menjadi lebih tua. Substansi waktu bukan
terletak pada Bulan dan Matahari. Keduanya hanya berfungsi sebagai penanda
alias patokan belaka.
Sehingga kalau Anda berkelana di ruang
angkasa nun jauh disana, dimana Anda sudah tidak bisa berpatokan pada
pergerakan Matahari dan Bulan, Anda masih akan bisa menandai perubahan waktu
dengan menggunakan jam digital Anda..! Wallahu a'lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (12)
~ SEHARI SETARA DENGAN LIMA
PULUH RIBU TAHUN ~
Perhitungan waktu sangat bergantung kemana
kita menyandarkan pedoman. Apakah berpatokan kepada Bulan, ke Matahari, ke
Planet, atau benda-benda langit lainnya. Di era modern, perhitungan waktu sudah
disandarkan kepada jumlah getaran atom. Sehingga disepakati, satu detik adalah
setara dengan getaran atom Caesium-133 sebanyak 9.192.631.770 kali. Maka
panjangnya waktu semenit, sejam, sehari, sebulan dan setahun adalah perkalian
dari ukuran paling dasar ini.
Dengan menggunakan jam atomik, kita tidak
bingung lagi menetapkan panjang waktu dimana pun berada. Jangankan hanya lintas
benua, pergi keluar angkasa pun kita tetap bisa menggunakan patokan waktu itu
untuk menandai berbagai kegiatan, termasuk ibadah shalat dan puasa. Besaran
waktu mutlak alam semesta telah bisa diterjemahkan ke dalam waktu digital. Ini
akan semakin mempermudah interaksi manusia dalam jarak jauh, dengan akurasi
sampai sepersekian detik. Bukankah kalender dan jam memang diciptakan untuk
memudahkan manusia melakukan interaksi, dan bukan untuk mempersulit serta
memunculkan masalah baru?
Sebenarnyalah waktu itu bersifat relatif
bergantung kepada posisi pengamat. Karena itu, kita bisa melakukan berbagai
manipulasi dengan cara mengubah-ubah posisi pengamat, bahkan kecepatan
pengamat. Di posisi yang berbeda, satu hari bisa memiliki makna berbeda.
Katakanlah sehari di planet Venus ternyata berdurasi 243 hari Bumi, atau
sekitar 8 bulan disini. Kalau dikonversi ke jam, sehari di planet Venus adalah
setara dengan 5.832 jam, sementara itu di Bumi cuma 24 jam.
Kenapa bisa demikian? Karena, ‘sehari’
didefinisikan sebagai satu kali putaran benda langit terhadap sumbu rotasinya.
Atau dalam bahasa awam, dimulai dari datangnya malam sampai ke malam
berikutnya. Dikarenakan putaran planet Venus yang lambat, sehari disana menjadi
sedemikian panjang. Bandingkan pula dengan planet Yupiter yang berputar lebih
cepat, sehingga seharinya hanya berdurasi 9,8 jam. Tapi, setahunnya sangat
panjang, yakni 4.329 hari. Padahal di Bumi hanya 365 hari.
Apa yang saya sampaikan di atas telah
memberikan kesadaran baru, bahwa waktu alam semesta memang berjalan secara
mutlak, tetapi ketika diobservasi oleh pengamat menjadi relatif. Karenanya,
mesti dibuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan kemudahan kepada manusia
secara kolektif agar bisa dijadikan patokan interaksi. Sebuah patokan yang
bersifat global, bahkan universal.
Al Qur’an menginformasikan dalam berbagai
ayat bahwa waktu memang relatif bergantung pada pengamat atau pelaku. Ada yang
seharinya setara dengan seribu tahun. Seperti dijelaskan ayat ini: ‘’Dia mengatur urusan dari langit ke
bumi, yang kemudian naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun
menurut perhitunganmu. [QS. Sajdah: 5].
Ada pula yang berkadar lima puluh ribu
tahun, seperti yang terjadi pada para malaikat yang sedang bergerak naik ke
langit dengan kecepatan mendekati cahaya. ‘’Para
malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu
tahun.’’ [QS. Al Ma’arij: 4]
Dan lebih dahsyat lagi adalah sehari yang
berkadar miliaran tahun, seperti yang diceritakan Allah terkait dengan
penciptaan alam semesta. Bahwa, alam semesta yang sudah berusia 13,7 miliar
tahun ini, menurut Al Qur’an, sebenarnya hanya setara dengan enam hari saja. ‘’Yang telah menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari. Kemudian Dia
bersemayam di ‘Arsy. (Dialah) Yang Maha Pemurah. Maka tanyakanlah kepada yang
lebih mengetahui tentang Dia.’’
Bagaimanakah penjelasannya, sehingga waktu
alam semesta bisa mulur-mungkret
seperti itu? Saya ambil salah satu contoh saja, dari ayat-ayat tersebut. Yakni
yang terjadi pada para malaikat, dimana seharinya bisa setara 50 ribu tahun.
Relativitas waktu semacam ini, sebenarnya sangat dimungkinkan oleh teori Fisika
Modern. Albert Einsteinlah yang menjelaskannya lewat teori relativitas waktunya.
Bahwa segala sesuatu yang bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya
akan mulur.
Nah, dalam terminologi agama Islam,
malaikat disebut sebagai makhluk yang berbadan cahaya. Karena itu ia bisa
melesat dengan kecepatan sangat tinggi: 300 ribu kilometer/ detik. Sehingga
ketika dia naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya menjadi mulur, relative terhadap
waktu manusia sebesar 50 ribu tahun.
Berapakah kecepatan malaikat saat itu?
Anda bisa menghitungnya dengan menggunakan rumus relativitas waktu Einstein: T=
To/[1-V^2/C^2]^(1/2). Dimana T adalah waktu malaikat. To adalah waktu manusia.
V= kecepatan malaikat. Dan C = kecepatan cahaya. Dari perhitungan itu akan
diperoleh angka kecepatan malaikat sebesar 0,9999999999999985 kecepatan cahaya.
Artinya, mereka melesat dengan laju yang sudah sangat dekat dengan kecepatan
cahaya.
‘’Demi
(para malaikat) yang turun dari langit dengan kecepatan tinggi, dan yang
mendahului dengan laju sangat kencang.’’ [QS. An Naazi’aat: 3-4].
Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (13)
~ KETIKA ALAM MEREKAM
PERBUATAN MANUSIA ~
Saat kecil, guru mengaji saya menceritakan
bagaimana caranya malaikat Raqib dan Atid mencatat perbuatan manusia. Kedua
malaikat itu, konon duduk di pundak kanan dan pundak kiri. Raqib mencatat
segala amal kebajikan kita, sedangkan Atid mencatat perbuatan buruk. Kelak,
kedua buku catatan itu akan diserahkan kepada Allah saat hari pengadilan.
Maka, tak terhindarkan, sejak itu saya
selalu membayangkan ada makhluk seperti manusia yang sedang menduduki kedua
belah pundak saya sambil membawa buku catatan dan ballpoint. Setiap orang punya
dua malaikat, sehingga jumlah malaikat Raqib dan Atid itu sedemikian banyaknya.
Sebanyak manusia yang pernah hidup di Bumi.
Ketika sudah aqil baligh, saya mulai
mengritisi cerita-cerita semacam ini. Dan mencoba menelusuri dasar
informasinya. Di dalam Al Qur’an saya menemukan ayat yang mungkin menjadi
sumber cerita tersebut, tetapi dipahami dengan sudut pandang khas abad
pertengahan yang konvensional seperti d iatas. Saya menyimpulkan, sebenarnya
ayat tersebut kalau ditafsiri dengan sains modern akan memberikan hasil yang
sangat jauh berbeda, dan mencerahkan.
‘’Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (Yakni)
ketika sepasang malaikat mencatat amal perbuatannya. Yang satu berada di
sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada satu perkataan pun yang
diucapkan melainkan ada pengawas yang selalu hadir’’. [QS. Qaaf:
16-18]
Malaikat adalah makhluk berbadan cahaya,
yang bisa bergerak dengan kecepatan 300.000 km/ detik. Dengan kecepatan
setinggi itu, malaikat bisa menempuh jarak berkeliling bumi dengan sangat
singkat, yakni 0,13333 detik saja. Atau dalam satu detik bisa mengelilingi bumi
sebanyak 7,5 kali. Karena itu, dari sisi kecepatan ini saja, sebenarnya kita
tidak perlu membayangkan malaikat Raqib dan Atid terus menerus duduk di pundak
manusia untuk mengawasinya. Hanya dalam orde sepersekian detik mereka bisa
meng-cover
semua penduduk Bumi.
Apalagi, jika kita mengaitkan dengan
relativitas waktu, sebagaimana saya jelaskan dalam tulisan yang lalu. Bahwa
karena laju geraknya mendekati kecepatan cahaya, maka waktu malaikat itu
menjadi mulur: seharinya setara dengan lima puluh ribu tahun. Artinya, jika
sang malaikat itu mengawasi kita dalam satu hari ‘versi malaikat’, sebenarnya
peradaban manusia sudah bergerak selama lima puluh ribu tahun. Jadi, ngapain kita membayangkan
malaikat secara tradisional selalu nempel
di kanan-kiri kita.
Dari sisi saintifik, kita juga bisa
menjelaskan adanya rekaman perbuatan oleh alam semesta. Bahwa alam ini
sebenarnya merekam seluruh aktifitas penghuninya. Ada tiga macam lokasi rekaman
itu. Yang pertama ada di otak kita, sebagai memori alias ingatan. Karena
rekaman itulah, Anda bisa mengingat berbagai peristiwa yang Anda alami. Dan
bukan hanya Anda yang mengingat peristiwa itu, melainkan juga orang-orang dekat
Anda yang hadir dalam peristiwa tersebut.
Yang kedua, adalah genetika kita. Sistem
informasi genetika yang berada di dalam inti sel tersebut selalu merekam segala
informasi yang melibatkannya. Perbuatan yang terjadi berulang-ulang akan
terekam di dalam genetika, sebagai kecerdasan genetik. Sehingga tubuh kita
menjadi memiliki kebiasaan merespon kejadian secara khas. Mulai dari tingkat
molekuler, seluler, sampai pada tataran organik secara utuh. Karakter dan
bahasa tubuh yang khas pada setiap orang adalah perwujudan dari rekaman genetik
itu. Dan, kelak rekaman genetik ini bisa menurun kepada anak-anaknya sebagai kecenderungan
khas terhadap sesuatu. Termasuk diwariskannya penyakit tertentu.
Yang ketiga, adalah rekaman alam semesta.
Dalam sudut pandang fisika gelombang, tubuh maupun alam sekitar kita ini tak
lebih hanyalah lautan energi alias samudera frekuensi. Tubuh kita, mulai dari
pikiran, perasaan, denyut jantung, dan triliunan sel tubuh semuanya bekerja
secara kelistrikan yang menghasilkan frekuensi elektromagnetik. Sehingga tubuh
kita selalu memancarkan medan elektromagnetik itu kemana-mana. Setiap berbuat
apa pun, pada dasarnya kita melakukan perubahan medan elektromagnetik yang
menyelimuti tubuh kita.
Nah, perubahan medan itulah yang direkam
oleh alam sekitar. Sebagai ilustrasi, dimana pun Anda berada, disitu sebenarnya
terdapat gelombang radio atau televisi dari berbagai belahan dunia. Ada CNN, Al
Jazirah, ABC, BBC dan lain sebagainya. Gelombang itu telah menempuh jarak
ribuan kilometer, dan tidak pernah lenyap. Mereka tetap ‘mengambang’ di alam
semesta, dan bisa ditangkap dimana pun kita berada, dengan menggunakan
peralatan yang sesuai.
Kalau seseorang tidak bisa menangkap atau
melihat gelombang itu, masalahnya bukan karena gelombang itu tidak ada.
Melainkan, karena ia tidak menggunakan alat yang tepat. Misalnya menggunakan
antena biasa. Cobalah menggunakan antena parabola dengan kualitas terbaik, maka
berbagai macam gelombang yang berseliweran di sekitar kita pun akan bisa
dideteksi semua.
Suatu saat nanti, sangat boleh jadi, bakal
diketemukan teknologi yang bisa menangkap gelombang dari berbagai kejadian yang
sudah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Itu bukanlah angan-angan yang tidak
mungkin terjadi. Persoalannya, hanyalah seberapa bagus kualitas peralatan yang
kita gunakan untuk memutar kembali rekaman alam semesta itu..! Maka, betapa
mudahnya kelak Allah mengadili manusia, karena segala perbuatannya memang sudah
terekam oleh lingkungan sekitar dimana pun ia berada..! Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (14)
~ REKAMAN ITU DIPUTAR DI HARI
PENGADILAN ~
Al Qur’an bercerita tentang adanya hari
pengadilan kelak. Saat itu manusia akan menerima balasan atas segala kebaikan
maupun kejahatannya. Dalam cerita klasik, kita diberi gambaran tentang proses
pengadilan yang berjalan secara manual. Didatangkan saksi-saksi, dan diberikan
buku amalannya, serta dikalkulasi neraca pahala dan dosanya.
Namun kalau kita mau mencoba memahaminya
secara saintifik, kita bakal memperoleh gambaran yang lebih menakjubkan
terhadap peristiwa itu. Bahwa pengadilan itu akan berlangsung dengan sangat
modern, dikarenakan adanya rekaman alam semesta terhadap segala perbuatan kita.
Seluruh rekaman perbuatan kita bakal diputar ulang untuk kita saksikan sendiri.
Baik yang ada di dalam otak kita, di untaian genetika sel-sel kita, maupun di
alam semesta.
Ingatan di otak yang sudah terpendam lama
pun bakal dibuka oleh-Nya. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat berikut ini,
bahwa saat itu manusia akan bisa mengingat segala perbuatannya dengan jelas. ‘’Pada hari itu ditampakkan segala
rahasia’’ [QS. Ath Thaariq: 9]
‘’ Pada hari itu manusia teringat segala yang telah dikerjakannya.’’
[QS. An Naazi’aat: 35].
Ya, tidak ada lagi rahasia karena hasil
rekaman seluruh perbuatan bukan hanya bisa kita ingat secara personal,
melainkan akan diungkapkan kepada khalayak secara terbuka. Bahkan disertai
saksi-saksi yang terkait dengan peristiwanya.
‘’ …. Hari kiamat itu adalah hari dimana semua manusia dikumpulkan untuk
(diadili). Dan hari itu adalah hari yang disaksikan (oleh siapa saja).
[QS. Huud: 103].
Ibarat sebuah komputer dengan kemampuan
tak terkira besarnya, yang layarnya bisa menampilkan windows secara multi-tasking. Rekaman
seluruh manusia bisa diakses sendiri-sendiri, maupun diakses bersama-sama.
Layarnya adalah ruang tiga dimensi dimanapun kita berada, seperti saat menonton
film hologram.
Dan terang benderanglah bumi
(padang mahsyar) dengan cahaya Tuhannya. Dan diberikanlah kitab (hasil rekaman
perbuatan mereka). Dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi serta diberi
keputusan diantara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. [QS.
Az Zumar: 69]
Proses pengadilan bakal berlangsung sangat
cepat dan modern. Bukan seperti jalannya pengadilan konvensional, satu per satu
dan menghabiskan waktu yang sangat lama. "Bacalah
kitabmu. Cukuplah dirimu sendiri yang menghitung segala perbuatanmu, pada hari
ini." [QS. Al Israa’: 14].
Alam semesta memang sudah merekam segala
peristiwa yang terjadi di dalamnya dari detik ke detik. Rekaman itu terjadi
dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang ‘mengambang ‘ di semesta, dimana
pun kita berada. Setiap perbuatan kita, ternyata tak lebih dari dinamika medan
gelombang elektromagnetik yang memunculkan ‘bekas-bekas’ pada ruang alam
semesta. Ibarat kita sedang merekam sebuah aksi drama ke dalam keping VCD atau
DVD saja layaknya.
Kenapa sekarang kita belum bisa
melihatnya? Karena kemampuan mata kita saja yang terbatas. Namun, ketika
tabirnya dibuka oleh Allah, manusia bakal bisa melihat dan mendengar dengan
jelas seluruhnya. Hal itu diinformasikan oleh Al Qur’an: ‘’Sesungguhnya, kamu berada dalam
keadaan lalai dari hal ini. Maka Kami singkapkan tabir dari pandangan matamu,
sehingga penglihatanmu pada hari itu amatlah tajam.’’ [QS. Qaaf:
22].
‘’Alangkah terangnya
pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka
datang kepada Kami. Tetapi orang-orang zalim pada hari ini berada dalam
kesesatan yang nyata.’’ [QS. Maryam: 38].
Maka, sungguh benar firman Allah, bahwa
setiap saat kita selalu diawasi oleh dua malaikat yang kita kenal sebagai Raqib
dan Atid itu. Dimana pun kita berada tak pernah tak diawasi. Di dalam kamar
saat sendirian. Di tempat kerja dalam ruang yang tertutup. Di hotel-hotel dan
tempat pertemuan rahasia. Allah selalu mengawasi kita lewat mekanisme optikal
yang sangat canggih. Bahkan, bisikan hati kita pun telah didengar-Nya, karena
sesungguhnya Dia sudah begitu dekatnya dengan diri kita. Lebih dekat daripada
urat leher kita sendiri.
''Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.’’ [QS.
Qaaf: 16]. Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (15)
~ DI DALAM SURGA & NERAKA
SELAMA MILIARAN TAHUN ~
Hanya orang-orang yang layak masuk surga
saja yang bakal masuk surga. Dan hanya mereka yang pantas masuk neraka sajalah
yang bakal masuk neraka. Allah tidak pernah menganiaya atau merugikan
hamba-hamba-Nya sedikit pun. Begitulah, Firman Allah di dalam kitab suci-Nya.
Surga dan neraka itu diberikan Allah
sebagai balasan atas perbuatan kita selama hidup di dunia. Dan semua itu, bukan
ditentukan dengan sewenang-wenang. Melainkan berdasarkan hisab atas segala amalan
yang tercatat di dalam rekaman sejarah hidup kita. Tidak ada yang disembunyikan
sedikit pun, walau hanya sebesar partikel sub atomik. Diistilahkan dengan
ditegakkan-Nya mizan
alias timbangan keadilan.
'‘Pada
hari itu manusia keluar dari dalam kuburnya dalam keadaan bermacam-macam. Agar
diperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat partikel, niscaya dia akan menyaksikannya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar partikel, pasti dia pun akan menyaksikannya
pula.’’ [QS. Al Zalzalah: 6-8]
‘’Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah (partikel), dan jika
ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.’’ [QS. Ali Imran: 40].
Begitulah Allah memberikan balasan sesuai
dengan amalan kita sendiri. Dan setiap orang tidak menanggung dosa atau pahala
orang lain, kecuali dia memang terlibat di dalamnya. Maa kasabat, wa’alaiha maktasabat
– berbuat baik kembali kepadanya, berbuat jahat juga bakal kembali kepadanya.
Sangat tegas, informasi didalam Al Qur’an.
Terkait dengan surga dan neraka ini,
kebanyakan umat Islam berpendapat bahwa setiap orang yang masuk neraka, kelak
akhirnya akan masuk surga juga. Yakni setelah dibersihkan dosa-dosanya.
Sayangnya, saya cari di dalam Al Qur’an pendapat ini tidak ada pijakannya.
Tidak ada satu pun ayat Qur’an yang menceritakan bahwa orang yang dosanya lebih
banyak dari pahalanya bakal dimasukkan surga. Meskipun, itu terjadi setelah
‘dicuci’ di dalam neraka.
Yang ada malah sebaliknya, orang yang
berdosa bakal selama-lamanya di dalam neraka. Bahkan, digambarkan sampai
lenyapnya langit dan bumi. Sebagaimana juga, orang yang baik bakal dimasukan ke
dalam surga selama-lamanya, sampai lenyapnya langit dan bumi.
Adapun orang-orang yang
berdosa, maka (tempatnya) di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan
menarik nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali
jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana
terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka
tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,
kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada
putus-putusnya. [QS. Huud: 106-108]
Berapa lamakah alam semesta ini akan tetap
ada? Dalam perhitungan Astronomi diperkirakan belasan milyar tahun. Sekarang
saja usia alam semesta sudah sekitar 13,7 milyar tahun. Jika prediksi Astronomi
benar, bahwa alam semesta bakal mengerut lagi menuju kehancurannya kelak, maka
diperkirakan proses kehidupan di alam akhirat itu bakal berlangsung sekitar
belasan milyar tahun pula. Yakni di fase alam semesta yang sedang mengerut itu.
Lebih detil saya telah menulisnya di dalam buku saya yang berjudul: ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’.
Tidak ada cerita di dalam Al Qur’an bahwa
orang yang dosanya telah dicuci di neraka bakal bisa masuk surga. Sebab jika
demikian mekanismenya, kita semua seharusnya masuk neraka dulu untuk dicuci,
karena tidak ada satupun diantara kita yang tidak berdosa. Dan lantas, baru
masuk surga setelah bersih. Bukan, bukan begitu mekanismenya..! Melainkan,
semua kita dilewatkan ‘pengadilan’ terlebih dahulu. Ditimbang bobot dosa dan
pahalanya.
Meskipun banyak dosa, kalau kebajikan kita
lebih banyak, insya Allah kita tidak perlu masuk neraka. Langsung ke surga.
Sebaliknya, meskipun kebajikan kita banyak, tetapi dosa kita lebih banyak lagi,
kita tidak bakalan masuk surga, melainkan langsung ke neraka. Sampai berapa
lama? Sampai lenyapnya langit dan bumi: belasan milyar tahun..!
Jadi, betapa mengerikannya gambaran Al
Qur’an tentang kehidupan akhirat itu. Terutama bagi mereka yang berdosa dan
mendapat balasan neraka. Karena mereka bakal berada di dalamnya selama milyaran
tahun, tanpa bisa keluar lagi. Kecuali dia sudah bertaubat sebelum saat
meninggalnya.
Dengan berita ini, bukan berarti Allah
kejam. Tetapi, ingin memotivasi kita dan mendisiplinkannya agar senyampang usia
masih ada, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya. Berlomba-lomba untuk
mengompensasi dosa-dosa yang sudah kita tumpuk-tumpuk sepanjang usia kita.
Jangan sampai, dosa Anda lebih banyak dari pahalanya. Karena, Allah Maha Adil,
dan tak akan melewatkan mizan
alias neraca amalan kita meskipun hanya seberat partikel sub atomik.
Dan jika Anda merasa dosa-dosa Anda
sedemikian banyak melebihi kebajikan yang telah Anda perbuat, bersegeralah
datang kepada-Nya untuk bertaubat dan memohon ampunan. Karena sesungguhnya Dia
Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Apalagi di bulan Ramadan yang penuh
maghfirah ini. Jika pertaubatan Anda diterima-Nya, insya Allah tempat Anda
adalah surga yang penuh bahagia. Tak perlu diragukan lagi,karena itu adalah
janji dari Sang Penguasa Jagat SemestA.
‘’Dan bersegeralah kamu kepada
AMPUNAN Tuhanmu dan kepada SURGA yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa...’’ [QS.
Ali Imran: 133].
Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (16)
~ BERPUASA MENYONGSONG
TURUNNYA AL QUR’AN ~
Kenapakah umat Islam menjalankan puasa di
bulan Ramadan? Apakah penyebabnya? Seorang kawan menjawab: ‘’supaya kita menjadi orang yang
bertakwa’’. Ia pun lantas mengutip QS. Al Baqarah: 183: ‘’Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu AGAR kamu BERTAKWA.’’
Saya katakan, jawaban itu belum tepat.
Karena ‘agar bertakwa’ itu bukan ‘penyebab’. Melainkan ‘akibat’. Jika kita
berpuasa dengan baik dan benar, akibatnya kita akan menjadi orang yang bertakwa
– memiliki kontrol diri yang bagus.
Kawan saya lainnya ikutan menjawab:
‘’supaya menjadi sehat.’’ Dia pun mengutip hadits Rasulullah SAW: Shuumu tashiihu – berpuasalah maka
kamu bakal sehat. Saya katakan lagi, ‘’supaya sehat’’ itu pun bukan
‘penyebab’, melainkan ‘akibat’. Siapa saja berpuasa dengan baik dan benar,
insya Allah, (akibatnya) dia akan menjadi lebih sehat.
Keduanya – takwa dan sehat – adalah akibat
dari berpuasa, karena menggunakan kata sambung ‘agar’ dan ‘supaya’. Ada hal
lain yang menjadi penyebab utama kenapa umat Islam disuruh berpuasa pada bulan
Ramadan. Yakni, disebabkan oleh turunnya al Qur’an sebagai petunjuk di dalam
bulan suci itu. Dasar ayatnya adalah QS. Al Baqarah: 185.
‘’Bulan Ramadan adalah bulan
yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan
(berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu. Serta pembeda (antara
yang hak dan yang batil). KARENA ITU, barangsiapa di antara kamu menyaksikan
(datangnya) bulan itu, HENDAKLAH ia BERPUASA di bulan tersebut...’’
Nah, kata sambung ‘karena itu’ dalam ayat
di atas menunjukkan ‘penyebab’. Bahwa, umat Islam diperintahkan untuk berpuasa
disebabkan oleh turunnya Al Qur’an. Bukan oleh sebab yang lain-lain. Karenanya,
adalah sebuah ‘kekeliruan besar’, jika ada orang yang berpuasa Ramadan tidak
rajin membaca Al Qur’an. Dia menyalahi latar belakang turunnya perintah puasa
Ramadan.
Bukan hanya membaca Al Qur’an secara
formalitas belaka – asal khatam bolak-balik – melainkan harus sampai memperoleh
petunjuk dari dalamnya. Sebab, ayat tersebut jelas-jelas memberikan arah, bahwa
Al Qur’an yang diturunkan di bulan Ramadan ini berisi petunjuk. Bahkan, lebih
jauh, harus sampai memperoleh al
furqan alias ‘pembeda’. Sebuah ungkapan implisit, bahwa seseorang
yang sudah memperoleh petunjuk itu mestinya bisa ‘tampil beda’ dalam kehidupan
sehari-harinya. Bukan menjadi follower,
tetapi menjadi trend setter.
Dengan kata lain, seseorang yang
menerapkan ajaran Al Qur’an dalam hidupnya ia akan mempunyai pegangan kokoh
yang menjadikannya sebagai pioner yang mencerahkan. Menjadi agen perubahan.
Bahkan menjadi teladan. Tapi, kenapa banyak orang islam yang belum bisa menjadi
pioner, agen perubahan, dan teladan? Jawabnya sederhana: berarti ia belum
memperoleh petunjuk dari dalam Al Qur’an. Barangkali, membacanya hanya sebatas
formalitas. Khatam bolak-balik tapi tidak paham maknanya. Apalagi menjalankan
dalam kehidupan sehari-sehari.
Misal: Al Qur’an mengajarkan kejujuran,
dan kita sudah khatam bolak-balik membaca ayat-ayat tentang kejujuran itu,
tetapi dalam kehidupan sehari-hari banyak diantara kita yang tidak jujur. Al
Qur’an mengajarkan keadilan, dan kita berkali-kali mengutipnya, tapi setiap
hari kita tidak berlaku adil. Al Qur’an mengajarkan berpolitik yang Islami,
tetapi akhlak berpolitik kita amburadul. Dan seterusnya, banyak ketidakcocokan
antara petunjuk Al Qur’an dengan perilaku kita, dalam berbudaya, berekonomi,
berpendidikan, berumah tangga, bermasyarakat, dan lain sebagainya.
Maka, bulan Ramadan adalah bulan membaca
al Qur’an sampai paham. Bukan hanya soal khatam. Apalagi, dengan cara
‘rombongan’ yang dilakukan paralel berbagi-bagi juz, dengan maksud bisa
menyelesaikan khataman berkali-kali. Sampai-sampai, membacanya seringkali
dengan ‘kecepatan tinggi’, yang menyalahi petunjuk di dalam Al Qur’an itu
sendiri. Bahwa membaca Al Qur’an mesti dilakukan dengan tenang – tidak boleh
cepat-cepat – dan sambil merenungkan isinya secara mendalam.
Janganlah kamu gerakkan
lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menyelesaikan)-nya.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menghimpunkan (pengertian)-nya dan
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasan (isi)nya. [QS.
Al Qiyaamah: 16-19]
Dengan cara ini, umat Islam akan
memperoleh hikmah yang luar biasa banyaknya dari dalam Al Qur’an sebagai kitab
petunjuk. Dan lantas melatihnya selama bulan Ramadan dengan puasa yang baik dan
benar. Puasa yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Melainkan puasa yang
bisa mendidik jiwa-raga kita menjadi lebih sehat dan bertakwa. Hasilnya, insya
Allah, seusai Ramadan umat Islam bakal memperoleh al furqaan yang menjadikannya sebagai
pribadi yang ‘tampil beda’. Bahkan, menjadi agen perubahan menuju arah yang
lebih baik bagi masyarakatnya. Sungguh bangsa ini butuh orang-orang yang
seperti itu..! Wallahu
a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (17)
~ KENAPA DI MESIR & ARAB
TAK ADA NUZULUL QUR’AN ~
Tanpa terasa bulan Ramadan sudah berada di
pertengahan. Di sekitar tanggal 17 Ramadan umat Islam Indonesia banyak yang
memperingati Nuzulul Qur’an. Bukan hanya di masjid dan komunitas-komunitas
pengajian, melainkan sampai ke berbagai lembaga dan instansi, bahkan istana
negara. Namun, yang membuat saya merasa aneh, peringatan Nuzulul Qur’an itu
tidak terdapat di Mesir dan berbagai negara Arab, termasuk Saudi Arabiya.
Bagi yang pernah berumrah di bulan
Ramadan, mestinya mengetahui hal itu. Tidak ada peringatan Nuzulul Qur’an di
Mekah maupun Madinah. Demikian pula bagi yang pernah berkunjung ke Mesir dan
negara-negara Arab lainnya, tidak menemukan adanya peringatan turunnya kitab
suci tersebut. Kalaupun ada, sebagaimana saya lihat di Mesir, juga dilakukan
oleh masyarakat Indonesia. Jadi, peringatan 17 Ramadan sebagai Nuzulul Qur’an
itu rupanya khas Indonesia.
Saya coba untuk menelusurinya dari
berbagai sumber, khususnya dari Firman-Firman Allah sebagai sumber paling
otentik dalam khazanah keilmuan Islam. Ternyata saat-saat turunnya Al Qur’an
itu diceritakan dalam beberapa redaksi. Yang pertama, turunnya Al Qur’an
disebut berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni
selama hampir 23 tahun. Allah menceritakannya dalam ayat berikut ini.
‘’Dan Al Quran itu telah Kami
turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada
manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.’’ [QS.
Al Israa’: 106]. Ini cocok dengan berbagai data sejarah yang menunjukkan bahwa
kitab suci umat Islam itu memang diturunkan secara bertahap, sejak dari gua
Hira’ di awal masa kenabiannya sampai saat beliau menjalankan haji perpisahan
alias Haji Wada’, beberapa waktu sebelum wafatnya.
Yang kedua, Al Qur’an juga menyebut kitab
suci itu diturunkan di bulan Ramadan. Ayat yang sering kita baca saat Ramadan
itu bercerita demikian: ‘’Bulan
Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia, dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta
pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...’’ [QS. Al Baqarah:
185]
Yang ketiga, Al Qur’an juga
menginformasikan bahwa turunnya Al Qur’an itu adalah pada sebuah malam yang
mulia, di dalam bulan Ramadan, yang kita kenal sebagai Lailatul Qadr. ‘’Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam
kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu (memiliki nilai) lebih baik dari seribu
bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai
terbit fajar.’’ [QS. Al Qadr: 1-6].
Dan yang keempat, yang kemudian menjadi
dasar diadakannya peringatan Nuzulul Qur’an di Indonesia, adalah ayat berikut
ini. ‘’Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil; jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan (hari
kemenangan). Yaitu, hari bertemunya dua pasukan (saat perang Badar). Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.’’ [QS. Al Anfaal: 41]
Ayat ini sebenarnya bercerita tentang
kemenangan umat Islam dalam perang Badar, dan pembagian rampasan perang kepada
orang-orang miskin, anak-anak yatim, serta mereka yang membutuhkan pertolongan
dari harta benda tersebut. Tetapi, dikarenakan disitu ada kata kalimat ‘’...apa yang kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad) di hari Furqaan...’’, lantas ada sejumlah penafsir
yang mengaitkannya dengan turunnya Al Qur’an. Dan, karena perang Badar itu
terjadi tanggal 17 Ramadan, maka disimpulkanlah turunnya Al Qur’an pada tanggal
tersebut.
Padahal, menurut saya, itu sangat spekulatif.
Yang lebih cocok, ‘Hari Furqaan’ itu dimaknai sebagai ‘Hari Pembeda’ alias
‘Hari Kemenangan’ umat Islam atas kaum Quraisy yang memeranginya. Disinilah
rupanya asal muasal terjadinya distorsi pemahaman tentang peringatan Nuzulul
Qur’an. Dan itu sudah berlangsung selama puluhan tahun, tanpa ada yang
menyorotinya.
Jika demikian, lantas kapankah Al Qur’an
itu diturunkan Allah kepada manusia? Ayat-ayat lain dalam Al Qur’an bercerita,
bahwa kitab suci itu diturunkan berangsur-angsur selama 23 tahun, dan kemudian
dibukukan sebagaimana mushaf Qur’an yang sudah diperbanyak miliaran copy itu. Sedangkan
khusus di bulan Ramadan, Allah memang bakal menurunkan hikmah-hikmahnya kepada
para pengkaji Al Qur’an yang intensif melakukannya sambil berpuasa Ramadan.
Itulah kenapa, ayat pertama dalam surat Al
Qadr itu menggunakan kata kerja lampau (fiil
madzi – past tense): ’’Sesungguhnya
Kami TELAH menurunkan Al Quran pada malam kemuliaan.’’ Tetapi di
ayat 5: ‘’ Pada malam itu
(selalu) TURUN para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan’’, Allah menggunakan kata kerja kekinian (fiil mudharik – present tense).
Ini mengandung informasi, bahwa meskipun
Al Qur’an sudah selesai diturunkan secara berangsur-angsur saat Rasulullah
masih hidup, tetapi di setiap akhir Ramadan para malaikat selalu turun membawa
hikmah alias kandungan Al Qur’an kepada orang-orang yang mengkajinya secara
intensif untuk memperoleh petunjuk dari-Nya. Itulah kenapa Rasulullah SAW
memerintahkan umat Islam untuk beriktikaf menyambut datangnya Lailatul Qadr.
‘’sesungguhnya Kami menurunkan
Al Qur’an pada suatu malam yang diberkahidan sesungguhnya Kami-lah yang memberi
peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.’’ [QS.
Ad Dukhaan: 3-4].
Walahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (18)
~ MENCEGAT LAILATUL QADR ~
Lailatul Qadr adalah puncak puasa Ramadan.
Hampir semua umat Islam yang paham tentang ilmu puasa mengharapkan bisa bertemu
dengan malam yang mulia dan penuh berkah itu. Masjid-masjid di berbagai kota di
Indonesia maupun belahan dunia dipenuhi orang-orang yang beriktikaf demi
memenuhi harapan untuk bertemu Lailatul Qadr yang penuh hikmah.
Malam yang diceritakan Al Qur’an memiliki
kualitas lebih dari seribu bulan itu, kata Rasululah SAW selalu hadir di
sepuluh hari terakhir puasa. Karena itu sejak memasuki hari ke-21 sampai
menjelang Idul Fitri umat Islam berlomba-lomba beriktikaf memusatkan perhatian
kepadanya. Konon ada yang meyakini malam itu bakal datang di hari-hari ganjil:
21, 23, 25, 27, dan 29. Sehingga tak jarang memunculkan keinginan mencegatnya
hanya di malam-malam ganjil itu. Meskipun banyak juga yang tak mau main
cegat-cegatan, mengikhlaskan iktikaf karena Allah semata, sepanjang hari-hari
terakhir Ramadan.
Di Mekah dan Madinah sendiri, masjid penuh
sesak dihadiri ratusan ribu jamaah. Hampir-hampir seperti suasana musim haji.
Demikian pula masjid-masjid di Mesir dan negara-negara lainnya. Sepuluh hari
terakhir Ramadan adalah malam-malam yang sangat istimewa. Banyak hamba Allah
yang merindukan pertemuan dengan-Nya dalam kalamullah
yang sedang dibacanya, meskipun tak sedikit pula yang sekedar ingin memperoleh
keberkahan Lailatul Qadr. Dan lantas mencegatnya.
Ada semacam kesalahkaprahan dalam
menyongsong malam kemuliaan itu. Terutama, karena menganggap Lailatul Qadr bisa
dicegat kedatangannya oleh sembarang orang. Sehingga, lantas ada yang bertahan melek malam agar bisa
tetap terjaga pada malam yang diperkirakan Lailatul Qadr bakal datang. Tak
jarang, orang-orang yang demikian ini, mencegat tidak sambil mengkaji kandungan
Al Qur’an melainkan sambil begadang
belaka.
Sesungguhnya, point penting Lailatul Qadr bukanlah pada
datangnya ‘sang malam’, melainkan pada turunnya ‘sang Jibril’ bersama para
malaikat yang menyertainya. Jika penekanannya pada ‘sang malam’ maka siapapun
bisa bertemu dengannya, meskipun katakanlah ia mencegat Lailatul Qadr sambil
bermain kartu. Tentu pemahamannya bukan demikian. Hanya orang yang benar-benar
layak sajalah yang bakal bertemu dengan para malaikat itu. Dengan kata lain,
jika ada seribu orang sedang beriktikaf bersama di suatu tempat, belum tentu
semua orang itu bakal didatangi oleh Sang Jibril.
Siapakah mereka yang bakal bertemu dengan
malaikat pembawa wahyu itu? Adalah mereka yang jiwanya telah tersucikan oleh
puasa Ramadannya selama dua puluh hari yang pertama. Ini mirip dengan cerita
pewayangan, dimana ksatria yang bertapa bakal memperoleh azimat Kalimasada di
akhir pertapaannya. Dikarenakan, di akhir masa pertapaannya itu ia sudah
memiliki jiwa yang suci dan bijak dalam menyikapi kehidupan.
Lailatul Qadr juga demikian. Ia hanya
turun kepada orang-orang yang telah berpuasa dengan baik. Bukan puasa yang
sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan puasa yang mensucikan jiwa raganya.
Mulai dari pikiran dan perasaannya, penglihatan, pendengaran, dan segala
ucapannya, sampai kepada seluruh tingkah laku dan perbuatannya.
Kesucian jiwa yang demikian itulah yang
membuat jiwanya mudah teresonansi oleh kalamullah
alias firman-firman Allah yang sedang dikajinya. Ibarat sebuah stasiun pemancar
dengan pesawat radio. Jika frekuensinya sudah matching, maka seluruh informasi yang
dipancarkan oleh stasiun radio itu akan tertangkap dengan mudah oleh pesawat
radio. ‘’Sesungguhnya
Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara
(Lauhul Mahfuzh). Tidak (bisa) menyentuhnya kecuali orang-orang yang (telah)
disucikan.’’ [Al Waaqi’ah: 77-79].
Makna ‘menyentuh’ dalam ayat tersebut
bukanlah bersifat fisik, sebab menurut kalimat sebelumnya, Al Qur’an itu
sebenarnya masih di Lauh Mahfuzh. Yang turun kepada manusia hanya berupa copy saja. Yakni hard-copy berupa teks
alias redaksi Al Kitab. Sedangkan yang kedua adalah soft-copy alias Al Hikmah.
Sayangnya kebanyakan umat Islam terjebak
pada mengkaji Al Kitab yang berisi teks-teks saja. Termasuk di bulan Ramadan
ini banyak yang mengkhatamkan Al Qur’an berulang-ulang, tapi hanya sebagai Al
Kitab. Padahal substansi Al Qur’an itu bukan pada Al Kitabnya, melainkan pada
Al Hikmah. Barangsiapa membaca Al Qur’an tanpa memahami isinya, ia temasuk
orang-orang yang tidak memperoleh petunjuk.
Apakah yang dimaksud Al Hikmah? Ialah isi
kandungan Al Qur’an yang dipahami secara mendalam, sehingga menjadi pedoman
hidup yang nyata di dalam jiwa manusia.‘’Allah
menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang mendalam tentang isi Al Quran) kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi al hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang sangat banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman-firman-Nya).’’
[QS. Al Baqarah: 269].
Wallahu a'lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (19)
~ ENERGI AL QUR’AN BISA
MENGHANCURKAN GUNUNG ~
Banyak umat Islam yang memperlakukan Al
Qur’an dengan salah kaprah. Sehingga, kitab suci yang amat hebat ini tidak
ditempatkan atau difungsikan sebagaimana mestinya. Kesalah-kaprahan itu semakin
terlihat di bulan suci Ramadan. Sebuah bulan dimana kandungan hikmah Al Qur’an
– yang masih berada di Lauh Mahfuzh – itu diturunkan ke Bumi.
Saya sering menyebutnya dengan istilah
‘umat Islam jauh dari Al Qur’an’. Meskipun, secara fisik kitab suci itu dibawa
kemana-mana. Seorang kawan saya protes dengan istilah ‘jauh dari Al Qur’an’
itu. ‘’Saya ini dekat mas dengan Al Qur’an. Setiap saat kitab suci ini tak
pernah jauh dari saya. Selalu saya bawa kemana pun saya pergi.’’
Ia memang mempunyai Al Qur’an saku yang
dibawa kemana pun ia pergi. Ia juga punya Al Qur’an digital yang kini semakin ngetren, diinstal di HP
dan laptopnya. Bahkan, di perpustakaan pribadinya ia memiliki sejumlah Al
Qur’an terjemahan berbagai bahasa. Ya, dia memang ‘dekat’ dengan fisik Al
Qur’an, tetapi belum tentu dekat dengan isi Al Qur’an. Apalagi hikmah yang
terkandung di dalamnya.
Kedekatan kita dengan Al Qur’an bukan
diukur secara fisikal, melainkan pada tataran penerapan isi kandungannya dalam
kehidupan sehari-hari. Karena kesalah-kaprahan dalam memahami kedekatan inilah,
umat Islam mengalami kemunduran dalam peradaban dunia. Dulu, umat Islam di
bawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat dan penerusnya,
bisa menjadi pusat peradaban dunia. Negara superpower
seperti Romawi dan Persia pun akhirnya tenggelam digantikan zaman keemasan
Islam, selama ratusan tahun.
Sayangnya sejak abad ke 14 umat Islam
mengalami kemunduran luar biasa, sekitar 700 tahun, sampai kini. Salah satu
penyebabnya adalah SDM Islam tidak dibangun berdasarkan petunjuk-petunjuk Al
Qur’an. Kitab ini hanya dijadikan pajangan-pajangan di rak-rak perpustakaan,
diinstal di HP dan laptop, dilombakan bacaan indahnya dan dibaca khatam ‘cepet-cepetan’, bahkan
tidak sedikit yang cuma menjadikannya sebagai mantera azimat alias pusaka
penyelamat.
Allah sudah sangat jelas mengajarkan di
dalam firman-Nya, bahwa Bacaan Mulia yang diturunkan di bulan suci Ramadan ini
penuh dengan hikmah. Dan berisi petunjuk-petunjuk untuk menjadi solusi atas
segala macam masalah manusia. Di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan atas
petunjuk tersebut. ‘‘...
bulan Ramadan, adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai
PETUNJUK bagi manusia dan berisi PENJELASAN-PENJELASAN mengenai petunjuk
itu...’’ [QS. Al Baqarah: 185].
Sayangnya, yang terjadi bukan menggali
petunjuk-petunjuk itu dalam berbagai seminar atau kajian-kajian intensif,
melainkan lebih kepada membaca indah, khatam bolak-balik tanpa memahami maksudnya,
atau sekedar menjadi mantera-mantera tersebut. Apalagi di bulan Ramadan.
Cobalah bandingkan seberapa banyakkah orang-orang yang mengkaji Al Qur’an
terkait dengan isi dan hikmah yang terkandung di dalamnya? Bandingkan dengan
orang-orang yang membacanya sekedar untuk mengejar target khatam berkali-kali.
Sedikit sekali.
Lebih jauh, sebagian kita malah menjadikan
Al Qur’an itu sebagai ‘sumber kesaktian’ tanpa memahami makna yang seharusnya.
Misalnya, seorang kawan saya demikian kuatnya berpegang pada ayat Al Qur’an
yang mengatakan bahwa energi Qur’an ini sangat besar, sehingga jika diturunkan
ke gunung, gunung itu bisa hancur berantakan.
'’ Kalau sekiranya Kami
turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk
hancur berantakan disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan
PERUMPAMAAN-PERUMPAMAAN itu Kami buat untuk manusia supaya mereka BERPIKIR.’’
[QS. Al Hasyr: 21]
Ada kesalahan mendasar yang dilakukannya
dalam memahami ayat ini. Yakni, ia mengabaikan informasi Allah, bahwa cerita di
atas adalah sebuah perumpamaan.Dia menanggapinya secara harfiah. Karena itu,
ketika ada seorang kawannya yang membawa mushaf Al Qur’an ditaruh di atas
sebuah gunung, gunung itupun tidak hancur. Karena, ayat di atas memang sudah
menjelaskan bahwa itu adalah sebuah perumpamaan, dan kita disuruh berpikir
untuk mengetahui maksudnya.
Saya katakan, energi Al Qur’an memang
sangat besar dan bisa mengubah dunia seperti yang telah terjadi ratusan tahun
yang lalu. Tetapi, energi tersebut bukan terletak di tulisan atau
lembaran-lembarannya secara harfiah seperti itu. Sehingga, lantas ada yang
menggunting lembaran-lembaran kitab Al Qur’an untuk dijadikan jimat. Atau,
malah ada yang membakarnya, dan abunya diminum segala. Dan dia sudah merasa
memperoleh energi dari dalam Al Qur’an. Bukan begitu. Energi yang besar di
dalam kitab suci ini bukan terdapat di tulisannya itu, melainkan di dalam
maknanya.
Barangsiapa memahami maknanya, dan
kemudian menjalankannya dalam kehidupan nyata, maka sungguh dia telah
memperoleh energi ilahiah yang luar biasa besarnya. Dia akan memiliki kemampuan
hebat untuk mengubah peradaban. Baik secara fisikal maupun secara moral. Dialah
pemimpin yang telah memperoleh petunjuk Sang Maha Berilmu dan Maha Berkuasa
dalam segala tataran wilayah perbuatannya. ‘
’Sesungguhnya Al Quran ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada
orang-orang beriman yang mengerjakan amal kebajikan. Bagi mereka ada pahala
yang besar.’’ [QS. Al Israa’: 9] Wallahu a'lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (20)
~ AL QUR’AN KITAB SUCI
MASYARAKAT MODERN ~
Bulan Ramadan adalah bulan turunnya Al
Qur’an. Inilah kesempatan kita untuk mengenal kitab suci yang ajaib ini lebih
mendalam. Sebuah kitab yang sangat sesuai dengan kondisi masyarakat modern.
Apakah tanda-tandanya bahwa kitab ini cocok bagi peradaban akhir zaman?
Yang pertama, inilah kitab suci yang sejak
awal sudah punya perhatian besar pada budaya baca tulis. Karena itu, sejak awal
turunnya di gua Hira’ , Al Qur’an sudah mengedepankan budaya membaca. Dan itu
diabadikan oleh Allah di dalam Al Qur’an. ‘’BACALAH
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari ‘alaq (embrio). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan PENA. Dia mengajari manusia segala apa yang tidak
diketahuinya.’’ [QS. Al ‘Alaq: 1-5].
Bukan hanya itu, di wahyu kedua pun Allah
memberikan perhatian kepada budaya baca tulis dengan mewahyukan surat Al Qolam
– surat Pena. ‘’ Nun, demi
pena dan apa yang mereka tuliskan.’’ [QS. Al Qolam: 1]. Ayat yang
dimulai dengan huruf Nun
itu menjadi langkah selanjutnya dari proses pembelajaran Rasulullah yang ummi alias buta huruf itu
dalam baca tulis. Malaikat Jibril-lah yang diutus Allah untuk mengajari beliau
lewat wahyu yang berangsur-angsur selama 23 tahun. Sehingga, tidak heran, dalam
puluhan ayat yang turun selanjutnya Allah mewahyukan berbagai surat yang
dimulai dengan huruf-huruf seperti itu.
Ada yang dimulai dengan satu huruf semisal
Qaf, Shad dan Nun. Ada yang dua huruf
seperti Ya Sin dan Tha Ha. Ada yang tiga
huruf seumpama alif lam mim
dan alif lam ra.
Serta ada pula yang sampai lima huruf sebagaimana kaf Ha Ya Ain Shad. Semua huruf-huruf itu,
selama ini ditafsiri sebagai sesuatu yang rahasia. Sehingga dalam banyak kitab
terjemah cuma diberi penjelasan dalam kurung (Allah saja yang tahu maksudnya).
Tetapi, saya melihat ini sebagai proses pembelajaran kepada Rasulullah untuk
mengenal huruf-huruf Hijaiyah.
Artinya, Rasulullah yang buta huruf sebelum menjadi Nabi itu, kelak memang
menjadi Nabi yang sesuai dengan zaman modern. Yakni sebuah zaman yang berbasis
pada budaya baca-tulis.
Budaya baca tulis itu mulai dari yang
berbentuk pahatan pada batu, kulit dan tulang binatang, pelepah pohon, kertas
papirus, sampai pada peralatan digital seperti berkembang di era komunikasi
sekarang. Sehingga Al Qur’an yang awalnya dituliskan pada media-media konvensional
itu pun kini sudah berkembang menjadi Al Qur’an Digital, dengan berbagai
fasilitas kemudahannya.
Yang kedua, peradaban modern adalah
peradaban yang berbasis pada mekanisme akal dan data-data empirik. Ternyata
demikian pulalah Al Qur’an mengajari manusia dalam beragama. Proses keimanan di
dalam Al Qur’an bukan diajarkan secara dogmatis atau apalagi lewat
doktrin-doktrin, melainkan lewat argumentasi yang jelas. Sehingga, dengan
sangat tegas Allah melarang melakukan pemaksaan dalam beragama. Laa ikraaha fiddiin – tidak ada
paksaan dalam beragama, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam QS.
Al Baqarah: 256.
‘’Tidak ada paksaan dalam
beragama. Sungguh sudah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Tuhan selain Allah) dan
hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.’’
Bukan cuma menginformasikan, dalam ayat
berikut ini, bahkan Allah melarang alias mengancam akan menimpakan kemurkaan
kepada orang-orang yang memaksakan kehendak dalam beragama. Allah saja tidak
memaksa, kok
kita mau memaksa-maksa orang lain. ‘’Dan
JIKA Tuhanmu MENGHENDAKI, pastilah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) MEMAKSA manusia supaya mereka BERIMAN semuanya? Tidak
ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan AKALnya.’’ [QS.
Yunus: 99-100].
Seiring dengan tidak boleh memaksakan
kehendak dalam beragama itu, Allah juga menegaskan agar kita beragama dengan
argumentasi yang kuat, yang diistilahkan sebagai hujjah. Mulai dari bertuhan kepada Allah,
bernabi kepada Rasulullah Muhammad, berkitab pada Al Qur’an, dan berbagai macam
mekanisme peribadatan kita, semuanya mesti dilakukan berdasar pada hujjah, alias argumentasi
yang kuat. Bukan hanya berpegang kepada ‘pokoknya
harus begini dan begitu’. Dengan kata lain, keimanan kita memang
harus berproses seiring dengan penggunaan akal dan ilmu pengetahuan.
Karena itulah dengan sangat telak Allah
berfirman, bahwa orang-orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan bisa
mengambil pelajaran dari Al Qur’an Al Karim. Sebagaimana dijelaskan dalam
berbagai ayat Qur’an, diantaranya berikut ini: ‘’... wamaa yadzdzakkaru illa uulul albaab – dan tidak
bisa mengambil pelajaran dari (firman-firman) Allah kecuali orang-orang yang
menggunakan akal kecerdasannya.’’ [QS. Ali Imran: 7].
Maka, lewat kisah Nabi Ibrahim sebagai The Founding Father agama
Islam, Allah memberikan pelajaran tentang bagaimana seharusnya umat Islam
memahami dan menjalankan agamanya. Termasuk dalam menanamkan ketauhidan atas
Tuhan satu-satunya di jagat semesta raya ini. ‘’Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah
Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan aku termasuk orang yang
dapat memberikan BUKTI atas yang demikian itu." [QS. Al
Anbiyaa’: 56]
‘’Dan itulah hujjah Kami yang
Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang
Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Berilmu.’’ [QS. Al An’aam: 83].
Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (21)
~ NABI YANG UMMI ITU PUN
MENJADI ILMUWAN JENIUS ~
Al Qur’an adalah kitab petunjuk yang
sangat hebat. Di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang tinggi. Mulai dari
ilmu sastra, filsafat, ekonomi, politik, sains, sampai teknologi. Hanya
orang-orang yang berakal saja yang bisa menggali ilmu-ilmu itu untuk diterapkan
dalam kehidupannya.
Nabi Muhammad adalah contoh konkret hasil
dari pendidikan Allah lewat Al Qur’an Al Karim. Sehingga, beliau dikenal juga
sebagai ‘Al Qur’an Berjalan’. Itu dikatakan oleh isteri beliau Siti Aisyah,
bahwa akhlak dan perilaku beliau adalah Al Qur’an itu sendiri. Nabi Muhammad
adalah satu-satunya manusia yang sudah menjalankan dan meneladankan seluruh isi
Al Qur’an yang berjumlah 6.236 ayat itu.
Cara berbicaranya yang lembut sangat
Qur’ani. Cara bergaulnya yang ramah dan penuh kepedulian menggambarkan akhlak
Qur’an. Kepemimpinannya yang bijak dan jauh dari otoriter, juga terinspirasi
dari ayat-ayat Qur’an. Dan segala aktifitas beliau, mulai dari kehidupan rumah
tangga, sosial, sampai spiritual adalah cerminan dari ilmu Al Qur’an yang
diterapkan di zamannya.
Belajar Al Qur’an bagi Rasulullah bukan
hanya belajar membaca teks, melainkan belajar hikmah yang terkandung di
dalamnya. Sehingga ketika Rasulullah begitu bersemangat membacanya dengan
cepat, Allah memberikan petunjuk bahwa membaca Al Qur’an mesti dilakukan dengan
tenang dan penuh penghayatan agar makna yang terkandung di dalamnya bisa
dicerap dengan baik.
‘
’Janganlah kamu gerakkan
lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya
itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.’’
[QS. Al Qiyaamah: 16-19]
Di ayat lainnya dijelaskan bahwa proses
turunnya wahyu itu bagi Rasulullah memang menjadi ajang pembelajaran dan
bertambahnya ilmu pengetahuan. Bukan sekedar hafalan terhadap teksnya, yang
kemudian diabadikan sebagai kitab yang tertulis. Dengan hikmah ayat-ayat Al
Qur’an yang meresap di dalam jiwanya itu beliau menjadi manusia yang berilmu
sangat tinggi. Bukan hanya soal ukhrowi, melainkan juga duniawi.
'’Maka Maha Tinggi Allah Raja
Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an
sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku,
TAMBAHKANLAH kepadaku ILMU pengetahuan." [QS.
Thaahaa:114]
Karena itu tidak heran, seiring dengan
semakin banyaknya ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada beliau, ilmu yang
beliau kuasai juga semakin banyak. Dan kemudian mewujud dalam berbagai tindakan
serta kesuksesan beliau selama di periode Madinah. Selain menjadi Rasul dalam
tataran tujuan akhirat, beliau juga menjadi kepala negara dalam tataran
duniawi. Juga panglima perang yang hebat. Bahkan, ilmuwan yang jenius, yang
sejumlah nasehatnya dalam urusan keilmuan duiawi memiliki kebenaran prediksi
yang mengagumkan.
Diantaranya, beliau mengatakan bahwa
berpuasa adalah menyehatkan – shuumu
tasiihu – dan mengatakan bahwa perut adalah pusat berbagai macam
penyakit modern. Nasehat ini dibenarkan oleh Badan Kesehatan Dunia WHO bahwa
sumber segala macam penyakit yang sulit disembuhkan dewasa ini memang sebagian
besarnya berasal dari pola makan yang buruk. Sebagiannya lagi dari pola hidup
yang memicu stress. Dan sisanya dari kuman-kuman penyakit: seperti bakteri dan
virus. Dari manakah beliau tahu ilmu kesehatan yang sangat mendasar ini?
Padahal beliau kan
tidak pernah melakukan penelitian? Tentu saja dari hikmah ayat-ayat Qur’an.
Di cerita lain, Rasulullah mengatakan
bahwa air yang kecemplungan lalat akan terkontaminasi penyakit. Tetapi,
penyakit akibat bakteri yang ada di kaki lalat itu bakal ternetralkan jika
lalat itu ditenggelamkan sekalian ke dalam air tersebut. Karena di dalam perut
lalat itu ternyata terdapat kelenjar yang berisi zat penawar, yang akan pecah
dan larut ke dalam air jika lalat tersebut ditenggelamkan ke dalamnya. Siapa
pula yang mengajarkan informasi ini kepada beliau? Karena, nasehat yang
kemudian terbukti lewat penelitian modern ini mestinya baru terungkap jika
dilakukan eksperimen.
Di kali lain lagi, Rasulullah diceritakan
membahas tentang janin di dalam perut ibu. Menurut beliau, janin di usia 40-an
hari sudah mulai bisa dibedakan jenis kelaminnya. Karena saat itulah Allah
mulai membentuk tubuhnya.
‘’Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: apabila nuthfah telah berusia EMPAT PULUH DUA MALAM malam (di dalam
rahim), maka Allah mengutus malaikat kepadanya. Lalu dibentuklah tubuhnya,
diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya.
Kemudian malaikat bertanya kepada Allah: ya Rabbi, laki-laki ataukah
perempuan?` Lalu Tuhanmu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat
menuliskannya...’’ [HR. Muslim dari Hudzaifah bin Usaid]
Cerita tentang pengetahuan Rasulullah atas
jenis kelamin embrio di usia empat puluh harian itu sungguh menakjubkan dunia
kedokteran. Karena, dulu di zaman beliau tidak ada peralatan apa pun untuk
mengetahui keadaan itu. Baru sekaranglah diketahui lewat peralatan USG modern
bahwa di usia empat puluhan hari itu embrio manusia memang sudah mulai bisa
dibedakan dari embrio binatang. Dan luar biasanya, jenis kelaminnya pun mulai
bisa ditentukan..!
Sang Nabi yang dulunya buta huruf itu,
ternyata benar-benar telah menjadi ilmuwan jenius berkat hikmah yang terkandung
di dalam Firman-firman Allah, Sang Maha Bijaksana lagi Maha Berilmu. Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (22)
~ MEMAHAMI AL QUR’AN JANGAN
SEPOTONG-SEPOTONG ~
Banyak diantara umat Islam yang memahami
informasi Al Qur’an secara sepotong. Cara demikian sangat berbahaya dan bisa
menyesatkan. Apalagi jika lantas didoktrinkan kepada orang awam, hasilnya bisa
memunculkan berbagai penyimpangan dalam beragama. Mulai dari yang bersifat
keyakinan personal, mencari pembenaran terkait dengan kepentingan terselubung,
sampai pada meluasnya radikalisme yang kebablasan.
Bagi saya, ayat-ayat Al Qur’an itu mirip
dengan potongan puzzle yang dipisah-pisahkan, sehingga belum memberikan
kesimpulan gambar utuh jika hanya dipahami sepotong. Atau, mirip cerita tujuh
orang buta yang ingin memahami gajah. Dimana setiap orang buta itu, karena
keterbatasannya, hanya bisa memahami sejauh yang bisa dirabanya. Karena itu,
mereka lantas berselisih pendapat tentang bentuk gajah.
Ada yang bilang gajah seperti ular piton
karena si orang buta itu kebetulan hanya bisa meraba belalainya. Ada pula yang
mengatakan gajah seperti cambuk, karena ia hanya bisa memegang ekornya. Dan ada
juga yang berpendapat gajah mirip kipas karena kebetulan hanya bisa memegang
telinganya. Dan seterusnya. Walhasil, pendapatnya berbeda-beda karena belum
holistik dalam memahami binatang berukuran jumbo itu.
Demikian pula dengan pemahaman kita
terhadap ayat-ayat Qur’an. Kitab suci ini adalah kitab petunjuk yang sangat
sempurna, sehingga segala keterbatasan kita akan menjadi faktor penentu
terhadap kepahaman yang holistik itu. Dan akan menyebabkan terjadinya selisih
pendapat dalam menafsirinya. Semakin sedikit ilmu seseorang, semakin terbatas
pula pemahamannya terhadap kandungan Al Qur’an. Sebaliknya, semakin banyak
ilmunya, akan semakin bagus pula pemahamannya.
Namun, bukan hanya itu. Distorsi pemahaman
terhadap kandungan ayat itu juga disebabkan oleh struktur ayat-ayat Qur’an yang
diwahyukan secara terpisah-pisah. Cobalah perhatikan ayat-ayat Qur’an itu,
informasi tentang suatu tema diceritakan dalam berbagai ayat yang berlainan dan
berbagai surat yang terpisah. Kadang diulang-ulang, kadang ditambahi dengan
kalimat penjelas, kadang menyoroti suatu masalah yang sama tapi dengan sudut
pandang yang berbeda.
‘’ Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang (sebagian ayatnya) serupa lagi
berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah. Dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin
pun.’’ [QS. Az Zumar: 23]
Allah juga memberitahukan kepada kita,
bahwa Al Qur’an yang berisi petunjuk buat manusia itu memuat
penjelasan-penjelasan tentang suatu tema di berbagai ayat secara
terpisah-pisah. Karena itu, jika kita belum mengerti terhadap suatu ayat,
karena informasinya baru sepotong, sebaiknya kita melakukan eksplorasi ke
ayat-ayat lainnya yang terkait. Inilah yang disebut sebagai tafsir bil ayat itu. Menjelaskan
makna kandungan ayat dengan ayat-ayat lainnya.
‘’Bulan Ramadan, adalah bulan
yang di dalamnya diturunkan (hikmah-hikmah) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia, dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta
pembeda (antara yang hak dan yang batil).’’ [QS.
Al Baqarah: 185]
Contoh konkretnya sangat banyak di sekitar
kita. Misalnya, tak sedikit kawan-kawan kita yang melakukan poligami dengan
mendasarkan dalilnya pada QS. An Nisaa’: 3 ~ ‘’maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga atau empat...’’
Ayat ini kalau dipahami sepotong begini tentu saja menjadi seakan-akan berisi
‘perintah’ untuk berpoligami. Tetapi, kalau kita baca secara holistik dengan
ayat-ayat lainnya, saya yakin Anda akan memiliki pemahaman yang berbeda tentang
hal ini. Bahwa poligami di dalam Islam itu boleh, asal bukan karena alasan
syahwat.
Contoh lainnya, tentang radikalisme dan
pembunuhan. Tidak sedikit pula kalangan radikal yang mengambil QS. Al Baqarah:
191. ‘’Dan bunuhlah mereka
di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah
mengusir kamu; dan fitnahitu lebih besar bahayanya dari pembunuhan...’’
Kalau ayat tersebut diambil sepotong, tentu seakan-akan Islam adalah agama
radikal yang boleh membunuh seenaknya, karena ayat itu dipahami keluar dari
konteksnya.
Atau, bagi siapa saja yang mau korupsi
pun, jika mencari dalil-dalil dari dalam Al Qur’an dengan cara seperti itu
tentu akan memperoleh dasar hukumnya. Misalnya, QS. Al Jumu’ah: 10 ~ ‘’...maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia (rezeki) Allah...’’ Cara mencari
rezekinya bagaimana? Lantas, ada yang menjawab: ‘’ya terserah aku..!’’ Wah,
rusaklah kalau caranya begini. Perbuatan jahat apa pun bisa memperoleh dalil
dari dalam Al Qur’an.
Tentu bukan demikian. Ilustrasi diatas
adalah sekedar gambaran, bahwa memahami Al Qur’an memang harus dilakukan secara
utuh dan mengaitkan ayat-ayat yang berfungsi sebagai penjelas. Contoh konkret
yang telah kita bahas sebelumnya, adalah tentang turunnya Al Qur’an alias
Nuzulul Qur’an. Di suatu ayat disebut turun berangsur-angsur, di ayat lainnya
diinformasikan di dalam bulan Ramadan, dan di ayat yang berbeda lagi
diceritakan di satu malam yang penuh berkah serta penuh hikmah yang dikenal
sebagai Lailatul Qadr. Jika ayat-ayat itu kita padukan secara holistik akan
menjadi sebagai berikut.
Bahwa, Al Qur’an itu di zaman Rasulullah
memang diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, sebagaimana catatan
sejarah. Tetapi setiap bulan Ramadan Allah selalu mengutus Jibril dan para
malaikat untuk menurunkan hikmah yang terkandung di dalamnya kepada siapa saja
yang mengkaji Al Qur’an secara intensif sambil mensucikan dirinya lewat puasa
Ramadan. Dan saat-saat turunnya hikmah itu disebut sebagai Lailatul Qadr.
Nah, pemahaman holistik semacam itulah
yang harus dilakukan oleh umat Islam terhadap Al Qur’an yang penuh hikmah ini.
Bukan pemahaman sepotong yang memunculkan berbagai distorsi seperti yang banyak
terjadi. Baik karena disengaja maupun dilakukan tanpa sengaja. Semoga Allah
selalu membimbing kita di dalam Ridha-Nya. Wallahu
a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (23)
~ ALLAH PUN TAK MAU MEMAKSA ~
Betapa kelirunya jika kita beragama dengan
cara memaksa. Karena, ternyata Allah pun tak mau memaksa seseorang dalam
menjalankan agamanya. Semua harus berangkat dari kesadaran, bukan dari
keterpaksaan. Sehingga, proses spiritualitas seseorang dalam meningkatkan
kualitas beragamanya adalah seiring dengan proses meningkatnya kesadaran dan
berserah diri kepada-Nya. Bukan membesarnya rasa keterpaksaan dalam menjalankan
ibadah.
Beragama dengan cara terpaksa adalah
percuma. Dia tidak akan pernah berserah diri kepada-Nya, melainkan malah
memupuk rasa keingkaran dalam jiwa. Tentu saja ini berlawanan dengan kata
‘Islam’ yang bermakna berserah diri hanya kepada Allah. Sungguh, kualitas
berserah diri itu tidak akan pernah bisa dicapai oleh orang-orang yang merasa
terpaksa dalam beragama. Keberserah-dirian hanya bisa dicapai oleh orang
menjalaninya dengan keikhlasan, kesabaran, ketaatan, dan pengorbanan.
Di dalam berbagai ayat, Allah menjelaskan
hal itu. Diantaranya dalam ayat berikut ini. ‘’Dan
seandainya Tuhanmu menghendaki, pastilah beriman orang-orang di muka bumi ini,
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang beriman, semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan
izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya.’’ [QS. Yunus: 99-100].
Ayat diatas sangat gamblang bercerita
bahwa Allah memang tak hendak memaksa manusia beriman kepada-Nya. Siapa saja
diberi kebebasan untuk memilih apa yang dimauinya.Tentu saja dengan segala
konsekuensinya. Padahal sebagai Sang Pencipta yang berkuasa mutlak, Allah
sangat bisa memaksakan kehendak-Nya. Dan, kemudian tak ada orang-orang yang
mengingkari-Nya. Semuanya bersujud kepada-Nya. Apa susahnya buat Dia. Tapi
Allah tidak melakukan semua itu.
Allah saja tak memaksa, kenapa kita lantas
main paksa kepada sesama untuk menjalani agama? Hal itu diungkapkan dengan
kalimat yang sangat eksplisit dalam ayat di atas: ‘’apakah kamu hendak memaksa manusia untuk beriman
seluruhnya?’’ Tak ada gunanya. Bukan itu yang dikehendaki oleh-Nya.
Seseorang bisa saja dipaksa untu melakukan shalat, puasa, zakat, haji, dzikir,
berdoa, dan ibadah apa saja. Tapi sungguh, semua itu tak berguna. Karena mereka
akan menjalankannya sebagai ritual belaka, yang tak membekas ke dalam jiwanya.
Hasilnya, bukan kualitas berserah diri kepada-Nya, melainkan pemberontakan
diam-diam , yang terus menerus terjadi di dalam jiwanya.
Beragama harus terjadi seiring dengan
kesadaran. Memupuk kepahaman. Yang menghasilkan keyakinan. Bukan cuma ‘ilmul yaqin, melainkan
harus meningkat ke ‘ainul
yaqin, dan berujung di haqqul
yaqin. Keyakinan dan kepahaman yang tiada tergoyahkan. Orang-orang
yang sudah merasakan sendiri bahwa beragama adalah sebuah jalan pembebasan dari
keterbelengguan duniawi. Diperolehnya kemerdekaan yang hakiki, karena dia telah
bersama Allah Sang Penguasa jagat semesta, Sang Maha Berilmu lagi Maha Bijaksana.
‘’Tidak ada paksaan dalam
beragama. Sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dari jalan
yang sesat. Karena itu, barangsiapa mengingkari thaghut (tuhan selain Allah)
dan beriman hanya kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Berilmu.’’ [QS. Al Baqarah: 256].
Sekali lagi, lewat ayat ini, Allah
menegaskan bahwa beragama tidak boleh dilakukan dengan terpaksa. Kalau
terpaksa, berarti belum beragama dengan benar. Shalatnya terpaksa, dzikirnya
terpaksa, puasanya terpaksa, zakatnya terpaksa, menolong orang terpaksa, dan
semua aktifitas ibadahnya terpaksa. Itu belum menunjukkan proses beragama yang
benar.
Yang harus dilakukan, kata ayat di atas,
adalah membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang
tersesat. Istilah yang dipakai dalam ayat tersebut adalah: qad tabayyana rrusydu minal ghayyi
~ sungguh sudah jelas
antara kebaikan dan keburukan. ‘Tabayyana’ itu bermakna klarifikasi
dan cross-check.
Maksudnya, beragama memang tidak boleh asal percaya dan ikut-ikutan belaka.
Harus dikaji dengan akal sehat, diklarifikasi, dan di-cross-check kebenarannya
ke sumber-sumber yang otentik.
Jika sudah jelas valid, kesimpulannya akan
menjadi kepahaman dalam menjalani agama. Dan kemudian memunculkan keyakinan
yang tiada tergoyahkan. Dalam istilah ayat di atas, kita seperti berpegang pada
tali yang sangat kuat yang tidak bisa putus. Hidupnya tidak terombang-ambing
oleh ketidak-pastian. Karena dia telah mengikuti cara Allah yang Maha Mendengar
lagi Maha Berilmu. Wallahu
a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (24)
~ JANGAN BERIMAN KARENA ‘KATA
ORANG’ ~
Keimanan yang diperoleh dengan mudah, akan
runtuh dengan mudah. Sebaliknya, keimanan yang diperoleh dengan perjuangan dan
proses yang panjang, akan berakar kokoh di dalam sanubari. Tak mudah
tergoyahkan, tak mudah dibeli, atau apa lagi diruntuhkan. Ia seperti pohon yang
akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah, dan cabang-cabangnya menjulang ke
langit. Begitulah Al Qur’an memberikan perumpamaan.
‘’Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.’’
[QS. Ibrahim: 24]
Apakah keimanan itu? Seorang kawan saya
menyebutnya sebagai ‘rasa percaya’. Tetapi saya lebih suka menyebut sebagai
‘rasa yakin’. Sebab, ‘yakin’ memiliki bobot lebih besar dibandingkan dengan
‘percaya’. Dan karenanya, ‘yakin’ memiliki kualitas bertingkat-tingkat seiring
dengan proses keimanan yang terjadi. Di dalam Islam dikenal istilah ‘ilmul yaqin, ‘ainul yaqin,
dan haqqul yaqin.
Level paling bawah dari sebuah keimanan
atau keyakinan adalah ‘ilmul
yaqin. Yakni, keyakinan yang diperoleh lewat proses pembelajaran
dari orang lain, bisa guru, orang tua, ataupun teman. Kepahaman yang baik
terhadap suatu persoalan bakal memunculkan keyakinan, meskipun ia belum
mengalami sendiri. Misal, ketika kita bertanya kepada seseorang: ‘’apakah Anda yakin Allah itu ada?’’.
Bagi seseorang yang sudah belajar tentang eksistensi Sang Pencipta alam
semesta, boleh jadi dia akan mengatakan: ‘’ya
saya yakin Allah itu ada!”
Tetapi, ketika kita tanyakan lagi: ‘’Apakah Anda sudah bertemu dengan
Allah, sehingga merasa yakin akan keberadaan-Nya?’’, dia menjawabnya:
‘‘belum’’.
Lantas, kenapa kok yakin? Dia pun mengatakan, semua itu diperolehnya lewat
proses belajar. ‘’Begitulah kata guru saya. Saya memahaminya dan meyakininya,’’
tuturnya. Keyakinan yang demikian itu baru berada pada tataran ‘ilmul yaqin: yakin
karena kata orang.
Keyakinan semacam ini, di dalam Islam
belum dianggap cukup. Harus meningkat menjadi sebuah pengalaman yang bersifat
personal: ‘ainul yaqin
– ‘melihat’ sendiri atau merasakan sendiri. Pada level ini jika ia ditanya: Apakah Anda yakin Allah itu ada?
Dengan mantap ia akan menjawab: ‘’tentu
saja yakin.’’ Dan ketika ditanya, apakah ia sudah bertemu dengan
Allah sehingga sedemikian yakin, ia pun dengan mantap mengatakan: ‘’sudah’’. Kapan bertemu
dengan-Nya? Boleh jadi dia menjawab: ‘’barusan,
saat shalat dan berdoa.Semua doa dan shalat saya langsung dijawab dan direspon
oleh-Nya!’’
Jika seseorang sudah menjawab seperti itu,
Anda akan mulai sulit untuk menggoyakan imannya. Karena ia telah merasakan
bukti-bukti yang dihadapinya sendiri. Bukan hanya kata orang. Dan akan semakin
kokoh, ketika ia sudah mencapai tingkatan haqqul
yaqin. Yakni, sebuah level keimanan dimana dia telah berulangkali
dan terus menerus memperoleh bukti atas apa yang diimaninya. Selama
bertahun-tahun.
Sehingga, ketika ia ditanya: Apakah Anda yakin bahwa Allah itu
ada? Jawabannya tak mengandung keraguan sama sekali: ya jelas ada! Apakah
sudah bertemu dengan Allah? Sambil tersenyum dia mengatakan: sudah, setiap saat!
Shalat bertemu dengan-Nya. Berdoa bertemu dengan-Nya. Berdzikir bertemu
dengan-Nya. Bahkan bekerja, bergaul, berumah tangga, berpesiar, dan
beraktifitas apa saja, bertemu dengan-Nya. ‘’Karena
ia sudah bersama dengan saya dimana pun saya berada. Segala masalah dan anugerah selalu
saya interaksikan dengan Dia, dan selalu dijawab-Nya. Setiap saat, setiap
waktu. Kenapa saya masih tidak yakin bahwa Dia ada?’’
Wah, kalau sudah demikian, Anda tidak akan
bisa menggoyahkan keimanannya. Dia telah haqqul
yaqin atas apa yang dijalaninya. Kecuali, Anda bisa memberikan
keyakinan yang lebih dahsyat bahwa semua yang diyakininya itu hanyalah ilusi.
Salah lihat dan salah dengar, atau salah persepsi. Tapi, Anda akan semakin
tidak berkutik, jika ia lantas menampilkan bukti-bukti yang tak terbantahkan,
yang sudah dia dapatkan sepanjang perjalanan spiritualitasnya. Bisa-bisa Anda
sendiri yang bakal ‘runtuh’ menghadapinya.
Demikianlah Al Qur’an mengajari umat Islam
dalam mencapai keimanannya. Tidak boleh ikut-ikutan, tidak boleh asal-asalan,
dan tidak boleh sekedar menyandarkan kepercayaan. Keimanan harus diperjuangkan.
Keimanan mesti diperoleh lewat kepahaman. Keimanan harus didapatkan lewat
diskusi-diskusi yang intens. Dan kemudian dibuktikan dalam kehidupan nyata.
Sehingga, tidak heran orang-orang setingkat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa pun
berusaha membuktikan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa jagat raya
semesta, dimana seluruh makhluk memang hanya bergantung kepada-Nya.
‘’Dan sesungguhnya jika kamu
tanyakan kepada (siapa saja) mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan
bumi dan menundukkan bulan dan matahari?" Niscaya mereka akan menjawab:
"Allah". Maka kenapakah mereka (masih bisa) dipalingkan (dari
realitas ini).’’ [QS. Al Ankabuut: 61].
Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR RAMADAN (25)
oleh Agus Mustofa
pada 14 Agustus 2012 pukul 6:54 ·
~ BERAGAMA TAK CUKUP HANYA
BERMODAL IMAN ~
Keimanan adalah level paling dasar dalam
menjalani proses beragama. Orang beragama yang tidak beriman bisa dimaknai
sebagai belum beragama dalam arti yang sesungguhnya. Barangkali hanya
formalitas belaka, semisal hanya Islam KTP dan pakaiannya saja. Berislam dengan
cara demikian tentu bukanlah yang dimaksudkan oleh Al Qur’an Al Karim. Karena,
‘Islam’ itu bermakna proses berserah diri hanya kepada Allah Tuhan Semesta
Alam.
Orang-orang Arab Badui itu
berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu
belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena IMAN
itu BELUM MASUK ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Dia tidak akan mengurangi sedikit pun amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang". [QS. Al
Hujuraat: 14]
Memang, secara hukum, orang yang sudah
bersyahadat mengakui Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul, sudah
bisa disebut sebagai orang Islam. Tetapi, berdasar ayat di atas, keislaman
semacam itu belum dianggap cukup oleh Allah. Karena, masih bersifat seremonial
dan formalitas belaka. Berislam harus merasuk ke dalam jiwa, menjadi sebuah
kepahaman dan berujung pada keyakinan tak tergoyahkan – haqqul yaqin –
sebagaimana telah kita bahas pada tulisan sebelumnya.
Keimanan adalah sebuah kepahaman utuh
untuk menindak-lanjuti syahadat yang sudah kita ikrarkan. Kebulatan tekad yang
dilandasi oleh kesadaran, bukan keterpaksaan. Bahwa bertuhan itu ya hanya kepada Allah.
Dan caranya, adalah mengikuti Rasulullah SAW. Tidak ada yang lain. Untuk
memperoleh kemantapan iman yang sedemikian itu, butuh proses panjang dalam
memahamkannya, sehingga benar-benar mengunjam ke dalam jiwa. Masuk ke dalam
relung-relung hati yang paling dalam, sebagaimana diceritakan ayat di atas.
Namun, ketika keimanan itu sudah memasuki
sanubari kita, apakah lantas sudah selesai proses berislam kita? Ternyata
belum. Berislam tak cukup hanya menjadi beriman. Karena, keimanan ini hanya bersifat
internal di dalam diri kita. Keimanan yang kokoh harus diaplikasikan dalam
perbuatan nyata, yang selaras dengan nilai-nilainya keimanan itu. Tidaklah
cukup, seseorang yang sudah meyakini bahwa kejujuran itu baik, tetapi ia belum
menerapkan kejujuran dalam hidupnya. Belum cukup pula, seseorang yang sudah
meyakini Allah itu ada, tetapi setiap hari dia seperti tidak sedang bersama
Allah.
Seseorang yang sudah mengimani Kebesaran
Allah, misalnya, dia tidak akan menjadi sombong dalam kesehariannya. Cara bergaulnya
ramah dan rendah hati. Karena, ia sudah memahami betapa kecil dan kerdil
dirinya dibandingkan Sang Maha Besar. Demikian pula orang yang sudah mengimani
bahwa Allah Maha Pemurah, dengan sendirinya ia akan menjadi seorang yang
dermawan kepada sesama, meniru sifat-sifat-Nya. Nilai-nilai keimanannya
teraplikasi dalam kehidupan nyata. Inilah yang disebut sebagai Takwa itu.
Jika keimanan bersifat internal dalam jiwa
sebagai kepahaman dan komitmen, maka ketakwaan bersifat eksternal dalam bentuk
perbuatan alias amal kebajikan. Karena itu, dalam ayat berikut ini Allah
mengajari agar keimanan kita dinaikkan kualitasnya menjadi ketakwaan. Sebuah
perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan nyata, yang
diistilahkan sebagai haqqa
tuqaatihi – bertakwa kepada Allah dengan takwa yang
sebenar-benarnya.‘’Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang
sebenar-benarnya kepada-Nya. Dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan
berserah diri (kepada Allah).’’ [QS. Ali Imran: 103].
Dan menariknya lagi, ketakwaan yang sudah
teraplikasi dalam amal perbuatan itu pun masih harus dilanjutkan lagi menjadi
sebuah pengakuan spiritual tentang dominasi Allah dalam segala lini
kehidupannya. Sehingga, ayat di atas masih mengimbau agar orang-orang bertakwa
menjadi orang yang berserah diri – diistilahkan sebagai muslimun. Walaa tamuutunna illa wa antum
muslimuun – janganlah kalian mati kecuali sudah dalam keadaan berserah diri
kepada Allah.
Begitulah memang tingkatan kualitas
seseorang dalam menjalani agama Islam. Dimulai dari komitmen yang bersifat
internal dalam jiwa, diaplikasikan dalam perbuatan nyata sebagai amal
kebajikan, dan berakhir dalam pengakuan yang sangat mendalam tentang dominasi
Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang menjadi pusat dari segala perjalanan
batinnya. Inilah puncak kualitas yang harus kita tuju, sebagaimana telah kita
ikrarkan dalam shalat-shalat shalat kita.
‘’Katakanlah: sesungguhnya
shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Dan aku
adalah orang yang pertama-tama berserah diri (hanya kepada Allah)".
[QS. Al An’aam: 162-163].Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (26)
~ ‘FASE LENYAP’
SETELAH ALAM AKHIRAT ~
Segala sesuatu ini
muncul dari ‘ketiadaan’ dan bakal kembali kepada ‘ketiadaan’. Dalam istilah Al
Qur’an, kalimat yang sering kita dengar itu berbunyi: inna lillaahi wa inna
ilaihi raaji’uun – sesungguhnya (semua ini) milik Allah, dan bakal kembali
kepada-Nya.’’ Ternyata, drama kehidupan manusia, menurut Al Qur’an,
melewati lima fase: dari tiada menuju tiada kembali.
Dalam konteks
pengetahuan manusia yang terbatas, keberadaan ‘sebelum ada’ itu disebut sebagai
‘ketiadaan’. Belum eksis, bahkan tidak eksis. Dan sesudah drama kehidupan ini
selesai, kita juga bakal kembali tidak ada, alias kehilangan eksistensi
kembali. Sebuah ‘kehilangan’ yang sebenarnya tidak pantas kita sebut
kehilangan, karena memang kita tidak pernah memilikinya. Sejak awal kita sudah
tidak ada, sebab yang ada itu memang hanya Dia: Allah azza wajalla.
‘’ Bukankah telah
datang atas manusia satu fase dari perjalanan waktu, dimana ketika itu dia
belum merupakan sesuatu yang bisa disebut?’’ [QS. Al Insaan: 1].
Ya, orang tua kita
saja belum menikah, tentu saja kita pun belum ada. Itulah fase pertama dari
drama kehidupan manusia. Dalam istilah Al Qur’an di ayat yang berbeda, fase itu
disebut sebagai fase kematian. Setelah itu, Allah menciptakan manusia di dalam
rahim ibunda, dan kemudian menjalani drama kehidupannya di dunia, selama
bertahun-tahun, di fase kedua. Ada yang mati usia muda, dan ada yang meninggal
setelah berusia tua. Fase ini disebut sebagai fase kehidupan.
Fase ketiga, manusia
bakal dimatikan lagi. Badannya hancur terurai menjadi tanah, atau unsur-unsur
biokimiawi, tapi jiwanya masih hidup, beralih ke dimensi yang lebih tinggi. Al
Qur’an menyebutnya sebagai fase alam barzakh alias alam kubur. ‘’ Dan
janganlah kamu mengira orang-orang yang meninggal di jalan Allah itu mati;
sebenarnyalah mereka itu hidup, tapi kamu tidak menyadarinya.’’ [QS. Al
Baqarah: 154]. Fase ini disebut juga sebagai ‘fase menunggu’, yakni menunggu
datangnya kiamat.
Fase keempat, adalah
fase akhirat dimana manusia yang sudah mati bakal dihidupkan kembali. Sebuah
fase yang seringkali dicemoohkan oleh orang-orang yang tidak percaya Tuhan.
Bukan hanya oleh umat sekarang, melainkan sudah sejak zaman para rasul masih
hidup. ‘’Dan mereka berkata (mencemooh): apabila tubuh kami telah menjadi
tulang belulang dan benda-benda yang hancur, benarkah kami akan dibangkitkan
kembali sebagai makhluk yang baru?" [QS. Al Israa’: 49]
Dalam buku saya yang
berjudul ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’, saya menjelaskan secara saintifik
bahwa segala benda yang hancur ini akan dengan sendirinya utuh kembali, jika
Allah membalik pergerakan alam semesta. Fakta Astronomi menjelaskan, bahwa alam
semesta sekarang sedang mengembang. Dikenal sebagai expanding universe.
Karena pengembangannya itu, segala sesuatu mengalami peningkatan kekacauan.
Dalam istilah Fisika disebut sebagai ‘kenaikan entropi’.
Akibat dari
meningkatnya entropi itu, segala benda sedang menuju pada kerusakan. Yang utuh
sedang menuju kehancuran. Yang hidup sedang mengarah kepada kematian. Yang
segar sedang berproses membusuk. Dan seterusnya. Itulah hukum alam dunia,
disebabkan alam semesta terus memproduksi entropi yang meningkat seiring dengan
pengembangannya.
Tapi, ketika alam
semesta ini mengerut kembali diakibatkan oleh gaya gravitasi pusat universe
yang menyedot balik segala benda langit, hukum alam akan berjalan terbalik
pula. Yang tadinya hancur bakal utuh kembali. Yang tadinya mati, akan hidup
kembali. Dan yang tadinya busuk bakal segar kembali. Mirip dengan gelas pecah
berantakan yang menjadi utuh kembali ke atas meja dimana ia diletakkan semula,
dikarenakan film rekamannya diputar secara terbalik..! Fisika menyebutnya
sebagai universe yang memiliki entropi menurun.
Maka, sesungguhnya
tidak ada keberatan apa pun secara saintifik bahwa alam yang hancur ataupun
manusia yang sudah mati bakal bisa hidup kembali. Secara teoritis, hanya
memerlukan action untuk membalik pergerakan alam semesta dari mengembang
menjadi menciut kembali. Dan ini sudah dijelaskan dalam teori Big Bang, yang
diakui oleh mayoritas pakar Astrofisika modern. Dengan kata lain, informasi
tentang dibangkitkannya manusia di hari pengadilan kelak, bukanlah hal yang
mustahil. Karena semua itu telah memperoleh pijakan kuat dari teori-teori
Fisika modern yang terus berkembang.
Yang lebih menarik,
fase keempat yang kita kenal sebagai Alam Akhirat itu ternyata bukanlah fase
terakhir drama kehidupan manusia. Karena, ternyata masih ada fase kelima,
berupa hancurnya alam semesta di pusat ledakan kunonya. Dimana alam ini pernah
terlahir, disitu pula alam semesta bakal berakhir.
Dalam teori Big
Bang, fase hancurnya alam semesta itu disebut sebagai fase Big Crunch
– kehancuran total. Itulah saat musnahnya segala yang ada. Seluruh benda-benda
langit mulai dari galaksi-galaksi, bintang dan matahari, planet dan bulan yang
mengitarinya, bakal lenyap disedot oleh black-hole maharaksasa di pusat
jagat raya semesta. Bukan cuma hancur, melainkan runtuh dan lenyap kembali
kepada ketiadaan..! Ayat berikut ini menyebutnya sebagai fase: ilaihi
turja’un – (semua) bakal kembali kepada-Nya. Inilah fase kelima, yang bakal
terjadi setelah berakhirnya alam akhirat, yang berjalan selama miliaran tahun.
‘’Kenapa kamu ingkar
kepada Allah, padahal kamu tadinya MATI (fase 1: ketiadaan), lalu Allah
MENGHIDUPKAN kamu (fase 2: alam dunia), kemudian kamu DIMATIKAN (fase 3: alam
barzakh) dan DIHIDUPKAN-Nya kembali (fase 4: alam akhirat), kemudian
kepada-Nya-lah kamu bakal DIKEMBALIKAN (fase 5: lenyap kembali)?’’
Wallahu a’lam
bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (27)
~ JANGAN BERIBADAH HANYA
KARENA SURGA ~
Seorang kawan saya bertanya: ‘’Benarkah
alam semesta beserta isinya ini bakal lenyap setelah berusia belasan miliar
tahun ke depan?’’ Saya katakan: ‘’agaknya begitu’’. Karena, Al Qur’an
sendirilah yang menceritakan bahwa fase terakhir drama kehidupan manusia memang
bukan alam akhirat, QS. 2: 28, sebagaimana telah kita bahas di tulisan sebelum
ini. Ternyata, alam akhirat baru menempati fase keempat, yang akan segera
disusul fase kelima: runtuhnya alam semesta, lenyap menuju ketiadaan. Yakni,
fase kembali kepada-Nya – ilaihi
turja’un.
Kawan saya pun melanjutkan pertanyaannya:
‘’Berarti surga juga bakal lenyap?’’ Saya menjawab: ‘’Agaknya demikian.’’
Bukankah surga itu memang bagian dari alam akhirat, dan baru berada di fase
keempat? Sehingga ketika alam semesta digulung oleh-Nya, dengan sendirinya
surga dan neraka bakal ikut lenyap’
‘’(Yaitu) pada hari Kami
gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami
telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah
suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan
melaksanakannya.’’ [QS. Al Anbiyaa’: 104]
Kawan saya bersungut-sungut: ‘’kalau
begitu buat apa saya beribadah capai-capai begini? Toh surga bakal lenyap?’’
Saya menimpali: ‘’Oh, jadi ibadahmu selama ini bukan karena Allah toh? Hanya
karena surga? Sehingga ketika surga tidak ada maka engkau pun menjadi malas
beribadah untuk menyembah Allah? Katamu, semua ibadah harus lillahi ta’ala – hanya
karena Allah. Lha kok ternyata hanya karena surga?’’
Dialog diatas hanya sekelumit dari
realitas yang banyak terjadi di sekitar kita. Sebuah gambaran tentang bergesernya
kualitas ketauhidan umat. Ibadah yang semula diperuntukkan Allah semata, mulai
kehilangan orientasi, dan menjadi untuk diri sendiri. Padahal, orientasi ibadah
itu bisa menjadi salah satu parameter kepada siapakah kita bertuhan: kepada
Allah ataukah kepada yang lain – termasuk kepada diri sendiri?
Orang yang ibadahnya karena surga, tentu
bukan beribadah karena Allah. Dia lebih mencintai surga daripada mencintai
Allah. Dan lebih takut neraka daripada takut kepada Allah. Sehingga, Allah tak
lebih hanyalah pihak yang disuruh-suruh untuk memenuhi keinginan kita. Termasuk
untuk memberi kebahagiaan surga dan menghindarkan dari neraka.
Kita mesti berhati-hati, karena tanpa
terasa ketauhidan kita mulai bergeser bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada
diri sendiri. Ternyata, tuhan kita bukan Allah, melainkan diri kita sendiri.
Sedangkan Allah tak lebih hanyalah ‘pelengkap penderita’ yang kita mintai
ini-itu saat kita perlu. Dan ketika segala keinginan itu tidak dipenuhi kita
marah-marah dan ‘ngambek’ kepada-Nya. Emangnya
kita ini siapa?
Inilah yang dikritisi oleh seorang sufi
wanita yang sangat terkenal di abad pertengahan: Rabi’ah Al Adawiyah. Suatu
ketika dia membawa obor dan seember air melintasi keramaian masyarakat. Ia pun
ditanya, untuk apakah membawa obor dan seember air itu kemana-mana. Ia
menjawab, akan membakar surga dan menyiram api neraka. Tentu saja banyak yang
heran dan bertanya kepadanya tentang jawaban yang aneh itu. Tapi dengan lugas
ia menjawab, semua itu dia lakukan agar umat Islam kembali bertuhan hanya
kepada Allah. Dan mencintai serta mengabdikan segala ibadahnya lillahi ta’ala, hanya
karena Allah semata. Bukan sebaliknya, bertuhan kepada surga dan neraka,
sehingga melupakan Allah sebagai Tuhan. Serta menjadikan-Nya sebagai ‘pelengkap
penderita’ belaka.
‘’Janganlah kamu sembah
bersama Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang pantas disembah)
selain Dia. Segala sesuatu bakal binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala
ketentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’’
[QS. Al Qashash: 88]
Begitulah Allah mengajarkan di dalam Kitab
Suci. Itulah yang disebut sebagai pemurnian tauhid dalam menuhankan Allah.
Tidak ada sesuatu pun yang pantas dipersekutukan dengan-Nya. Meskipun itu
adalah surga, malaikat ataupun nabi. Apalagi diri sendiri. Bertuhan adalah
mengikhlaskan hati untuk hanya mengakui keagungan-Nya. Dan berserah diri
menaati segala perintah-Nya. Dzat Tunggal penguasa jagat semesta raya.
Sedangkan surga dan neraka, tak lebih
hanyalah ciptaan yang bakal diganjarkan kepada siapa saja yang memang pantas
memperolehnya. Tak ada satu pun makhluk yang mampu menghalangi, jika Dia
berkehendak memberikan surga kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana juga tak ada
yang bisa menolak jika Dia memberi ganjaran neraka bagi orang yang berdosa.
Allah Maha Adil atas segala kehendak-Nya.
Dia menjadi sumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk-Nya. Karena,
Dialah Sang Penguasa jagat raya Yang Maha Mulia, Maha Agung, lagi Maha
Bijaksana. ‘’Allaahumma
antassalam waminkassalaam tabaarakta rabbana yaa dzal jalaali wal ikraam – Ya
Allah, Engkaulah kebahagiaan dan kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dan dari
Engkau sajalah bersumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan. Maha Suci Engkau
wahai Tuhan kami, Sang Pemilik segala Keagungan dan Kemuliaan...’’
Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (28)
~ DZIKIR SEBANYAK-BANYAKNYA,
BERDOA SEDIKIT SAJA ~
Suatu ketika Pak Dahlan Iskan (menteri
BUMN, red.) bertanya kepada saya: ‘’Apakah di dalam Al Qur’an ada perintah
untuk berdoa sebanyak-banyaknya?’’ Saya jawab: ‘’tidak ada. Yang ada ialah
perintah untuk BERDZIKIR sebanyak-banyaknya.’’ Rupanya, Pak Dahlan sedang galau tentang banyaknya
orang yang sangat suka berdoa, tetapi kurang berusaha. Sehingga, terasa kurang
menghargai karunia Allah yang telah diberikan kepada kita untuk bekerja keras
dalam menggapai tujuan.
Saya memang tidak menemukan perintah untuk
berdoa sebanyak-banyaknya itu. Bahkan para nabi dan rasul beserta para
pengikutnya yang sedang berjuang menegakkan agama Allah pun ketika sedang
menghadapi masalah tidak diperintahkan untuk berdoa, melainkan disuruh
banyak-banyak berdzikir.‘’Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh
hatilah kamu dan berdzikirlah menyebut (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar
kamu memperoleh kemenangan.’’ [QS. Al Anfaal (8): 45].
Dan perintah itu diulang-ulang di dalam
berbagai ayat untuk kepentingan yang lebih umum. Bahwa, dalam kondisi apa pun
Allah memerintahkan kepada kita untuk memperbanyak dzikir. ‘’Hai orang-orang yang beriman,
berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.’’ [QS.
Al Ahzab: 41].
Kenapakah kita disuruh banyak berdzikir
dibandingkan minta tolong? Agaknya kita sudah bisa menebak alasan yang ada di
baliknya. Bahwa, orang yang terlalu sering meminta tolong justru akan
memperlemah daya juangnya sendiri. Sebaliknya, orang yang banyak berdzikir
mengingat Allah akan menguatkan.
Berdzikir memiliki makna selalu merasa
dekat dengan Allah secara lahiriah maupun batiniah. Menyebut dengan lisan
maupun mengingat dengan hati. Ada perasaan selalu bersama dengan-Nya kapan saja
dan dimana saja, sehingga memunculkan rasa tenteram dan percaya diri untuk
memperoleh pertolongan dan perlindungan dari-Nya. ‘’(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan berdzikir kepada Allah, Ketahuilah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati manusia menjadi tenteram.’’ [QS. Ar Ra’d:
28].
Di dalam dzikir itu, sebenarnya sudah
terkandung doa meminta pertolongan dan perlindungan kepada-Nya. Tetapi tidak
semata-mata diungkapkan sebagai permintaan tolong yang berkepanjangan. Yang
seringkali, justru melemahkan motivasi untuk berjuang dan bekerja keras
mencapai tujuan. Allah sudah memberikan segala anugerah berupa kecerdasan, ilmu
pengetahuan, kekuatan, kekuasaan, rezeki, dan sebagainya yang harus kita
gunakan secara maksimal. Dalam kerja keras dan perjuangan itulah Allah bakal
menilai kita apakah kita pantas memperoleh karunia yang lebih besar lagi.
Karena itu tidak heran, Allah
menginformasikan kepada kita bahwa ganjaran surga pun bakal diberikan kepada
orang-orang yang telah berusaha dan bekerja keras. Bukan kepada orang-orang
yang gemar berdoa sambil bemalas-malasan. ‘’Apakah
kamu mengira akan masuk surga, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang
yang berjuang di antaramu, dan belum terbukti orang-orang yang sabar.’’
[QS. Ali Imran: 142].
Dengan kata lain, lha wong belum berjuang dan
berusaha keras untuk mencapainya, kok
sudah berangan-angan dapat surga. Demikian pula, belum terbukti bisa
menaklukkan masalah dengan penuh kesabaran, kok
sudah berharap kesuksesan. Bukan begitu. Hanya orang-orang yang pantas dapat
kesuksesanlah yang bakal diberi kesuksesan oleh Allah. Dan hanya orang-orang
yang pantas memperoleh kegagalanlah yang akan diberi kegagalan oleh-Nya.
Dalam ayat berikut ini, Allah juga
memberikan informasi semacam itu. Kita dipersilakan untuk memilih menjadi orang
yang mau maju atau mau mundur. Semua bergantung kepada kita sendiri. Setiap
diri bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang diambilnya. Liman syaa-a minkum an yataqaddama au
yata-akhkhar. Kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah – Bagi siapa saja diantara
kalian yang mau maju atau mau mundur (silakan). Setiap diri bertanggungjawab
atas apa yang diperbuatnya..! [QS. Al Mudatstsir: 37-38]
Maka dalam konteks dzikir dan doa ini,
kita diajari untuk melakukannya secara proporsional. Dzikir dianjurkan
dilakukan sebanyak-banyaknya agar jiwa kita selalu ‘nyambung’ dengan Allah. Maka, ketika jiwa
sudah tersambung kepada-Nya, doa tidak perlu banyak-banyak, sudah sangat
mustajab. Karena jiwanya telah terisi penuh oleh eksistensi Allah.
Sebaliknya, tidak sedikit orang yang
berdoa tetapi jiwanya tidak tersambung kepada Allah. Dzikirnya buruk, karena
tidak sepenuh hati, sehingga jiwanya pun jauh dari Allah. Bagaimana mungkin doa
yang demikian bisa terkabul. Lha
wong doa itu hanya meluncur dari lisannya, tanpa melibatkan
hatinya. Sementara itu, Allah mengajari agar kita tidak lalai saat berdzikir
kepada-Nya dengan merendahkan suara maupun berbisik-bisik mesra di dalam jiwa.
‘’Dan
berdzikirlah menyebut (nama) Tuhanmu di dalam jiwamu, dengan merendahkan diri
dan rasa takut serta dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang
hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.’’ [QS. Al
A’raaf: 205].
Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (29)
~ BERDZIKIR KEPADA ALLAH DI
SETIAP HELAAN NAFAS ~
Dzikrullah alias mengingat Allah adalah
pelajaran puncak dalam spiritulitas Islam. Sehingga di dalam Al Qur’an
bertaburan pelajaran tentang dzikir itu. Berdzikir bukan hanya bermakna
mengucapkan kalimat dzikir, melainkan menghadirkan Allah dalam seluruh
kesadaran kita. Apa pun yang sedang kita lakukan, tak pernah lepas dari
interaksi dengan-Nya.
Karena itu, selain diperintahkan untuk
melakukan dzikir sebanyak-banyaknya, QS. 33: 41, Allah juga mengajarkan untuk
berdzikir dalam kondisi apa pun. Istilah Al Qur’an adalah mengingat Allah dalam
segala keadaan: berdiri, duduk, maupun berbaring.
‘’(yaitu) orang-orang yang
berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’’
[QS. Ali Imran: 191].
Ayat di atas menunjukkan bahwa dzikir
adalah inti dari semua ibadah. Shalat mesti mengingat Allah, berpuasa mesti
mengingat Allah, demikian pula zakat, haji, dan apa pun bentuk ibadah yang kita
lakukan. Bahkan bukan hanya ibadah-ibadah khusus seperti itu, melainkan juga
dalam segala kondisi: makan, minum, mandi, berkendara, bekerja, berolahraga,
menuntut ilmu, berdarmawisata, dan segala macam kegiatan sehari-hari, termasuk
saat beristirahat ataupun tidur, semuanya tak pernah lepas dari dzikrullah:
menyambungkan hati kepada Allah.
Karena itu, kita menjadi paham ketika
Allah menyebut dzikrullah
sebagai amalan yang paling besar dibandingkan dengan segala ibadah. ‘’… Dan sesungguhnya berdzikir
kepada Allah (dzikrullah) itu lebih besar (keutamaannya dibandingkan ibadat apa
pun yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.’’ [QS.
Al ankabuut: 45]
Saya lantas ingat bagaimana ayah saya –
yang juga guru tasawuf saya sendiri – mengajari pentingnya dzikir itu. Beliau
menggambarkan begini: kalau kita ingin selalu berinteraksi dengan Allah, yang
harus dilakukan adalah sering-sering membaca Al Qur’an. Sebab, kitab suci itu
berisi ucapan alias firman-firman Allah. Membaca Al Qur’an dengan khusyu’ sama
dengan dengan sedang berdialog dengan Allah.
Tetapi, karena kita tidak mungkin khatam
Al Qur’an setiap hari, maka kita bisa membaca kandungan Al Qur’an itu di dalam
‘ringkasannya’, yaitu surat Al Fatihah. Itulah sebabnya surat pembuka kitab
suci ini disebut sebagai ummul
kitab – induk Al Kitab. Isinya mewakili kandungan Al Qur’an secara
global. Membaca Al Fatihah bisa kita lakukan jauh lebih banyak dibandingkan
dengan mengkhatamkan Al Qur’an. Minimal tujuh belas kali sehari semalam, kita
melakukannya saat shalat.
Menurut ayah saya, meskipun surat Al
Fatihah itu sudah merupakan ringkasan dari Al Qur’an, sebenarnya ia masih bisa
diringkas lagi, yakni menjadi kalimat bismillahirrahmanirrahim
yang ditempatkan di awal surat itu. Yang karenanya, kita diajari untuk
melafadzkan kalimat basmallah
ini lebih banyak dibandingkan membaca Al Fatihah. Bukan hanya setiap shalat,
melainkan setiap mau berbuat apa saja. Mau makan baca bismillah, mau minum baca
bismillah, mau
bekerja, mau bepergian, mau belajar, mau tidur, dan apa saja aktivitas
sehari-hari yang mau kita lakukan, kita mesti membaca basmallah.
Namun, kalimat bismillahirrahmanirrahim ini pun sebenarnya
memiliki inti kandungan makna, yang terdapat pada kata ‘’Allah’’. Oleh karena
itu, teringat betul bagaimana Bapak saya mengajari anak-anaknya agar
melafadzkan kata ‘Allah’ ini lebih banyak lagi. Yaitu, seiring dengan helaan
nafas: ‘’Allaahu…
Allaahu…’’. Maka melafadzkan kata ‘’Allah’’ itu adalah sama dengan
membaca intisari seluruh firman-Nya yang berjumlah 6.236 ayat. Itulah dzikir
paling intensif yang bisa dilakukan seorang hamba terhadap Tuhannya. Ada juga
yang masih meringkas kalimat ‘Allahu’ itu menjadi: ‘’Hu… hu..’’ yang bermakna ‘’Dia’’ (Allah),
seiring dengan tarikan dan keluarnya nafas.
Begitulah cara para pelaku dzikir
berinteraksi dengan Allah. Mereka ingin menyambut ajakan Allah agar setiap saat
mengisi kesadarannya dengan mengingat Allah. Dalam keadaan berdiri, duduk,
maupun berbaring, sebagaimana diajarkan dalam firman-firman-Nya. Tidak harus
diucapkan dengan lisan, karena dzikir itu bisa dilafadzkan di dalam jiwa dan
kesadarannya.
Ibarat pelajaran membaca antara anak SD
dengan mahasiswa, seorang anak SD membaca buku-buku pelajarannya dengan cara
mengeraskan suara, tetapi para mahasiswa sudah membacanya di dalam hati dengan
penghayatan yang jauh lebih tinggi. Semua itu hanya soal kebiasaan saja, dan
kita semua bisa melakukannya kalau mau.
Orang-orang yang sudah mencapai tataran
ini diibaratkan Allah sebagai orang yang selalu berhadapan dengan Allah dimana
pun dia berada. Menghadap ke barat bertemu Allah, menghadap ke timur juga
bertemu Allah. Karena, barat dan timur itu memang milik Allah, dan seluruh apa
yang ada diantaranya sudah diliputi-Nya, tanpa ada jarak yang memisahkannya.
‘’ Dan kepunyaan Allah-lah
timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.’’ [QS.
Al Baqarah: 115]. ‘’Dan
sesungguhnya Kamilah yang telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui segala
yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya (sendiri).’’ [QS. Qaaf: 16].
Wallahu a’lam bishshawab.
TAFAKUR
RAMADAN (30)
~ RAMADAN BERAKHIR JUM’AT
KENAPA SHALAT IDUL FITRI MINGGU ~
Saya masih merasa gundah dengan sejumlah
pertanyaan dari para sahabat saya tentang awal Ramadan dan Awal Syawal. Sungguh
kasihan menyaksikan mereka kebingungan memahami ‘fenomena’ penetapan waktu
ibadah yang berbeda itu. Dan, lebih kasihan, karena ternyata kebingungan
tersebut terulang lagi saat menyongsong datangnya Idul Fitri. Karena itu, saya
ingin berbagi pemahaman lebih jauh tentang hal ini.
‘’Saya benar-benar bingung mas Agus. Awal
Ramadan bingung, akhir Ramadan juga bingung. Saya takut berdosa, karena
melakukan ibadah tanpa mengetahui ilmunya. Bukankah Al Qur’an mengajari agar
kita punya alasan yang jelas dalam menjalani agama ini?’’ Kata kawan saya
memulai ‘curhat’nya,
sambil mengutip QS. 17: 36. ‘’Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggung-jawaban.’’
Yang menjadi kegundahannya adalah, kenapa
shalat Idul Fitri 1433 H ini digelar di hari Minggu, 19 Agustus 2012. Padahal
menurut hisab dan rukyat, Insya Allah bulan Ramadan akan berakhir malam ini,
Jum’at, 17 Agustus 2012. Mestinya kan
shalat Id digelar hari Sabtu, karena sudah masuk 1 Syawal. Lha kok shalat Id
dilakukan Minggu. Kenapa bisa demikian?
Seperti telah saya bahas di awal Ramadan,
kerancuan ini mestinya tidak perlu terjadi jika sejak awal kita bisa memisahkan
pemahaman Astronomi dan pemahaman fikihnya. Astronomi adalah sebuah fakta
posisi benda langit yang tak bisa dimanipulasi. Sedangkan fikih adalah hukum
yang bisa ‘disesuaikan’ seiring dengan kondisi yang terjadi.
Untuk memahami secara runtut, marilah kita
flash-back
sedikit ke awal Ramadan. Bahwa semua pihak yang berkompeten waktu itu sepakat:
bulanSyakban berakhir Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Sehingga, ketika
saat Maghrib datang, bulan Syakban sudah benar-benar berakhir, digenapkan dalam
usia 30 hari. Tentunya, Jum’at sudah masuk 1 Ramadan. Adalah tidak mungkin
untuk memasukkan Jum’at ke bulan Syakban, karena akan menjadikan bulan Syakban
berumur 31 hari. Menetapkan hari Jum’at sebagai penggenapan bulan Syakban
adalah sebuah keputusan yang absurd,
karena usia bulan-bulan Hijriyah hanya berkisar antara 29 atau 30 hari.
Menyongsong datangnya bulan Syawal, insya
Allah semua pihak juga bakal sepakat bahwa akhir Ramadan akan jatuh malam hari
ini, Jum’at (17/8). Cara menghitungnya sederhana saja, yakni: akhir bulan
Syakban ditambah 29,5 hari akan menghasilkan akhir bulan Ramadan. Karena akhir
Syakban adalah Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25, maka diperolehlah akhir
Ramadan jatuh pada hari Jum’at (17/8) sekitar jam 23.00 wib. Saya kira, semua
pihak tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini. Dan, Insya Allah tidak ada
yang berpendapat bulan Ramadan bakal berakhir besok, hari Sabtu (18/8).
Tapi, jika benar malam ini semua pihak
menyepakati bahwa Ramadan telah berakhir, kenapa shalat Idul Fitri baru digelar
di hari Minggu? Disinilah diperlukan penjelasan fikihnya. Karena secara
Astronomi sih
sudah sangat jelas, bahwa Bulan Ramadan berakhir hari ini, dan besok hari sabtu
adalah tanggal 1 Syawal. Dan berarti Minggunya adalah tanggal 2 Syawal. Tetapi
secara fikih, kita memang memiliki pilihan untuk mengakhiri puasa atau
menggenapkannya, meskipun Ramadan telah berakhir.
Dikarenakan bulan Ramadan baru habis di
Jum’at malam, sekitar pukul 23.00 wib, maka saat matahari tenggelam itu memang
masih berada di bulan Ramadan. Itu berlanjut sampai sekitar 5 jam kemudian.
Dalam penanggalan Hijriyah batas hari ditetapkan saat Maghrib, bukan tengah
malam seperti kalender Masehi. Oleh karena itu, setelah Maghrib nanti hari
sudah berganti menjadi Sabtu Hijriyah, dan Ramadannya masih tersisa sekitar 5
jam sampai jam 23.00 wib.
Secara fikih, jika hari terakhir Ramadan
masih menyisakan bulan, maka Rasulullah mengajari kita agar menggenapkannya
sampai datangnya waktu Maghrib. Dan shalat Id baru digelar esoknya. Itulah
alasannya kenapa kita masih berpuasa di hari Sabtu, yang notabene sudah tanggal
1 Syawal. Tidak apa-apa. Karena secara fikih memang demikian hukumnya.
Meskipun, penggenapan itu sendiri lantas dipahami secara berbeda-beda, yakni:
ada yang ‘menggenapkan’ puasanya menjadi 29 hari; dan ada pula yang
menggenapkan puasanya menjadi 30 hari. Ya, sudahlah.Dengan demikian, shalat
Idul Fitri, baru kita lakukan pada hari Minggu, 19 Agustus 2012, yang notabene
adalah tanggal 2 Syawal. Juga tidak apa-apa, karena dasar hukumnya jelas.
Meskipun, sempat berbeda di awal Ramadan,
kita tetap wajib mensyukuri kebersamaan lebaran kali ini. Karena, jika
lebarannya yang berbeda ‘ongkos sosialnya’ bakal lebih mahal lagi. Kita
berharap, mudah-mudahan tahun depan bukan hanya Idul Fitrinya yang bersamaan,
melainkan umat Islam sudah bisa bergandengan tangan sejak memasuki awal
Ramadan. Betapa indahnya jika umat ini bersatu padu, mengeratkan persaudaraan
di dalam ridha Allah. Sungguh kita semua merindukan datangnya kebersamaan
itu..!
‘’Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali Allah. Dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah
akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, kemudian Allah
mempersatukan hatimu. Lalu kamu menjadi orang-orang yang bersaudara karena
nikmat Allah. Padahal (ketika itu) kamu telah berada di tepi jurang neraka,
lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.’’
[QS. Ali Imran: 103]
Wallahu a’lam bishshawab.
Info Umum
Lahir
|
16 Agustus 1963
|
Lokasi
| |
Afiliasi
|
Buku Serial Diskusi Tasawuf Modern
|
Informasi Pribadi
|
Agus Mustofa lahir di Malang, 16 Agustus 1963. Ayahnya, Syech Djapri Karim, seorang guru tarekat yang intens, dan pernah duduk dalam Dewan Pembina Partai Tarekat Islam Indonesia, pada zaman Bung Karno. Maka sejak kecil ia sangat akrab dengan filsafat seputar pemikiran Tasawwuf. Tahun 1982 ia meninggalkan kota Malang, Jawa Timur, dan menuntut ilmu di Fakultas Teknik, jurusan Teknik Nuklir, Universi...
Lihat Selengkapnya
|
Info Kontak
Telepon
|
(031) 8282871
|
Email
| |
Situs Web
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar