Rabu, 15 Agustus 2012

TAFAKUR RAMADAN


TAFAKUR RAMADAN (1)

oleh Agus Mustofa pada 20 Juli 2012 pukul 14:55 ·
~ PERBEDAAN MEMBAWA HIKMAH ~

Bulan penuh rahmat telah datang! Rahmat itu, utamanya, diberikan kepada orang-orang yang menjalani puasa Ramadan dengan penuh hikmah. Karena itu, bulan Ramadan identik dengan bulan ‘berburu hikmah’. Berpuasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Atau, apalagi sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Puasa Ramadan harus mampu mengubah kualitas diri menjadi lebih baik. Lahir dan batin.

Untuk memperoleh hikmah sebanyak-banyaknya itulah, selama Ramadan kali ini Jawa Pos dan Kaltim Pos menurunkan kolom TAFAKUR yang akan diisi oleh Agus Mustofa, mantan wartawan Jawa Pos yang kini telah beralih profesi menjadi penulis buku. Karyanya yang sudah lebih dari 40 judul buku itu dikenal sebagai serial Diskusi Tasawuf Modern yang laris manis. Anda akan diajaknya berburu hikmah dengan caranya yang khas, yakni memadukan pemahaman spiritualitas yang mendalam dengan sudut pandang ilmu pengetahuan modern.

Selamat berpuasa Ramadan. Selamat bertafakur. Semoga Allah mengaruniakan barokah dan hikmah sebanyak-banyaknya kepada kita semua...

                                                              * * *


Dalam sebuah forum kajian, seorang jamaah bertanya kepada saya. ‘’Apakah Pak Agus memilh satu golongan dan meninggalkan yang lain, terkait dengan perbedaan penetapan awal puasa ini?’’ Rupanya, ia mengira saya berpikir sempit mengarah ke golongan tertentu. Sehingga dikhawatirkan akan memunculkan friksi yang semakin meluas.

Saya katakan: ’’Tidak. Saya justru ingin menyelesaikan masalah abadi, yang hampir setiap tahun muncul ini.’’ Kadang berbeda di awal Ramadan, kadang pula di akhir Ramadan. Dan bahkan sudah merembet ke penetapan Hari Raya Haji yang semakin tidak jelas jluntrungan-nya. Untuk menyelesaikan ‘ketidak-jelasan’ itulah saya harus bisa menjelaskan secara teknis terlebih dahulu duduk persoalannya.

Bahwa perbedaan ini sebenarnya bukan soal penetapan ‘awal bulan’ Ramadan, melainkan penetapan ‘awal puasa’. Kalau soal awal bulan Ramadan, secara teknis sudah sangat jelas. Bahwa ketika bulan Sya’ban usai, seketika itu pula sudah masuk bulan Ramadan. Dalam penanggalan Hijriyah, bulan Sya’ban adalah bulan ke-8, sedangkan Ramadan adalah bulan ke-9.

Secara Astronomi, sudah pasti tidak ada jeda antara Sya’ban dan Ramadan. Dan itu bisa langsung dicek di angkasa. Yakni, Kamis pagi posisi bulan masih berada di sebelah kanan matahari. Namun, sesaat setelah pukul 11.25, posisi Bulan sudah berada di kiri matahari. Itu artinya, sudah memasuki fase baru, yakni Ramadan.

Sehingga menjadi aneh, secara astronomi, ketika semua pihak sepakat bahwa Sya’ban sudah berakhir di KAMIS, 19 Juli 2012, tetapi 1 Ramadan ditetapkan jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012. Jangan heran kalau lantas ada kawan saya yang bertanya: ‘’Kalau begitu hari JUM’AT, 20 Juli 2012 termasuk dalam bulan Sya’ban ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan?’’ tanyanya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Penetapan seperti itu, sungguh tidak jelas. Dan membuat umat tambah bingung. Harusnya dibedakan antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Ramadan sebagai bulan, sudah pasti telah masuk SESAAT setelah ijtima’ - posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Dan bisa langsung diamati di angkasa dengan menggunakan peralatan astronomi, maupun simulasi metode hisab. Karena tidak mungkin ada ‘hari antara’ di peralihan Sya’ban dan Ramadan. Pilihannya hanya dua: masuk Sya’ban atau Ramadan.

Nah, ketika sudah disepakati Sya’ban telah habis Kamis siang, maka siang itu pula hilal sudah memasuki bulan Ramadan. Sehingga sore hari saat matahari tenggelam ‘hilal Ramadan’ sudah berumur 6 jam. Memang tidak akan terlihat oleh mata telanjang, saking tipisnya. Tetapi, bulan Ramadan sudah masuk.

Tinggal masalahnya: apakah akan berpuasa hari Jum’at ataukah hari Sabtu. Ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masalah fiqih ibadah puasa. Disinilah sebenarnya perbedaan itu muncul. Ada yang berpatokan pada hadits: jika hilal tidak kelihatan, maka genapkanlah. Sehingga, karenanya ada yang berpuasa Sabtu. Lainnya berpendapat: karena bulan Ramadan sudah masuk, maka wajib hukumnya untuk segera berpuasa. Masalahnya menjadi clear. Silakan Anda memilih sesuai keyakinan Anda sendiri-sendiri.

Seandainya, perbedaan itu dijelaskan dengan cara demikian, saya kira masyarakat luas akan bisa memahami dan menerima dengan lapang dada. Sayangnya, yang terjadi sangat rancu: campur aduk antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Dan persoalannya menjadi merembet kemana-mana. Ada yang merasa dibodohi karena informasinya seperti ditutupi, ada yang merasa dibodohkan karena dianggap tidak bisa menghitung, padahal dia merasa sebagai pakar ilmu Falak. Dan, ada pula yang tak tahu harus melakukan apa, karena serba bingung.

Jika, kondisinya clear seperti itu, saya kira perbedaan ini akan benar-benar membawa hikmah dan menjadi rahmat bagi umat Islam. Setiap orang menjadi paham duduk persoalannya. Dan terserah mereka mau memulai puasa Jum’at atau Sabtu, dengan dalilnya sendiri-sendiri. Pertanggungjawabannya langsung kepada ilahi rabbi.

Tetapi, kalau soal ketidak-jelasan hari Jum’at masuk Sya’ban atau Ramadan, itu pertanggung-jawabannya adalah secara Astronomi. Dan itu berlaku untuk seluruh penduduk Bumi, bukan hanya bagi umat Islam. Posisi Bulan tak akan bisa ditutup-tutupi dengan cara apa pun. Karena sungguh, Bulan tak pernah berbohong. Meskipun, sayangnya, Bulan tidak bisa ngomong. Wallahu a'lam bishshawab. (bersambung).


TAFAKUR RAMADAN (2)
oleh Agus Mustofa pada 21 Juli 2012 pukul 12:45 ·
~ BULAN SORE HARI, PUASA DI ESOK PAGI ~

Ramadan benar-benar bulan penuh hikmah. Bulan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kedewasaan kita dalam beragama. Coba saja lihat, baru berada di ’ambang pintunya’ kita sudah disodori masalah sebagai studi kasus: ‘perbedaan awal Ramadan’. Rupanya, Allah sedang mengajari umat Islam agar menjadi lebih pintar dan dewasa dalam menyikapi berbagai peristiwa yang ada di sekitarnya. Dan, pembelajaran yang paling mengesankan, memang, adalah dengan studi kasus seperti ini.

Bukan hanya studi kasus, tetapi juga harus berulang-ulang! Yang kadang-kadang bisa sangat membosankan bagi murid-murid yang pandai. Atau, setidak-tidaknya yang punya kecerdasan di atas rata-rata. Masa iya sih, setiap tahun harus belajar masalah yang sama: tidak lulus-lulus. Menentukan awal Ramadan, menetapkan 1 Syawal, bahkan menyepakati Hari Raya Haji pun kita hampir selalu berbeda. Padahal, yang namanya Hari Raya Haji itu mestinya ‘tidak mungkin’ berbeda di seluruh dunia. Kenapa?

Ya, karena penetapannya harus merujuk  ke ritual haji di tanah suci. Jika disana jamaah haji sedang wuquf di Padang Arafah, maka umat Islam di seluruh dunia disunnahkan melakukan puasa Arafah. Dan esok harinya, di seluruh penjuru planet ini digelar shalat Idul Adha. Itu bertepatan dengan jamaah haji yang lempar jumrah dan bertawaf di Baitullah. Tapi, ternyata banyak juga yang melakukan puasa Arafah, justru saat jamaah haji sudah meninggalkan Arafah, berada di Mina. Sehingga selayaknya, puasa kita itu tidak disebut sebagai puasa Arafah, melainkan puasa Mina.

Perbedaan penetapan waktu ibadah semacam ini sebenarnya boleh saja dikatakan ‘lumrah’ jika hanya terjadi satu-dua kali. Bahkan, disebut penuh hikmah jika arahnya menuju pada perbaikan kualitas diri maupun keumatan. Tetapi, jika hal semacam itu terjadi berulang-ulang tanpa solusi yang jelas, ditakutkan akan banyak ‘peserta didik’ yang bosan dengan hal yang sama itu. Apalagi jika mulai muncul indikasi semakin memburuk. Misalnya, mulai ada yang mempersepsi sidang itsbat tidak lagi berguna, dan tak mau menghadirinya. Ini menjadi bumerang bagi kebersamaan umat. Dan bukan lagi memunculkan hikmah, tapi mengarah kepada masalah yang semakin serius. Kita harus waspada..!

Masalahnya bukan lagi berada pada tataran keilmuan dan kematangan spiritualitas, melainkan mulai mendangkal ke arah ego pribadi, kelompok, atau bahkan kepentingan politis. Jika ini yang terjadi, sungguh kita semakin jauh dari hikmah yang dijanjikan Allah bertaburan di bulan Ramadan ini. Dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hal ini. Khususnya, bagi yang hanya ikut-ikutan.
              
‘’Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya (masing-masing). [QS. Al Israa’: 36].

Jika secara keumatan tidak ada yang mampu menyelesaikan masalah ini, maka umat Islam harus pandai-pandai mengambil hikmah secara pribadi, agar kita tidak menjadi korban sia-sia. Dan, kita berharap, mudah-mudahan Allah segera mengirimkan pemimpin yang memiliki kapabilitas dan integritas yang bisa menyatukan umat, demi kemaslahatan bersama.

Bagaimanakah caranya agar kita selamat secara pribadi dan tidak menjadi korban kesia-siaan dari sebuah kelalaian ataupun ketidak-pedulian? Tentu saja, harus memiliki pengetahuan tentang kasus ini, sebagaimana diajarkan dalam firman Allah di atas. Yang pertama, pahamilah kapan bulan Sya’ban berakhir. Yang jika kita merujuk ke pendapat para pakar  Astronomi dari lembaga-lembaga berkompeten, hasilnya adalah sebagai berikut.

Menurut ahli Ilmu Falak PBNU KH Slamet Hambali, sebagaimana dikutip oleh website resmi PCNU Pekalongan, akhir Sya'ban 1433 Hijriyah jatuh pada Kamis (19/7). Demikian pula Muhammadiyah malah sudah mengumumkan bahwa akhir Sya’ban jatuh pada Kamis, 19 Juli 2012. Sedangkan, menurut pakar Astronomi Boscha, Dr Ir Moedji Raharto, akhir bulan Sya’ban akan terjadi pada Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Artinya, semua pihak sebenarnya sepakat, bahwa hari Kamis, 19 Juli 2012 itu bulan Sya’ban sudah berakhir, pada siang hari itu.

Masalahnya,  karena habisnya adalah siang hari, maka pada saat matahari terbenam ketinggian bulan sabit sebagai penanda datangnya Ramadan masih berusia sekitar 6 jam, alias di bawah 2 derajat. Sehingga sangat mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang. Tetapi, kalau kita sepakat bahwa puasa ini adalah ‘Puasa Ramadan’, tentu kita sudah harus berpuasa ketika bulan Ramadan itu datang, bukan? Persis seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini.

‘’ Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan berisi penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (kebaikan dan keburukan). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di  bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa... [QS. Al Baqarah: 185]

Yang perlu kita pahamkan lebih lanjut adalah, bahwa waktu sahur untuk berpuasa esok hari itu masih sekitar 10 jam lagi. Kita mengamati datangnya bulan sabit sekitar jam 6 sore, tapi waktu untuk berpuasa dimulai sekitar jam 4 pagi. Jadi, kalau pun jam 6 sore itu bulan belum kelihatan, sepuluh jam lagi pasti dia sudah sangat tinggi di atas horison, berusia sekitar 16 jam. Karena, sebenarnya malam itu Ramadan memang sudah datang..!

Maka, betapa sayangnya jika bulan penuh rahmat yang sangat mulia ini tidak kita sambut kedatangannya. Dan kita baru berpuasa esoknya pada tanggal 2 Ramadan. Sementara, Allah pun sudah memerintahkan agar kita segera berpuasa begitu bulan suci ini hadir. Kenapa kita mesti dibingungkan oleh bulan sabit sore hari ya, padahal puasanya kan baru esok pagi? Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).


TAFAKUR RAMADAN (3)
oleh Agus Mustofa pada 22 Juli 2012 pukul 6:40 ·
~ MENGURAI BENANG KUSUT PENETAPAN WAKTU IBADAH ~

Perbedaan yang sering terjadi dalam menentukan waktu ibadah umat Islam harus mulai diurai. Karena, ibarat benang kusut masalah ini semakin tidak ketahuan ujung pangkalnya. Lha, kalau ujung pangkalnya saja tidak ketahuan, bagaimana kita bisa mengurai keruwetan?

Penetapan waktu ibadah sebenarnya bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu shalat. Bahkan ayat tentang ini sangat jelas disebut Al Qur’an, bahwa shalat adalah ibadah yang ditetapkan waktunya. ‘’... Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [QS. An Nisaa’: 103]

Namun, waktu shalat bisa diselesaikan dengan relatif mudah. Terjadi kompromi antara tradisi dengan sains secara harmonis. Dulunya, waktu shalat ditetapkan dan dijalankan sesuai tradisi Rasulullah, yakni dengan melihat posisi matahari secara kasat mata, karena memang di zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.

Ketika fajar sudah mulai merebak di ufuk timur, umat Islam diwajibkan menghadap Allah dengan shalat fajar atau shalat Subuh. Ketika matahari sudah melewati ufuk tertingginya, diwajibkan shalat Zhuhur. Saat matahari berada di pertengahan antara ufuk tertinggi dengan saat tenggelam, diwajibkan shalat Ashar. Dan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk Barat, umat menjalankan shalat Mahgrib. Kemudian, saat gelap malam menjalankan shalat Isya’.

Dalam perkembangannya, umat Islam sesudah zaman Nabi merumuskan cara mudah untuk menandai datangnya waktu shalat itu. Yakni, dengan menegakkan tongkat di bawah sinar matahari. Khususnya di Indonesia. Saya ingat betul bagaimana guru ngaji saya sewaktu kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu shalat itu. Waktu zhuhur adalah saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke timur. Waktu Ashar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu sendiri. Waktu Maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. Waktu Isya’, sudah gelap malam. Dan Subuh adalah saat fajar shidiq, dimana warna benda sudah bisa dibedakan antara hitam dan putih.

Sekarang, kita sudah tidak menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan datangnya waktu shalat. Saya tidak pernah lagi menegakkan tongkat untuk mengetahui datangnya waktu Zhuhur atau Ashar. Demikian pula untuk Maghrib, Isya’ dan Subuh, saya hampir-hampir tidak pernah melihat ke langit untuk menaksir cahayanya. Saya sudah begitu percayanya kepada jam tangan, jam dinding, atau jam di handphone saya. Dan saya lihat, itu juga yang dilakukan oleh para muadzin, sebelum ia mengumandangkan adzan. Tradisi telah bergeser, tanpa meninggalkan substansi waktu shalat.

Ketika saya bermukim di Kairo, Mesir selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang masa kecil saya saat mengaji itu. Karena tradisi menegakkan tongkat untuk mengukur datangnya waktu shalat itu ‘ketemu batunya’. Saat Zhuhur datang, ternyata bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek. Melainkan sama panjangnya dengan tinggi badan saya. Dan arah bayangan itu tidak ke timur, melainkan agak ke utara. Karena, posisi matahari Mesir di musim dingin itu berada di Timur-Selatan.

Menurut pelajaran ngaji saya saat kecil, itu mestinya waktu Ashar. Tapi jam tangan saya menunjukkan pukul 12 siang. Dan ketika Ashar datang, sekitar jam 3 sore, bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, melainkan dua kali tinggi badan saya. Saya garuk-garuk kepala, karena pelajaran fiqih yang saya terima ketika kecil itu hanya bisa dijalankan di Indonesia. Dan tidak berlaku di Mesir. Apalagi di Eropa utara. Atau New Zealand ke selatan.

Karena, di Eropa utara keadaannya semakin runyam. Suatu ketika saya berkunjung ke Belgia untuk menghadiri konferensi Aeronautika atas undangan Menristek B.J. Habibie waktu itu. Di puncak musim panas, siang harinya lebih panjang dari malamnya. Waktu Maghrib datang sekitar jam sepuluh malam. Tentu saja, tradisi menegakkan tongkat itu tidak bisa berlaku lagi. Apalagi di Finlandia, dimana matahari tidak tenggelam sampai 23 jam, dan malam hari hanya berdurasi 1 jam. Atau, semakin parah di St Petersburg – kota kecil di utara Moskow – dimana matahari bisa tidak tenggelam selama 24 jam..!

Waktu shalat menjadi ‘kacau’ jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahari. Apalagi waktu puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh berpuasa 24 jam di Moskow dan sekitarnya, ketika musim panas datang. Karena menurut ‘fiqih tropis’, mestinya berpuasa itu dimulai saat matahari belum terbit, dan diakhiri setelah matahari terbenam. ‘’Mataharinya tidak terbenam, mas..!’’ Kata kawan saya Saipudin Zuhri, yang bekerja di KBRI Moskow. Tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku disini. ‘Fiqih tropis’ harus diadaptasi menjadi ‘fiqih sub tropis’.  Atau, bahkan ‘Fiqih luar angkasa’ ketika diterapkan kepada para astronout yang sedang bertugas di orbit bumi.

Karena jika tidak, ajaran Islam akan terjebak kepada tradisi masa lalu yang tidak bisa diterapkan lagi untuk umat manusia di zaman modern. Sehingga tidak heran, sahabat saya, mantan rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Bambang Guritno yang pernah bersekolah di Eropa mengatakan: ‘’Mas Agus, jangan-jangan orang-orang Eropa itu enggan masuk Islam karena takut disuruh berpuasa 24 jam..!’’ Kan runyam kalau begini pemahamannya.(Agus Mustofa-bersambung).


TAFAKUR RAMADAN (4)
oleh Agus Mustofa pada 23 Juli 2012 pukul 5:14 ·
~ PUASA RAMADAN ANTARA TRADISI & SAINS ~

Tentang perbedaan awal Ramadan kali ini, saya ingin mengemukakan pendapat salah seorang kawan. Ia mengatakan, bahwa perbedaan itu sebenarnya berujung pangkal  dari definisi hilal, yang memang berbeda. Ada yang mendefinisikan hilal secara tradisi, dan ada yang mendefinisikannya secara substansi. Jika didefinisikan secara tradisi, maka hilal adalah bulan sabit yang tampak oleh mata telanjang, seperti zaman Nabi SAW. Tetapi, jika hilal didefinisikan sebagai substansi, hilal adalah penanda datangnya ‘bulan baru’. Sehingga kemunculannya bisa dihitung dengan metode sains modern, tanpa harus mensyaratkan terlihat secara kasat mata.

Maka, sebagaimana penetapan waktu shalat, kita bisa memilih definisi tentang hilal. Jika waktu shalat dipahami secara tradisi, maka tidak bisa tidak, kita harus selalu melihat matahari setiap mau menjalankan shalat, sebagaimana Rasulullah melakukannya saat itu. Dalam hal puasa Ramadan, hilal harus terlihat kasat mata, tanpa ada kompromi apa pun. Termasuk jika awan tebal menutupi ufuk barat selama berhari-hari, sehingga hilal tidak kelihatan. Tetapi, jika kita memilih substansi bahwa hilal adalah penanda datangnya bulan Ramadan, maka kita sudah bisa memulai puasa Ramadan sesuai hasil perhitungan waktu secara saintifik, tanpa terikat penampakan hilal. Persis seperti penentuan waktu shalat yang cukup melihat jam sebagai hasil hisab ilmiah, tanpa harus melihat matahari.

Dalam konteks umat Islam di Indonesia, masalahnya memang bukan soal bisa melakukan perhitungan secara saintifik atau tidak. Karena semua pihak sudah sama-sama pintar menghitung posisi Bulan. Melainkan, pada ketidak-kesepakatan penentuan definisi hilal tersebut. Satu pihak mendefinisikan hilal secara tradisi, dan lain pihak mendefinisikan hilal sebagai substansi. Runyamnya, perbedaan yang mestinya sederhana dan bisa diselesaikan secara teknis ini, lantas merambah ke wilayah yang lebih politis dengan bumbu-bumbu ego pribadi atau ego kelompok, yang semakin ‘kusut’.

Maka, ketika hal ini masih belum bisa diselesaikan secara keumatan, saya mengusulkan agar umat Islam menjadi tahu duduk persoalannya secara pribadi terlebih dahulu. Agar sebagai individu, kita bisa mempertanggungjawabkan keputusan kita di hadapan Allah. Dan biarlah mereka yang punya kewenangan untuk memutuskan secara keumatan itu juga mempertanggung-jawabkan keputusannya kepada Allah, pada waktunya.

Umat Islam harus dipahamkan agar menjadi tahu duduk persoalannya. Dan tidak beragama secara ikut-ikutan belaka. Karena, pertanggungjawaban kita kepada Allah memang tidak berlaku rombongan. Melainkan sendiri-sendiri. Pemimpin mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, pengikut juga mempertanggungjawabkan keikutsertaannya secara personal. Bahkan, antara orang tua, anak, dan guru pun tidak menghadap Allah secara bersama-sama. Melainkan nafsi-nafsi.
                
Dan mereka semua akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah. Lalu berkata para pengikut kepada pemimpinnya: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu. Maka dapatkah kamu menghindarkan kami dari azab Allah barang sedikit? Para pemimpin itu menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami akan memberitahukan caranya kepadamu. Kita ini sama saja, mau mengeluh atau bersabar. Sedikitpun, kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." [QS. Ibrahim: 21]

Nah, dalam berbagai perhitungan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten kita tahu bahwa akhir bulan Sya’ban adalah sekitar 11.25 wib. Di seluruh Indonesia, hilal muncul pada ketinggian yang sangat tipis, tidak sampai 2 derajat. Dengan tingkat kecemerlangan di bawah satu persen. Dengan kata lain, hampir bisa dipastikan tidak tampak oleh mata telanjang. Semua pihak tidak ada yang berbeda pendapat tentang hasil perhitungan ini.

Tetapi, ternyata dari data yang sama ini bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Yakni, ketika digunakan untuk memutuskan awal berpuasa. Bukan awal Ramadan. Kalau, soal awal Ramadan semua berpendapat sama, bahwa bulan Sya’ban sudah habis pada Kamis, 19 Juli 2012. Dan 1 Ramadan jatuh pada Jum’at, 20 Juli 2012. Yang berbeda itu, sekali lagi, adalah ‘awal berpuasa’.

Ada yang berpuasa di tanggal 1 Ramadan (20/7), dan ada yang memulainya di tanggal 2 Ramadan (21/7). Dengan alasan masing-masing. Satu pihak mengikuti tradisi, di lain pihak berdasar pada substansi. Tentu saja, kita sebagai ‘pengikut’ harus pintar dan hati-hati mengikutinya, karena pertanggungjawaban kita kepada Allah itu ternyata bersifat sendiri-sendiri..! Semoga Allah membimbing kita semua di dalam ilmu dan Ridha-Nya.


* NOTES ini juga diterbitkan di Jawa Pos dan Kaltim Post di kolom TAFAKUR.


TAFAKUR RAMADAN (5)
oleh Agus Mustofa pada 24 Juli 2012 pukul 5:57 ·
~ MENGOMPROMIKAN HISAB DAN RUKYAT ~

Agar tafakur kita tentang penetapan awal Ramadan ini menghasilkan hikmah yang bermanfaat untuk umat, saya ingin memberikan usulan yang bersifat kompromistis dalam tulisan kali ini. Bahwa, penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan sebaiknya dimaknai secara terpisah. Bagaimana maksudnya?

Sesungguhnyalah yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini adalah rancunya antara ‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’. Awal bulan adalah permulaan ‘bulan baru’ yang ditandai oleh ijtima’ alias posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Ini sebenarnya murni wilayah Astronomi alias ilmu Falak. Dimana kedua belah pihak yang berbeda memiliki kesepakatan yang sama. Bahkan sudah sama-sama pintarnya.

Kesamaan itu terlihat dari kesepakatan: bulan Syakban berakhir pada hari Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Kalaupun ada, hanya berbeda tipis, dalam hitungan menit saja. Bukan jam, atau apalagi hari. Artinya, sudah ada pijakan yang sama dalam mendekati permasalahan. Kenapa bisa demikian? Karena, kesimpulan ini memang dibuat berdasar pada fakta posisi Bulan. Bukankah bulan tidak pernah berbohong? Dan, kita bisa sama-sama mengeceknya di angkasa. Inilah universalnya Sains, dalam hal ini Astronomi. Dilihat oleh siapa pun, dan dihitung oleh siapa pun hasilnya kurang lebih sama. Bahkan, jika yang melihat bulan itu adalah seorang non muslim sekalipun. Bedanya hanya dalam orde menit, atau bahkan detik disebabkan oleh metode penghitungan saja.

Perbedaan baru muncul, ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa: Jum’at (20/7) ataukah Sabtu (21/7)? Sebenarnya ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masuk wilayah Fikih. Wilayah Astronomi bersifat eksak, sedangkan wilayah Fikih bersifat lentur sesuai kondisi yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal Ramadan, fakta Astronomi yang eksak dan Fikih yang lentur itu jangan dicampur-adukkan. Karena, hasilnya akan sangat membingungkan.

Bagaimana Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya. ‘’Semua lembaga yang berkompeten SEPAKAT bahwa bulan Syakban habis pada KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Dan karena hilal tidak kelihatan, maka diputuskan dan ditetapkan bahwa 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012.’’

Secara fakta Astronomi kesimpulan semacam ini tidak memperoleh pijakan. Karena, Syakban adalah bulan ke-8 dalam penanggalan Hijriyah, dan Ramadan adalah bulan ke-9. Mestinya, tidak ada jeda hari antara Syakban dan Ramadan. Begitu Syakban habis, langsung masuk ke Ramadan. Lha ini, Syakban berakhir pada hari Kamis, tapi awal Ramadan jatuh hari Sabtu. Tidak heran, sejumlah kawan langsung me-SMS saya. Mereka bertanya: ‘’lho terus hari Jum’at itu ikut bulan Syakban, ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan, mas?’’

Logikanya memang menjadi ‘jumping’. Sangat sulit mencernanya. Apalagi ini wilayah ilmu Astronomi yang eksak, bisa langsung dicek ke angkasa. Logikanya, jika Kamis siang itu bulan Syakban sudah habis, sesaat kemudian sudah masuk bulan Ramadan. Jadi, bulan sabit yang kita rukyat pada Kamis sore itu sebenarnya adalah ‘hilal Ramadan’. Namun, karena usianya masih 6 jam, maka hampir bisa dipastikan hilal itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang demikian. Semua pihak yang berbeda pendapat pun pasti paham, bahwa hilal seumur 6 jam tidak mungkin terlihat. Sampai disini, semua sepakat.

Nah, perbedaan itu mulai muncul saat menentukan ‘awal puasa’. Ini sebenarnya sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu Fikih. Yang jika rujukan kondisinya berbeda, hasilnya bisa berbeda pula. Di wilayah Fikih inilah kita bisa memahami, ketika salah satu pihak memutuskan berpuasa di hari Jum’at, dan lainnya di hari Sabtu. Bagi yang berpedoman pada wujudul hilal, memutuskan permulaan puasanya Jum’at. Sedangkan bagi yang menganut ru’yatul hilal, memutuskan berpuasa Sabtu. Tidak ada masalah, karena rujukan Fikihnya sama-sama sahih.

Dengan demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi Astronomi dan Fikih yang kuat dan tegas, sehingga umat tidak bingung dibuatnya. Jika diumumkan ke masyarakat luas, barangkali redaksinya menjadi begini:
‘’Sesuai dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai lembaga yang berkompeten, bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi, karena ketinggian hilal masih sangat rendah, maka tidak ada yang berhasil merukyatnya. Oleh sebab itu, berdasar pada sunnah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan puasa Ramadan dimulai SABTU, 21 Juli 2012...’’

Clear. Secara Astronomi valid, dan secara fikih sah. Bahwa, lantas ada yang berbeda pendapat dengan pemerintah, dan memulai puasanya di hari Jum’at misalnya, tidak masalah. Sangat bisa dipahami, karena rujukan fikihnya juga jelas. Yakni, barangsiapa menyaksikan hadirnya bulan Ramadan hendaklah dia berpuasa QS. 2: 185. Astronomically, Jum’at itu memang sudah masuk 1 Ramadan 1433 H.

Dengan demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya benang kusutnya sudah mulai terurai. Dan sudah memperoleh titik temu. Lebih bagus lagi jika urusan Astronomi, diserahkan saja ke LAPAN atau BOSCHA. Sedangkan urusan fikih dipisah, diserahkan kepada MUI. Dan menteri agama hanya tinggal membacakan kedua fatwa itu kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan di tahun depan kita sudah bisa memperoleh solusi lebih baik. Karena, sungguh kita sudah sangat merindukan kebersamaan ini. Betapa indahnya, jika Ramadan dan Idul Fitri bisa bersama-sama dengan sahabat dan handai tolan..! Wallahu a'lam bishshawab.


* Notes ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos, dan koran anak-anak perusahaannya.


TAFAKUR RAMADAN (6)

oleh Agus Mustofa pada 25 Juli 2012 pukul 5:46 ·
~ BECERMIN KE MESIR SOAL ISBAT YANG LANCAR ~
Saat bermukim di Kairo, Mesir, saya sempat merasakan datangnya awal Ramadan, awal Syawal, dan lebaran Haji, di tahun 2010 . Penetapan awal puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha disana sangat ‘lancar, aman dan terkendali’. Karena itu, saya kira sangat pantas kalau kita belajar dari mereka. Apalagi kita tahu, Mesir dengan Al Azharnya adalah salah satu kiblat dunia dalam keilmuan Islam. Siapa tahu kita bisa memperoleh inspirasi dalam menyelesaikan ‘masalah abadi’ yang sangat khas Indonesia ini.
Hampir setiap terdengar perbedaan penetapan waktu ibadah di Indonesia, sejumlah kalangan di Mesir menanggapi dengan ‘senyuman aneh’. Mereka rupanya tidak bisa mengerti kenapa persoalan yang di Mesir sangat simple itu di Indonesia menjadi ‘hiruk pikuk’. Dimanakah letak masalahnya?
Menyongsong Ramadan, di Kairo suasananya sangat hangat. Bukan hangat oleh isu penetapan permulaan puasa, melainkan oleh semangat menyambut datangnya bulan mulia. Hampir di setiap jalan dan gang-gang mereka menyambutnya dengan lampu tradisional berwarna-warni yang dikenal dengan sebutan Fanus. Jauh-jauh hari mereka sudah tahu bahwa Ramadan akan jatuh tanggal sekian, karena sistem kalendernya memang sudah mapan.
Meskipun demikian, pemerintah memang juga mengadakan sidang isbat untuk menetapkan awal puasa. Namun, sidang itu berjalan sangat lancar, hampir-hampir tak ada masalah berarti. Pengumuman penetapan awal puasa di Mesir, sepertinya hanya menjadi ritual atau ‘selebrasi’, bagi permulaan ibadah bersama. Bukan ‘perjuangan hidup dan mati’ ala sidang isbat di Indonesia, yang sampai ada walk out segala.
Sore itu, saya sedang bertamu di rumah Minister Counselor KBRI, Pak Burhanuddin Badruzzaman. Obrolan kami, salah satunya, adalah tentang penetapan awal ibadah di Mesir. Dengan tertawa dia mengatakan bahwa di Mesir tak pernah ada ribut-ribut soal hilal. Juga tidak ada ribut-ribut soal perbedaan awal puasa maupun Idul Fitri. Apalagi soal lebaran Haji. ‘’Orang sini memandang kejadian di Indonesia itu sebagai kejadian aneh bin ajaib,’’ katanya lantas tertawa.
Kenapa di Mesir soal ini bisa sedemikian mapan? Ada tiga hal yang mendasarinya. Yang pertama, mereka menyerahkan persoalan kepada ahlinya. Soal penyaksian hilal diserahkan kepada lembaga Astronomi yang berkompeten. Dimana hasil perhitungan mereka sudah dipakai sebagai dasar untuk menyusun kalender Hijriyah Mesir. Sehingga, penguasaan terhadap masalah hilal itu memang sudah menjadi ‘makanan sehari-harinya’.
Meskipun demikian, menjelang akhir Syakban lembaga Astronomi Mesir tetap melakukan pengamatan di beberapa lokasi, termasuk observatorium terbesar di pinggiran kota Kairo: Helwan. Tak ada masyarakat awam yang boleh melakukan hal itu, karena bisa menimbulkan keraguan atas hasilnya. Berbeda dengan di Indonesia yang siapa saja boleh melakukannya asal di bawah sumpah. Sehingga ketika itu benar-benar terjadi - ada penduduk yang mengaku melihat hilal, dan masyarakat di kawasan itu memutuskan tarawih malam itu juga - malah memunculkan masalah tambahan.
Yang kedua, lembaga Darul Ifta’ di Mesir sangatlah berwibawa. Ini adalah lembaga fatwa semacam MUI di Indonesia. Isinya para ulama fikih Al Azhar, yang ketika itu diketuai oleh Dr Ali Jum’ah. Ia digelari sebagai Mufti Agung Mesir. Fatwanya sangat didengar oleh umat. Dengan berdasar pada hasil pantauan para ahli astronomi itulah Darul Ifta’ memberikan fatwanya, tentang kapan puasa mestinya dimulai. Sehingga tidak ada perbedaan tafsir atas data astronomi yang dihasilkan.
Sidang isbat dilakukan di kantor Darul Ifta’, dengan dihadiri oleh sejumlah tokoh pengambil keputusan. Prosesnya berlangsung sangat singkat dan tidak bertele-tele. Hampir-hampir seperti seremonial belaka. Tidak ada adu argumentasi yang berlangsung sengit seperti di sini. Setelah mendengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an, Grand Mufti langsung membacakan pengumuman dengan terlebih dahulu menyebutkan landasan keputusan tersebut. Yakni, berdasar pada data hilal dari lembaga astronomi yang diterimanya dan sejumlah ayat dan hadist yang menjadi rujukannya. Acara pun selesai. Dan kemudian ditutup dengan lantunan ayat suci al Qur’an kembali.
Hadir dalam sidang isbat itu, diantaranya adalah Grand Syekh Mesir yang diposisikan sebagai sesepuh umat Islam, gubernur Kairo yang mewakili Presiden Mesir, Menteri Kehakiman terkait dengan ketetapan tersebut sebagai produk hukum, dan menteri agama yang membawahkan bidang tersebut. Selebihnya adalah para ulama dan duta besar perwakilan berbagai Negara sahabat. Semua undangan itu hanya menjadi saksi atas penetapan awal Ramadan.
Faktor ketiga, yang menyebabkan pengumuman penetapan itu sedemikian lancar, adalah kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat. Dalam kondisi normal, pengumuman itu dilakukan oleh lembaga fatwa Darul Ifta’. Tetapi jika terjadi perbedaan, maka pemerintah akan turun tangan untuk menyatukan segala perbedaan. Karena, selain sebagai ibadah personal, puasa Ramadan dan Idul Fitri adalah ibadah yang bersifat sosial secara kolektif. Pemerintah berkepentingan untuk mengatur warga masyarakat agar suasana tetap kondusif.
Saya dan Pak Burhanuddin, waktu itu sempat berandai-andai, membayangkan betapa indahnya ya, jika proses seperti itu bisa terjadi di Indonesia. Kita bakal benar-benar bisa beribadah Ramadan dengan hati yang bersih. Dan menikmati indahnya Idul Fitri dengan hati yang suci..! Insya Allah.
* Notes ini dimuat di koran Jawa Pos dan koran-koran anak perusahaannya di berbagai kota.


TAFAKUR RAMADAN (7)

oleh Agus Mustofa pada 26 Juli 2012 pukul 7:44 ·
~ PUASA DI PERJALANAN, IKUTI JAM ATAU MATAHARI ~
Tiga hari menjelang bulan Ramadan, seorang kawan saya mengirimi SMS dari Amerika Serikat. SMS berbahasa Inggris itu kurang lebih berisi begini: mas Agus, saya dan anak saya sedang berada di kota Seattle. Kami berencana melakukan perjalanan ke Oklahoma naik mobil pada saat bulan puasa. Anak saya memutuskan berpuasa 13 jam saja, sesuai dengan paparan buku Anda: ‘Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari’. Tapi saya berencana berpatokan pada gerakan matahari, yang durasinya lebih panjang. Bagaimana pendapat Anda?
Saya katakan kepadanya, tidak ada masalah dengan keduanya. Baik berbuka mengikuti tenggelamnya matahari, maupun berbuka lebih awal. Karena keduanya memiliki pijakan yang jelas. Yang berbuka mengikuti matahari berdasar pada tradisi yang sahih, sedangkan yang berbuka sesuai perhitungan jam mengikuti substansi ibadah; yang akan saya jelaskan berikut ini.
Suatu ketika saya membawa jamaah umroh di bulan puasa. Berangkat dari Jakarta sekitar jam 1 siang, pesawat bergerak ke arah barat menuju Jeddah. Kecepatan pesawat itu rata-rata 1000 km/ jam. Karena bergerak ke arah barat, maka pesawat itu seperti sedang mengejar matahari. Kecepatan rata-rata matahari 1.600 km/ jam, sehingga pesawat itu pun tertinggal 600 km/ jam. Dampaknya, durasi siang menjadi lebih panjang 4-5 jam, karena mataharinya lebih lama terlihat.
Kejadian menariknya adalah saat perjalanan itu sudah menempuh waktu lima jam. Seorang jamaah umroh bertanya kepada saya: ‘’pak Agus, menurut jam tangan saya yang masih mengikuti waktu Jakarta, sekarang ini sudah jam 6 sore. Tetapi, saya melihat keluar jendela matahari masih terang. Bagaimana dengan puasa kita, apakah kami boleh berbuka ataukah harus menunggu matahari tenggelam?’’
Saya katakan kepadanya, ‘’Anda boleh berbuka sekarang mengikuti jam Jakarta.’’ Saya lihat matanya bersinar penuh tanda tanya. Dan, ia memang bertanya lebih lanjut: kenapa kok boleh berbuka sekarang?Bukankah berbuka harus ditandai dengan tenggelamnya matahari?, tegasnya. Saya menjawabnya demikian, karena ia memulai puasanya sahur di Jakarta, maka ia pun boleh mengakhirinya dengan berpedoman pada jam Jakarta juga. Lha wong tidak berpuasa saja boleh kok. Karena, ia sedang dalam perjalanan: sebagai musafir.
Jamaah umroh yang mendengar argumentasi saya ada yang bisa menerima, dan lantas berbuka. Tetapi, sebagiannya tidak mantap dengan penjelasan saya itu. Dan kemudian memutuskan untuk mengikuti matahari tenggelam saja. Sambil tersenyum saya katakan kepada mereka: ‘’Silakan bagi yang mau mengikuti matahari tenggelam’’. Jadilah sebagian jamaah itu berbuka, dan sebagiannya menahan diri menunggu tenggelamnya matahari.
Satu jam kemudian, jamaah yang menunggu tenggelamnya matahari itu melihat jam tangannya. Masih jam 19.00 wib. Dia melihat keluar jendela: sinar matahari terang menyinari langit. Dua jam kemudian, dia melihat jam tangannya lagi, sudah menunjukkan jam 20.00. Di luar jendela ternyata masih terang. Tiga jam kemudian, pukul 21.00, ia melihat keluar jendela lagi, juga tetap masih terang. Ia mulai gelisah. Dan empat jam kemudian, pukul 22.00 wib, ternyata langit masih terang. Saya lihat, ia sudah hampir tidak mampu menahan kegelisahan...
Untunglah, tak lama kemudian pramugari mengumumkan bahwa kota nun jauh di bawah pesawat sudah memasuki waktu maghrib. Beberapa jamaah itu hampir bersamaan berucap Alhamdulillah, tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Dibukanya jendela, tapi mereka terkejut, karena ternyata langit tetap masih terang..! Dengan wajah bingung, ia bertanya kepada saya, kenapa sampai waktu maghrib pun langit di luar jendela masih cukup terang.
Sambil tesenyum saya menjawab: ‘’tentu saja, karena kita sedang berada di ketinggian 40 ribu kaki alias 13 kilometer dari daratan. Sehingga, matahari masih kelihatan cukup terang.’’ Saya lantas menggodanya, ‘’apakah Anda benar-benar ingin berbuka setelah matahari tenggelam?” Sambil tersipu mereka pun memulai berbuka puasa.
Saya katakan lebih lanjut kepadanya, ‘’untung kita naik pesawat dengan kecepatan 1000 km/ jam. Seandainya pesawat ini bergerak dengan kecepatan 1.600 km/ jam, yakni sama dengan kecepatan matahari, maka kita tidak akan pernah menyaksikan matahari tenggelam, meskipun berhari-hari mengelilingi bumi.’’
Lebih parah lagi, kalau kita naik pesawat Concorde yang sudah grounded itu. Kecepatannya lebih dari 2000 km/ jam. Sehingga pesawat akan menyelip matahari yang kecepatannya hanya 1.600 km/ jam. Dan ketika matahari sudah terselip, berarti posisi matahari yang tadinya di barat pesawat, kini menjadi di timurnya. Artinya, lebih pagi dari saat berangkat. Semakin lama bukan semakin siang, melainkan semakin pagi. Kemudian ketemu waktu subuh, padahal, tentu saja, kita sudah shalat subuh di tanah air. Selanjutnya, bertemulah kita dengan waktu sahur. Semakin runyam, karena semakin jauh dari waktu berbuka..! Kok, jadi ‘kacau balau’ begini?
Yah, begitulah keadaan peradaban modern ini. Pergerakan manusia yang semakin mengglobal telah menembus batas-batas waktu konvensional yang selama ini kita jadikan patokan ibadah. Jika kita tidak melakukan adaptasi sesuai kondisi yang terus berkembang pesat ini, umat Islam benar-benar akan terjebak di masa lalu, dan sibuk berkutat dengan hal-hal yang tidak perlu. Wallahu a'lam bishshawab.

TAFAKUR RAMADAN (8)

oleh Agus Mustofa pada 28 Juli 2012 pukul 9:22 ·
~ TAHAJUD SIANG HARI, DUHUR MALAM HARI ~
‘Shalat adalah ibadah yang ditentukan waktunya’. Begitulah Allah berfirman di dalam Al Qur’an. Ayat ini memiliki multi-tujuan. Selain memberikan pedoman dalam menjalankan shalat, di dalamnya terkandung perintah agar umat Islam memahami soal waktu. Bahkan, di sebuah surat yang sering kita baca, Allah menjadikan waktu sebagai sumpah: wal ashri - demi waktu. Menunjukkan betapa pentingnya ‘waktu’ itu.
Terkait dengan penetapan waktu ibadah shalat, umat Islam di dunia internasional masih memiliki masalah yang sangat mengganjal. Dan saya masih sering memperoleh pertanyaan tentang itu. Terutama, dari kawan-kawan yang sedang melakukan perjalanan lintas waktu global – antar benua. Atau, yang bermukim di negara-negara sub-tropis.
Kawan saya – cerita di tulisan sebelumnya – yang sedang melakukan perjalanan dari Seattle menuju Oklahoma itu pun bertanya tentang hal ini. ‘’Mas, bagaimana saya menentukan waktu shalatnya. Seiring pergerakan matahari ataukah mengikuti jam saja. Lantas, berpedoman ke jam yang mana?’’ tanyanya, gundah.
Pertanyaan semacam itu, katanya sudah disampaikan ke beberapa kawannya yang dianggap mengerti, tapi belum terjawab secara tuntas, sampai ia membaca buku saya: ‘Tahajud Siang Hari, Duhur Malam Hari’. Beberapa jawaban yang ia terima, menganjurkan agar ia memanfaatkan saja ‘keringanan’ yang diberikan Al Qur’an, yakni dengan men-jamak-qashar shalat, dan mem-fidyah puasanya.
Jamak-qashar berarti mengerjakan dua waktu shalat dalam satu waktu saja. Misalnya, Duhur dan Ashar dikerjakan di waktu Duhur, atau boleh juga di waktu Ashar. Jumlah rakaatnya pun tidak usah empat-empat, melainkan cukup dua-dua. Demikian pula dengan Maghrib dan Isya’, Tiga rakaat dan dua rakaat. Sehingga shalat lima waktu hanya dikerjakan dalam tiga waktu saja. Sedangkan fidyah, adalah tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makanan kepada orang miskin.
Tapi, menurutnya, karena ia berada di negara lain itu dalam kurun waktu yang panjang, ‘’masa iya saya harus terus menerus melakukan jamak-qashar dan fidyah? Bukankah itu hanya berlaku sementara, beberapa hari saja? Saya di AS selama sebulan, untuk mengunjungi anak saya yang bersekolah disini,’’ paparnya. Pertanyaan semacam ini beberapa kali saya terima. Termasuk dari kawan saya yang bekerja di KBRI Moskow, Rusia.
Maka, saya menganjurkan mereka untuk mengacu kepada jam saja. Sama dengan yang terjadi di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Setiap shalat tak perlu lagi melihat posisi matahari. Cukup melihat jam tangan, atau jam dinding atau jam HP. Bahwa shalat Subuh di wilayah tropis adalah sekitar jam 4 sampai jam 5 pagi. Duhurnya, antara jam 12 sampai jam 3 siang. Asharnya jam 3 sampai jam 6 sore. Maghrib antara jam 6 sampai jam 7 petang. Dan Isya’ antara jam 7 sampai menjelang subuh.
Pertanyaannya adalah: bagaimana dengan musim panas yang waktu siangnya bisa jauh lebih panjang? Bisa saja, Maghrib baru masuk pukul 10 malam. Atau di tempat yang lebih utara lagi bisa jam 11 atau 12 malam. Atau, bahkan tidak tenggelam? Saya menganjurkan kepada kawan-kawan saya itu agar tidak mempersoalkan matahari lokal. Yang harus dilihat adalah matahari tropis, di garis bujur yang sama. Karena, di garis bujur yang sama itu semua kota di berbagai negara pasti memiliki jam yang sama. Cuma berbeda posisi mataharinya. Yang dijadikan patokan adalah kota di negara tropis dimana matahari bergerak secara seimbang, pada kawasan 23,5 derajat lintang utara, dan 23,5 derajat lintang selatan.
Contoh gampangnya begini. Jika di Surabaya sedang jam 12 siang, maka kota-kota di garis bujur yang sama adalah jam 12 siang juga. Di bagian utara adalah kota-kota di Cina, Mongolia, dan Rusia, semua yang segaris bujur sedang berada di jam 12 siang. Demikian pula di belahan selatan, mulai dari pantai barat Australia sampai ke Antartika. Bedanya, ketika di belahan utara Bumi sedang Musim Panas, maka di belahan selatan sedang musim dingin.
Yang di utara siangnya lebih panjang, sedangkan yang di selatan malamnya lebih panjang. Tapi semua kawasan yang segaris dengan Surabaya itu berada di jam 12 siang. Meskipun di belahan selatan sedang puncak musim dingin, dan langitnya gelap seperti malam hari, substansinya kawasan itu sedang berada di siang hari. Jadi, kalau mau shalat Duhur, tidak usah menunggu matahari musim panas yang baru datang beberapa bulan lagi. Laksanakan saja shalat Duhur pada ‘malam hari’ itu. Karena, sebenarnya, meskipun langit sedang petang, sesungguhnya itu adalah jam 12 siang..!
Demikian pula, pada saat tengah malam di Surabaya. Katakanlah sedang jam 12 malam. Kawasan-kawasan yang sedang mengalami puncak musim panas, pasti sedang terang benderang. Kalau Anda ingin shalat Tahajud, Anda tidak perlu menunggu sampai mataharinya tenggelam di musim dingin yang baru akan datang beberapa bulan lagi. Lakukan saja shalat Tahajud di ‘siang hari’ itu. Karena sesungguhnya, itu adalah jam 12 malam, cuma sedang dihadiri oleh matahari. Sehingga, terjadilah shalat Tahajud di siang hari, Duhur di malam hari..!
‘’… Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an…’’ [QS. Muzzammil: 20].
Wallahu a’lam bishshawab.



TAFAKUR RAMADAN (9)

oleh Agus Mustofa pada 29 Juli 2012 pukul 7:23 ·
~ WAKTU MUTLAK DAN PENANGGALAN RELATIF ~
Tanggal berapakah sekarang? Orang Indonesia menyebutnya tanggal 29 juli 2012. Orang Cina menamakannya, 11 Bing Shen 4710. Dan orang Arab mengatakan, 10 Ramadan 1433 H. Padahal harinya sama. Tetapi, kenapa kok tanggalnya berbeda? Itulah realitas. Waktu alam semesta bersifat mutlak, tetapi waktu manusia berbeda-beda, bersifat relatif.
Memang, kalender bersifat kesepakatan manusia. Bisa dalam komunitas kecil, atau bangsa, atau dunia internasional. Tiga macam kalender yang saya sebut diatas adalah tiga kalender besar dunia, yang masing-masingnya dianut oleh miliaran penduduk bumi. Kalender Masehi alias Gregorian dipakai secara internasional, antar bangsa dan negara. Kalender Cina dipakai oleh bangsa Cina dimana pun mereka berada. Demikian pula kalender Hijriyah dipakai oleh umat Islam di berbagai negara.
Perbedaan antara satu kalender dengan lainnya, terletak pada sistem penghitungan dan permulaan tahun pertamanya. Kalender Masehi menganut sistem solar yang berbasis pada peredaran bumi mengelilingi matahari, dan memulai awal tahunnya dari kelahiran Al Masih. Sekarang sudah berumur 2.012 tahun. Kalender Cina menggunakan dasar perhitungan terpadu antara sistem matahari dan bulan (lunisolar). Dan awal tahunnya dimulai dari masa pemerintahan kaisar Huang Ti. Usia kalendernya sudah 4.710 tahun. Sedangkan kalender Hijriyah berdasar pada perputaran bulan (lunar), dan dimulai dari saat hijrahnya Rasulullah SAW. Usia kalendernya sudah 1.433 tahun.
Untuk menyebut fakta alam yang sama, ternyata manusia menggunakan cara berbeda-beda, tergantung pada kepentingannya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi, masing-masing pengguna kalender tersebut sepakat bahwa kalender mereka berlaku internasional. Bukan hanya pada komunitas terbatas. Bahkan, semuanya ingin agar kalendernya dipakai sebagai pedoman internasional untuk menandai berbagai peristiwa.
Kalender Masehi adalah kalender yang paling global, dianut oleh hampir seluruh negara di dunia. Termasuk yang sudah punya kalender Cina dan Hijriyah. Sedangkan Kalender Cina terbatas di negaranya sendiri, dan para Cina perantauan yang masih ingin menjalin hubungan dengan bangsanya. Demikian pula kalender Hijriyah, berlaku di negara-negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudiyah, beserta umat Islam dimana pun berada, yang berkepentingan untuk menandai peristiwa-peristiwa keagamaannya. Diantaranya, puasa Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Semua itu, tentu saja, dimaksudkan agar pelaksanaan ibadah puasa, Idul Fitri dan Hari Raya Haji memiliki gaung syiar secara internasional.
Maka, jika terjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain dalam penetapan kalender Hijriyah, sebenarnya itu menyalahi tujuan dibuatnya kalender tersebut. Mestinya tidak mungkin berbeda, kecuali para penganut kalender itu tidak ingin kalendernya mendunia. Dan hanya berlaku lokal-lokal saja. Atau, bahkan hanya terkotak-kotak dalam komunitas kecil belaka. Kalender seperti ini bakal berakhir tragis – punah – karena penganutnya akan semakin sedikit, disebabkan konflik yang terus menerus muncul karenanya. Dan tidak bisa dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat.
Jadi, untuk apa dibuat kalender kalau tidak untuk disepakati dan ditaati, dimana negara-negara yang bertetangga pun bisa berbeda. Bahkan, di dalam negara yang sama pun, ternyata ada dua kalender Hijriyah. Keadaan semacam ini akan mendorong generasi selanjutnya lebih suka memilih kalender lain yang lebih praktis. Maka, kayaknya ada yang salah dengan penanggalan Hijriyah yang berbeda saat awal Ramadan itu. Dan tentu saja harus segera diselesaikan, karena bisa menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif secara syiar.
Itulah alasannya, kenapa saya lantas mengajukan solusi memisahkan ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’ Ramadan, seperti dalam tulisan sebelumnya. Karena, kalender Hijriyah di seluruh muka bumi ini harusnya sama. Kalau berbeda, menjadi aneh. Masa, di Arab Saudi dan Mesir tanggal 1 Ramadan, tapi di Indonesia tanggal 30 Syakban, misalnya. Padahal jarak antara Timur Tengah dengan Indonesia hanya 4-5 jam saja. Tentu, ada yang keliru dengan perbedaan ini. Kecuali, kedua kawasan itu berjarak 12 jam, sehingga berada di balik bumi.
Dengan memisahkan antara ‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’, persoalannya menjadi clear. Bahwa di setiap negara yang menganut kalender Hijriyah, pada hari yang sama tanggalnya pasti sama. Tetapi puasanya bisa saja berbeda, dikarenakan alasan fikih terkait penampakan hilal. Ada yang melakukannya lebih awal, dan ada pula yang lebih akhir. Saya kira – untuk sementara waktu – tidak menjadi masalah. Karena ada landasan yang jelas. Akan tetapi akan menjadi absurd, kalau di antara negara-negara penganut kalender Hijriyah itu sendiri berada di tanggal yang berbeda-beda. Segala interaksi administrasi internasional bakal ikut bermasalah.
Mudah-mudahan umat Islam di dunia Internasional – khususnya di Indonesia – segera menyadari hal yang sangat serius ini. Segeralah duduk bersama untuk membuat kalender Hijriyah yang disepakati bersama, karena dari sinilah bermula kerbersamaan umat. Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (10)

oleh Agus Mustofa pada 31 Juli 2012 pukul 6:18 ·
~ BERIJTIHAD MENCARI SOLUSI PERBEDAAN ~
Betapa nikmatnya bertafakur di bulan Ramadan. Apalagi bersama sejumlah pemikir Islam, yang tulisan-tulisannya tertuang di kolom Tafakur Jawa Pos ini. Kita memperoleh banyak hikmah dan pencerahan, serta arah yang jelas dalam menjalankan agama dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa ada beberapa perbedaan diantara buah pikiran tersebut, itu menjadi keniscayaan. Tetapi, justru disitulah Allah menaburkan hikmah dan rahmat-Nya.
Saya terkesan dengan tulisan Pak Said Aqil Siroj, ketua umum PBNU, kemarin, tentang perlunya umat Islam kembali kepada substansi ibadah puasa. Bahwa bulan suci ini harus dimaknai sebagai bulan perjuangan (syahrul jihad), bulan bertafakur (syahrul ijtihad), dan bulan berspiritual (syahrul mujahadah). Ini sungguh cocok dengan kolom Tafakur yang digagas Jawa Pos.
Maka sejak pertama tulisan saya dimuat di kolom ini, saya sudah berniat untuk mengajak pembaca Jawa Pos melakukan tafakur dan ijtihad dalam mencari solusi atas ‘masalah tahunan’ umat Islam dalam menyongsong Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Meskipun, sebagian kita berpendapat bahwa masalah ini adalah ‘masalah kecil’ yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi, saya justru melihatnya sebagai masalah yang memprihatinkan, sebagaimana disuarakan oleh jutaan umat Islam Indonesia secara diam-diam.
Saya khawatir, anggapan bahwa ini adalah hal kecil yang remeh temeh itu dikarenakan kita sudah ‘terbiasa’ menghadapinya selama bertahun-tahun. Sehingga hal yang menurut saya sangat serius ini kita anggap sebagai masalah kecil. Salah satu pengalaman yang membuat saya prihatin dan bahkan merasa malu, adalah ketika saya bermukim di Mesir ditertawai oleh sejumlah kalangan umat Islam disana.
Mereka merasa ‘aneh bin ajaib’ dengan adanya perbedaan awal waktu ibadah di Indonesia. Baik Ramadan, Syawal, maupun Dzulhijjah, sebagaimana telah saya bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu. Menurut mereka, mestinya hal itu tidak perlu terjadi. Rasa keumatan dan kebangsaan saya tersinggung, karena mereka menyebut-nyebut umat Islam Indonesia tidak mampu menyelesaikan ‘masalah kecil’ itu. Apalagi yang lebih besar.
Maka, dalam rangka menjembatani perbedaan ini, saya mengajukan usul yang oleh kawan saya dianggap agak aneh, yakni: memisahkan antara astronomi dan fikih dalam menentukan awal ibadah. Saya meyakini, hal tersebut bisa menjadi jembatan yang sangat berarti untuk mencari titik temu dari persoalan ini. Bahwa penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan itu seharusnya dipisahkan. Hal ini sebenarnya sudah diindikasikan oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat.
Di tulisan pak Said Aqil Siroj kemarin misalnya, dikutipkan rujukan kenapa kalangan NU mengambil sikap harus melakukan rukyatul hilal. Yakni, karena ada perintah sebagai berikut: ‘’Berpuasalah kamu berdasar melihat hilal (bulan), dan berlebaranlah kamu berdasar melihat bulan. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah.’’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu kita sangat menghargai rujukan yang bersifat perintah ini. Sebagaimana kita juga menghargai pendapat yang berbeda, yang merujuk kepada perintah ayat Qur’an: ‘’…barangsiapa menyaksikan datangnya bulan (Ramadan), hendaklah dia berpuasa di dalamnya.’’ [QS. Al Baqarah: 185].
Jadi, kedua belah pihak yang berbeda sebenarnya sama-sama berdasar pada perintah. Yang satu berdasar pada perintah hadits, yang lainnya berdasar pada perintah Al Qur’an. Yang satu berpatokan pada hilal alias bulan sabit yang terlihat mata, sedangkan yang lainnya berpatokan pada syahr alias bulan Ramadan yang ditandai oleh fase sesudah ijtima’. Tentu keduanya benar, sebagaimana dikatakan oleh pak Said Aqil Siroj, di tulisan tersebut. Karena itu, sebaiknya kita tidak usah mermpersoalkan fikih ibadah puasa ini lebih jauh.
Yang saya usulkan disini bukan sisi fikihnya, melainkan sisi Ilmu Falak alias Astronominya. Karena, secara astronomis, acuannya sangat jelas dan bisa dicek langsung di lapangan oleh seluruh penduduk Bumi. Sehingga mestinya tidak terjadi perbedaan. Baik yang muslim maupun yang bukan. Bahwa, Bulan itu memiliki fase-fase yang berbeda, diantaranya ada ‘bulan tua’ dan ‘bulan muda’. Pakar Ilmu Falak dari pihak-pihak yang berbeda pendapat sudah sama-sama mumpuni dalam hal ini, dan terbukti bisa memperoleh kesimpulan yang sama dalam menghitung ijtimak akhir Syakban: Kamis, 19 Juli 2012, sekitar pk.11.25 wib.
Maka, sebenarnya semua sudah tahu, bahwa setelah ijtimak alias konjungsi pastilah datang fase ‘bulan baru’, yakni bulan Ramadan. Penandanya, diantaranya adalah pada lengkungan bulan sabitnya. Pada ‘bulan tua’, lengkungan sabitnya ke arah kanan. Sedangkan pada ‘bulan baru’, lengkungan sabitnya ke arah kiri. Saya yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada perbedaan dalam hal ini bagi siapa saja yang mengerti Ilmu Falak.
Perbedaan itu memang bukan pada: sudah masuk atau belum masuknya bulan baru Ramadan, melainkan pada: kapan harus memulai puasa. Bagi yang mendasarkan awal puasanya dengan melihat hilal secara kasat mata, adalah benar untuk memulai puasanya di hari Sabtu, karena rujukan perintahnya memang begitu. Sebaliknya, bagi yang berpegang pada perintah agar berpuasa ketika syahr Ramadan sudah masuk, juga benar untuk memulai puasanya di hari Jumat, karena rujukannya juga demikian. Ini adalah perbedaan fikih alias khilafiyah yang tak perlu diperlebar lagi.
Sehingga, demi jalan tengah itu, saya lantas mengusulkan, mestinya redaksi penetapan ‘awal puasa’ Ramadan itu berbunyi begini: ‘’Semua pihak yang berkompeten sepakat bahwa bulan Syakban sudah berakhir hari Kamis, 19 Juli 2012, pk. 11.25 wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi karena hilal tidak kelihatan, maka sesuai sunah Rasulullah SAW kita memulai puasa esok lusa, di hari Sabtu.’’. Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (11)

oleh Agus Mustofa pada 1 Agustus 2012 pukul 7:10 ·
~ KETIKA BULAN BERPUTAR 12 KALI DALAM SETAHUN ~
Kalender-kalender besar seperti kalender Masehi, Cina dan Hijriyah semuanya sepakat, bahwa satu tahun berisi 12 bulan. Meskipun, dulunya kalender Masehi pernah hanya berisi 10 bulan, di zaman Romawi. Tetapi karena ‘kekacauan’ sistem penanggalannya, kalender ini pun lantas menggenapkan jumlah bulannya menjadi dua belas seperti sekarang.
Kalender Masehi dikenal sebagai kalender yang berbasis pada gerakan semu matahari. Yang kemudian diketahui sebagai gerak planet bumi berkeliling matahari sebagai pusat tatasurya. Satu putaran Bumi mengelilingi matahari itu adalah 365,25 hari, yang kemudian disebut sebagai satu tahun. Namun dalam prakteknya, satu tahun hanya berisi 365 hari. Sisanya yang 0,25 hari dikumpulkan setiap empat tahun sekali menjadi tanggal 29 Februari. Dikenal sebagai tahun kabisat.
Jumlah bulan dalam kalender Masehi adalah 12 bulan. Masing-masingnya berisi 28-29 hari pada bulan Februari, dan 30-31 hari pada bulan-bulan lainnya. Awalnya, jumlah hari dalam sebulan kalender Masehi adalah 29,5 hari sesuai perputaran bulan mengelilingi bumi. Tetapi sejarah mencatat, sejumlah penguasa di zaman masing-masing menambahi jumlah harinya seiring dengan kepentingannya, sehingga menjadi tidak sesuai dengan durasi perputaran Bulan terhadap Bumi. Karena itulah, kalender Masehi disebut sebagai kalender Matahari alias solar.
Ini berbeda dengan Kalender Cina yang sebulannya masih menggunakan 29,5 hari, meskipun setahunnya tetap berpatokan pada angka 365,25 hari. Karena sebulannya lebih pendek dari kalender Masehi, maka setiap tahunnya ada selisih sebelas hari antara Kalender Cina dan kalender Masehi. Yang kemudian dirupakan sebagai ‘bulan ke-13’ sebanyak tujuh kali dalam kurun waktu 19 tahun. Sehingga, jumlah rata-rata hari dalam setahun tetap mengacu pada periode matahari. Karena itulah, kalender Cina dikenal sebagai kalender Bulan-Matahari alias Lunisolar.
Kalender Hijriyah tidak menggunakan matahari sebagai patokannya, melainkan sepenuhnya mengacu kepada perputaran Bulan. Karena itu disebut sebagai kalender Bulan alias Lunar. Jumlah hari dalam setahun yang 354 hari, maupun durasi bulanan yang 29,5 hari sepenuhnya disandarkan pada perputaran bulan itu. Sehingga tidak seperti kalender Cina yang berusaha menyesuaikan bilangan hari dalam setahun dengan menyisipkan ‘bulan ke-13’, kalender Hijriyah memilih membiarkan saja perbedaan sebelas hari itu. Sehingga penanggalan Hijriyah terus menerus maju sebelas hari setiap tahunnya. Itulah kenapa, kok awal Ramadan dan Lebaran selalu bertambah maju dari tahun ke tahun.
Yang menarik, semua kalender itu menetapkan setahun berisi 12 bulan, yang mana ini sangat bersesuaian dengan informasi di dalam al Qur’an. Bahwa sejak saat penciptaan langit dan Bumi, Allah telah mendesain keterkaitan antara bilangan tahun dengan bilangan bulan. ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi…’’ [QS : At Taubah: 36].
Dalam fakta astronominya, ternyata terjadi sinkronisasi antara gerak semu matahari dengan gerak Bulan. Yakni, satu kali perputaran matahari mengelilingi Bumi setara dengan 12 kali Bulan mengelilingi Bumi. Itulah sebabnya, kenapa semua kalender akhirnya menetapkan setahun berisi 12 bulan. Manusia telah memperoleh patokan yang bersifat universal tentang pergerakan waktu yang bisa digunakan untuk menandai berbagai peristiwa yang terjadi. Dan lagi-lagi Al Qur’an memberikan petunjuknya tentang hal ini. Bahwa, Bulan dan Matahari diciptakan Allah, salah satunya, memang untuk menjadi patokan pergerakan waktu alam semesta.
‘’Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari serta bulan sebagai (pedoman) penghitungan (waktu). Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.’’ [QS. Al An’aam: 9].
Namun demikian, harus dipahamkan bahwa pergerakan‘waktu’ bukanlah disebabkan oleh perputaran benda-benda langit itu. Katakanlah, seandainya saja Bulan dan Matahari kita itu lepas dari orbitnya dan lenyap dari pandangan makhluk Bumi, ‘waktu’ bukan berarti ikut lenyap. Ia tetap saja berjalan menggiring usia kita menjadi lebih tua. Substansi waktu bukan terletak pada Bulan dan Matahari. Keduanya hanya berfungsi sebagai penanda alias patokan belaka.
Sehingga kalau Anda berkelana di ruang angkasa nun jauh disana, dimana Anda sudah tidak bisa berpatokan pada pergerakan Matahari dan Bulan, Anda masih akan bisa menandai perubahan waktu dengan menggunakan jam digital Anda..! Wallahu a'lam bishshawab.

TAFAKUR RAMADAN (12)

oleh Agus Mustofa pada 2 Agustus 2012 pukul 7:46 ·
~ SEHARI SETARA DENGAN LIMA PULUH RIBU TAHUN ~
Perhitungan waktu sangat bergantung kemana kita menyandarkan pedoman. Apakah berpatokan kepada Bulan, ke Matahari, ke Planet, atau benda-benda langit lainnya. Di era modern, perhitungan waktu sudah disandarkan kepada jumlah getaran atom. Sehingga disepakati, satu detik adalah setara dengan getaran atom Caesium-133 sebanyak 9.192.631.770 kali. Maka panjangnya waktu semenit, sejam, sehari, sebulan dan setahun adalah perkalian dari ukuran paling dasar ini.
Dengan menggunakan jam atomik, kita tidak bingung lagi menetapkan panjang waktu dimana pun berada. Jangankan hanya lintas benua, pergi keluar angkasa pun kita tetap bisa menggunakan patokan waktu itu untuk menandai berbagai kegiatan, termasuk ibadah shalat dan puasa. Besaran waktu mutlak alam semesta telah bisa diterjemahkan ke dalam waktu digital. Ini akan semakin mempermudah interaksi manusia dalam jarak jauh, dengan akurasi sampai sepersekian detik. Bukankah kalender dan jam memang diciptakan untuk memudahkan manusia melakukan interaksi, dan bukan untuk mempersulit serta memunculkan masalah baru?
Sebenarnyalah waktu itu bersifat relatif bergantung kepada posisi pengamat. Karena itu, kita bisa melakukan berbagai manipulasi dengan cara mengubah-ubah posisi pengamat, bahkan kecepatan pengamat. Di posisi yang berbeda, satu hari bisa memiliki makna berbeda. Katakanlah sehari di planet Venus ternyata berdurasi 243 hari Bumi, atau sekitar 8 bulan disini. Kalau dikonversi ke jam, sehari di planet Venus adalah setara dengan 5.832 jam, sementara itu di Bumi cuma 24 jam.
Kenapa bisa demikian? Karena, ‘sehari’ didefinisikan sebagai satu kali putaran benda langit terhadap sumbu rotasinya. Atau dalam bahasa awam, dimulai dari datangnya malam sampai ke malam berikutnya. Dikarenakan putaran planet Venus yang lambat, sehari disana menjadi sedemikian panjang. Bandingkan pula dengan planet Yupiter yang berputar lebih cepat, sehingga seharinya hanya berdurasi 9,8 jam. Tapi, setahunnya sangat panjang, yakni 4.329 hari. Padahal di Bumi hanya 365 hari.
Apa yang saya sampaikan di atas telah memberikan kesadaran baru, bahwa waktu alam semesta memang berjalan secara mutlak, tetapi ketika diobservasi oleh pengamat menjadi relatif. Karenanya, mesti dibuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan kemudahan kepada manusia secara kolektif agar bisa dijadikan patokan interaksi. Sebuah patokan yang bersifat global, bahkan universal.
Al Qur’an menginformasikan dalam berbagai ayat bahwa waktu memang relatif bergantung pada pengamat atau pelaku. Ada yang seharinya setara dengan seribu tahun. Seperti dijelaskan ayat ini: ‘’Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, yang kemudian naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu. [QS. Sajdah: 5].
Ada pula yang berkadar lima puluh ribu tahun, seperti yang terjadi pada para malaikat yang sedang bergerak naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya. ‘’Para malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.’’ [QS. Al Ma’arij: 4]
Dan lebih dahsyat lagi adalah sehari yang berkadar miliaran tahun, seperti yang diceritakan Allah terkait dengan penciptaan alam semesta. Bahwa, alam semesta yang sudah berusia 13,7 miliar tahun ini, menurut Al Qur’an, sebenarnya hanya setara dengan enam hari saja. ‘’Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari. Kemudian Dia bersemayam di ‘Arsy. (Dialah) Yang Maha Pemurah. Maka tanyakanlah kepada yang lebih mengetahui tentang Dia.’’
Bagaimanakah penjelasannya, sehingga waktu alam semesta bisa mulur-mungkret seperti itu? Saya ambil salah satu contoh saja, dari ayat-ayat tersebut. Yakni yang terjadi pada para malaikat, dimana seharinya bisa setara 50 ribu tahun. Relativitas waktu semacam ini, sebenarnya sangat dimungkinkan oleh teori Fisika Modern. Albert Einsteinlah yang menjelaskannya lewat teori relativitas waktunya. Bahwa segala sesuatu yang bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya akan mulur.
Nah, dalam terminologi agama Islam, malaikat disebut sebagai makhluk yang berbadan cahaya. Karena itu ia bisa melesat dengan kecepatan sangat tinggi: 300 ribu kilometer/ detik. Sehingga ketika dia naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya menjadi mulur, relative terhadap waktu manusia sebesar 50 ribu tahun.
Berapakah kecepatan malaikat saat itu? Anda bisa menghitungnya dengan menggunakan rumus relativitas waktu Einstein: T= To/[1-V^2/C^2]^(1/2). Dimana T adalah waktu malaikat. To adalah waktu manusia. V= kecepatan malaikat. Dan C = kecepatan cahaya. Dari perhitungan itu akan diperoleh angka kecepatan malaikat sebesar 0,9999999999999985 kecepatan cahaya. Artinya, mereka melesat dengan laju yang sudah sangat dekat dengan kecepatan cahaya.
‘’Demi (para malaikat) yang turun dari langit dengan kecepatan tinggi, dan yang mendahului dengan laju sangat kencang.’’ [QS. An Naazi’aat: 3-4].
Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (13)

oleh Agus Mustofa pada 3 Agustus 2012 pukul 6:41 ·
~ KETIKA ALAM MEREKAM PERBUATAN MANUSIA ~
Saat kecil, guru mengaji saya menceritakan bagaimana caranya malaikat Raqib dan Atid mencatat perbuatan manusia. Kedua malaikat itu, konon duduk di pundak kanan dan pundak kiri. Raqib mencatat segala amal kebajikan kita, sedangkan Atid mencatat perbuatan buruk. Kelak, kedua buku catatan itu akan diserahkan kepada Allah saat hari pengadilan.
Maka, tak terhindarkan, sejak itu saya selalu membayangkan ada makhluk seperti manusia yang sedang menduduki kedua belah pundak saya sambil membawa buku catatan dan ballpoint. Setiap orang punya dua malaikat, sehingga jumlah malaikat Raqib dan Atid itu sedemikian banyaknya. Sebanyak manusia yang pernah hidup di Bumi.
Ketika sudah aqil baligh, saya mulai mengritisi cerita-cerita semacam ini. Dan mencoba menelusuri dasar informasinya. Di dalam Al Qur’an saya menemukan ayat yang mungkin menjadi sumber cerita tersebut, tetapi dipahami dengan sudut pandang khas abad pertengahan yang konvensional seperti d iatas. Saya menyimpulkan, sebenarnya ayat tersebut kalau ditafsiri dengan sains modern akan memberikan hasil yang sangat jauh berbeda, dan mencerahkan.
‘’Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (Yakni) ketika sepasang malaikat mencatat amal perbuatannya. Yang satu berada di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada satu perkataan pun yang diucapkan melainkan ada pengawas yang selalu hadir’’. [QS. Qaaf: 16-18]
Malaikat adalah makhluk berbadan cahaya, yang bisa bergerak dengan kecepatan 300.000 km/ detik. Dengan kecepatan setinggi itu, malaikat bisa menempuh jarak berkeliling bumi dengan sangat singkat, yakni 0,13333 detik saja. Atau dalam satu detik bisa mengelilingi bumi sebanyak 7,5 kali. Karena itu, dari sisi kecepatan ini saja, sebenarnya kita tidak perlu membayangkan malaikat Raqib dan Atid terus menerus duduk di pundak manusia untuk mengawasinya. Hanya dalam orde sepersekian detik mereka bisa meng-cover semua penduduk Bumi.
Apalagi, jika kita mengaitkan dengan relativitas waktu, sebagaimana saya jelaskan dalam tulisan yang lalu. Bahwa karena laju geraknya mendekati kecepatan cahaya, maka waktu malaikat itu menjadi mulur: seharinya setara dengan lima puluh ribu tahun. Artinya, jika sang malaikat itu mengawasi kita dalam satu hari ‘versi malaikat’, sebenarnya peradaban manusia sudah bergerak selama lima puluh ribu tahun. Jadi, ngapain kita membayangkan malaikat secara tradisional selalu nempel di kanan-kiri kita.
Dari sisi saintifik, kita juga bisa menjelaskan adanya rekaman perbuatan oleh alam semesta. Bahwa alam ini sebenarnya merekam seluruh aktifitas penghuninya. Ada tiga macam lokasi rekaman itu. Yang pertama ada di otak kita, sebagai memori alias ingatan. Karena rekaman itulah, Anda bisa mengingat berbagai peristiwa yang Anda alami. Dan bukan hanya Anda yang mengingat peristiwa itu, melainkan juga orang-orang dekat Anda yang hadir dalam peristiwa tersebut.
Yang kedua, adalah genetika kita. Sistem informasi genetika yang berada di dalam inti sel tersebut selalu merekam segala informasi yang melibatkannya. Perbuatan yang terjadi berulang-ulang akan terekam di dalam genetika, sebagai kecerdasan genetik. Sehingga tubuh kita menjadi memiliki kebiasaan merespon kejadian secara khas. Mulai dari tingkat molekuler, seluler, sampai pada tataran organik secara utuh. Karakter dan bahasa tubuh yang khas pada setiap orang adalah perwujudan dari rekaman genetik itu. Dan, kelak rekaman genetik ini bisa menurun kepada anak-anaknya sebagai kecenderungan khas terhadap sesuatu. Termasuk diwariskannya penyakit tertentu.
Yang ketiga, adalah rekaman alam semesta. Dalam sudut pandang fisika gelombang, tubuh maupun alam sekitar kita ini tak lebih hanyalah lautan energi alias samudera frekuensi. Tubuh kita, mulai dari pikiran, perasaan, denyut jantung, dan triliunan sel tubuh semuanya bekerja secara kelistrikan yang menghasilkan frekuensi elektromagnetik. Sehingga tubuh kita selalu memancarkan medan elektromagnetik itu kemana-mana. Setiap berbuat apa pun, pada dasarnya kita melakukan perubahan medan elektromagnetik yang menyelimuti tubuh kita.
Nah, perubahan medan itulah yang direkam oleh alam sekitar. Sebagai ilustrasi, dimana pun Anda berada, disitu sebenarnya terdapat gelombang radio atau televisi dari berbagai belahan dunia. Ada CNN, Al Jazirah, ABC, BBC dan lain sebagainya. Gelombang itu telah menempuh jarak ribuan kilometer, dan tidak pernah lenyap. Mereka tetap ‘mengambang’ di alam semesta, dan bisa ditangkap dimana pun kita berada, dengan menggunakan peralatan yang sesuai.
Kalau seseorang tidak bisa menangkap atau melihat gelombang itu, masalahnya bukan karena gelombang itu tidak ada. Melainkan, karena ia tidak menggunakan alat yang tepat. Misalnya menggunakan antena biasa. Cobalah menggunakan antena parabola dengan kualitas terbaik, maka berbagai macam gelombang yang berseliweran di sekitar kita pun akan bisa dideteksi semua.
Suatu saat nanti, sangat boleh jadi, bakal diketemukan teknologi yang bisa menangkap gelombang dari berbagai kejadian yang sudah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Itu bukanlah angan-angan yang tidak mungkin terjadi. Persoalannya, hanyalah seberapa bagus kualitas peralatan yang kita gunakan untuk memutar kembali rekaman alam semesta itu..! Maka, betapa mudahnya kelak Allah mengadili manusia, karena segala perbuatannya memang sudah terekam oleh lingkungan sekitar dimana pun ia berada..! Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (14)

oleh Agus Mustofa pada 4 Agustus 2012 pukul 6:58 ·
~ REKAMAN ITU DIPUTAR DI HARI PENGADILAN ~
Al Qur’an bercerita tentang adanya hari pengadilan kelak. Saat itu manusia akan menerima balasan atas segala kebaikan maupun kejahatannya. Dalam cerita klasik, kita diberi gambaran tentang proses pengadilan yang berjalan secara manual. Didatangkan saksi-saksi, dan diberikan buku amalannya, serta dikalkulasi neraca pahala dan dosanya.
Namun kalau kita mau mencoba memahaminya secara saintifik, kita bakal memperoleh gambaran yang lebih menakjubkan terhadap peristiwa itu. Bahwa pengadilan itu akan berlangsung dengan sangat modern, dikarenakan adanya rekaman alam semesta terhadap segala perbuatan kita. Seluruh rekaman perbuatan kita bakal diputar ulang untuk kita saksikan sendiri. Baik yang ada di dalam otak kita, di untaian genetika sel-sel kita, maupun di alam semesta.
Ingatan di otak yang sudah terpendam lama pun bakal dibuka oleh-Nya. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat berikut ini, bahwa saat itu manusia akan bisa mengingat segala perbuatannya dengan jelas. ‘’Pada hari itu ditampakkan segala rahasia’’ [QS. Ath Thaariq: 9] ‘’ Pada hari itu manusia teringat segala yang telah dikerjakannya.’’ [QS. An Naazi’aat: 35].
Ya, tidak ada lagi rahasia karena hasil rekaman seluruh perbuatan bukan hanya bisa kita ingat secara personal, melainkan akan diungkapkan kepada khalayak secara terbuka. Bahkan disertai saksi-saksi yang terkait dengan peristiwanya. ‘’ …. Hari kiamat itu adalah hari dimana semua manusia dikumpulkan untuk (diadili). Dan hari itu adalah hari yang disaksikan (oleh siapa saja). [QS. Huud: 103].
Ibarat sebuah komputer dengan kemampuan tak terkira besarnya, yang layarnya bisa menampilkan windows secara multi-tasking. Rekaman seluruh manusia bisa diakses sendiri-sendiri, maupun diakses bersama-sama. Layarnya adalah ruang tiga dimensi dimanapun kita berada, seperti saat menonton film hologram.
Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya Tuhannya. Dan diberikanlah kitab (hasil rekaman perbuatan mereka). Dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi serta diberi keputusan diantara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. [QS. Az Zumar: 69]
Proses pengadilan bakal berlangsung sangat cepat dan modern. Bukan seperti jalannya pengadilan konvensional, satu per satu dan menghabiskan waktu yang sangat lama. "Bacalah kitabmu. Cukuplah dirimu sendiri yang menghitung segala perbuatanmu, pada hari ini." [QS. Al Israa’: 14].
Alam semesta memang sudah merekam segala peristiwa yang terjadi di dalamnya dari detik ke detik. Rekaman itu terjadi dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang ‘mengambang ‘ di semesta, dimana pun kita berada. Setiap perbuatan kita, ternyata tak lebih dari dinamika medan gelombang elektromagnetik yang memunculkan ‘bekas-bekas’ pada ruang alam semesta. Ibarat kita sedang merekam sebuah aksi drama ke dalam keping VCD atau DVD saja layaknya.
Kenapa sekarang kita belum bisa melihatnya? Karena kemampuan mata kita saja yang terbatas. Namun, ketika tabirnya dibuka oleh Allah, manusia bakal bisa melihat dan mendengar dengan jelas seluruhnya. Hal itu diinformasikan oleh Al Qur’an: ‘’Sesungguhnya, kamu berada dalam keadaan lalai dari hal ini. Maka Kami singkapkan tabir dari pandangan matamu, sehingga penglihatanmu pada hari itu amatlah tajam.’’ [QS. Qaaf: 22].
‘’Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami. Tetapi orang-orang zalim pada hari ini berada dalam kesesatan yang nyata.’’ [QS. Maryam: 38].
Maka, sungguh benar firman Allah, bahwa setiap saat kita selalu diawasi oleh dua malaikat yang kita kenal sebagai Raqib dan Atid itu. Dimana pun kita berada tak pernah tak diawasi. Di dalam kamar saat sendirian. Di tempat kerja dalam ruang yang tertutup. Di hotel-hotel dan tempat pertemuan rahasia. Allah selalu mengawasi kita lewat mekanisme optikal yang sangat canggih. Bahkan, bisikan hati kita pun telah didengar-Nya, karena sesungguhnya Dia sudah begitu dekatnya dengan diri kita. Lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
''Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.’’ [QS. Qaaf: 16]. Wallahu a’lam bishshawab.

TAFAKUR RAMADAN (15)

oleh Agus Mustofa pada 5 Agustus 2012 pukul 6:29 ·
~ DI DALAM SURGA & NERAKA SELAMA MILIARAN TAHUN ~
Hanya orang-orang yang layak masuk surga saja yang bakal masuk surga. Dan hanya mereka yang pantas masuk neraka sajalah yang bakal masuk neraka. Allah tidak pernah menganiaya atau merugikan hamba-hamba-Nya sedikit pun. Begitulah, Firman Allah di dalam kitab suci-Nya.
Surga dan neraka itu diberikan Allah sebagai balasan atas perbuatan kita selama hidup di dunia. Dan semua itu, bukan ditentukan dengan sewenang-wenang. Melainkan berdasarkan hisab atas segala amalan yang tercatat di dalam rekaman sejarah hidup kita. Tidak ada yang disembunyikan sedikit pun, walau hanya sebesar partikel sub atomik. Diistilahkan dengan ditegakkan-Nya mizan alias timbangan keadilan.
'‘Pada hari itu manusia keluar dari dalam kuburnya dalam keadaan bermacam-macam. Agar diperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat partikel, niscaya dia akan menyaksikannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar partikel, pasti dia pun akan menyaksikannya pula.’’ [QS. Al Zalzalah: 6-8]
‘’Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah (partikel), dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.’’ [QS. Ali Imran: 40].
Begitulah Allah memberikan balasan sesuai dengan amalan kita sendiri. Dan setiap orang tidak menanggung dosa atau pahala orang lain, kecuali dia memang terlibat di dalamnya. Maa kasabat, wa’alaiha maktasabat – berbuat baik kembali kepadanya, berbuat jahat juga bakal kembali kepadanya. Sangat tegas, informasi didalam Al Qur’an.
Terkait dengan surga dan neraka ini, kebanyakan umat Islam berpendapat bahwa setiap orang yang masuk neraka, kelak akhirnya akan masuk surga juga. Yakni setelah dibersihkan dosa-dosanya. Sayangnya, saya cari di dalam Al Qur’an pendapat ini tidak ada pijakannya. Tidak ada satu pun ayat Qur’an yang menceritakan bahwa orang yang dosanya lebih banyak dari pahalanya bakal dimasukkan surga. Meskipun, itu terjadi setelah ‘dicuci’ di dalam neraka.
Yang ada malah sebaliknya, orang yang berdosa bakal selama-lamanya di dalam neraka. Bahkan, digambarkan sampai lenyapnya langit dan bumi. Sebagaimana juga, orang yang baik bakal dimasukan ke dalam surga selama-lamanya, sampai lenyapnya langit dan bumi.
Adapun orang-orang yang berdosa, maka (tempatnya) di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. [QS. Huud: 106-108]
Berapa lamakah alam semesta ini akan tetap ada? Dalam perhitungan Astronomi diperkirakan belasan milyar tahun. Sekarang saja usia alam semesta sudah sekitar 13,7 milyar tahun. Jika prediksi Astronomi benar, bahwa alam semesta bakal mengerut lagi menuju kehancurannya kelak, maka diperkirakan proses kehidupan di alam akhirat itu bakal berlangsung sekitar belasan milyar tahun pula. Yakni di fase alam semesta yang sedang mengerut itu. Lebih detil saya telah menulisnya di dalam buku saya yang berjudul: ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’.
Tidak ada cerita di dalam Al Qur’an bahwa orang yang dosanya telah dicuci di neraka bakal bisa masuk surga. Sebab jika demikian mekanismenya, kita semua seharusnya masuk neraka dulu untuk dicuci, karena tidak ada satupun diantara kita yang tidak berdosa. Dan lantas, baru masuk surga setelah bersih. Bukan, bukan begitu mekanismenya..! Melainkan, semua kita dilewatkan ‘pengadilan’ terlebih dahulu. Ditimbang bobot dosa dan pahalanya.
Meskipun banyak dosa, kalau kebajikan kita lebih banyak, insya Allah kita tidak perlu masuk neraka. Langsung ke surga. Sebaliknya, meskipun kebajikan kita banyak, tetapi dosa kita lebih banyak lagi, kita tidak bakalan masuk surga, melainkan langsung ke neraka. Sampai berapa lama? Sampai lenyapnya langit dan bumi: belasan milyar tahun..!
Jadi, betapa mengerikannya gambaran Al Qur’an tentang kehidupan akhirat itu. Terutama bagi mereka yang berdosa dan mendapat balasan neraka. Karena mereka bakal berada di dalamnya selama milyaran tahun, tanpa bisa keluar lagi. Kecuali dia sudah bertaubat sebelum saat meninggalnya.
Dengan berita ini, bukan berarti Allah kejam. Tetapi, ingin memotivasi kita dan mendisiplinkannya agar senyampang usia masih ada, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya. Berlomba-lomba untuk mengompensasi dosa-dosa yang sudah kita tumpuk-tumpuk sepanjang usia kita. Jangan sampai, dosa Anda lebih banyak dari pahalanya. Karena, Allah Maha Adil, dan tak akan melewatkan mizan alias neraca amalan kita meskipun hanya seberat partikel sub atomik.
Dan jika Anda merasa dosa-dosa Anda sedemikian banyak melebihi kebajikan yang telah Anda perbuat, bersegeralah datang kepada-Nya untuk bertaubat dan memohon ampunan. Karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Apalagi di bulan Ramadan yang penuh maghfirah ini. Jika pertaubatan Anda diterima-Nya, insya Allah tempat Anda adalah surga yang penuh bahagia. Tak perlu diragukan lagi,karena itu adalah janji dari Sang Penguasa Jagat SemestA.
‘’Dan bersegeralah kamu kepada AMPUNAN Tuhanmu dan kepada SURGA yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa...’’ [QS. Ali Imran: 133].
Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (16)

oleh Agus Mustofa pada 6 Agustus 2012 pukul 5:33 ·
~ BERPUASA MENYONGSONG TURUNNYA AL QUR’AN ~
Kenapakah umat Islam menjalankan puasa di bulan Ramadan? Apakah penyebabnya? Seorang kawan menjawab: ‘’supaya kita menjadi orang yang bertakwa’’. Ia pun lantas mengutip QS. Al Baqarah: 183: ‘’Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu AGAR kamu BERTAKWA.’’
Saya katakan, jawaban itu belum tepat. Karena ‘agar bertakwa’ itu bukan ‘penyebab’. Melainkan ‘akibat’. Jika kita berpuasa dengan baik dan benar, akibatnya kita akan menjadi orang yang bertakwa – memiliki kontrol diri yang bagus.
Kawan saya lainnya ikutan menjawab: ‘’supaya menjadi sehat.’’ Dia pun mengutip hadits Rasulullah SAW: Shuumu tashiihu – berpuasalah maka kamu bakal sehat. Saya katakan lagi, ‘’supaya sehat’’ itu pun bukan ‘penyebab’, melainkan ‘akibat’. Siapa saja berpuasa dengan baik dan benar, insya Allah, (akibatnya) dia akan menjadi lebih sehat.
Keduanya – takwa dan sehat – adalah akibat dari berpuasa, karena menggunakan kata sambung ‘agar’ dan ‘supaya’. Ada hal lain yang menjadi penyebab utama kenapa umat Islam disuruh berpuasa pada bulan Ramadan. Yakni, disebabkan oleh turunnya al Qur’an sebagai petunjuk di dalam bulan suci itu. Dasar ayatnya adalah QS. Al Baqarah: 185.
‘’Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu. Serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). KARENA ITU, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan itu, HENDAKLAH ia BERPUASA di bulan tersebut...’’
Nah, kata sambung ‘karena itu’ dalam ayat di atas menunjukkan ‘penyebab’. Bahwa, umat Islam diperintahkan untuk berpuasa disebabkan oleh turunnya Al Qur’an. Bukan oleh sebab yang lain-lain. Karenanya, adalah sebuah ‘kekeliruan besar’, jika ada orang yang berpuasa Ramadan tidak rajin membaca Al Qur’an. Dia menyalahi latar belakang turunnya perintah puasa Ramadan.
Bukan hanya membaca Al Qur’an secara formalitas belaka – asal khatam bolak-balik – melainkan harus sampai memperoleh petunjuk dari dalamnya. Sebab, ayat tersebut jelas-jelas memberikan arah, bahwa Al Qur’an yang diturunkan di bulan Ramadan ini berisi petunjuk. Bahkan, lebih jauh, harus sampai memperoleh al furqan alias ‘pembeda’. Sebuah ungkapan implisit, bahwa seseorang yang sudah memperoleh petunjuk itu mestinya bisa ‘tampil beda’ dalam kehidupan sehari-harinya. Bukan menjadi follower, tetapi menjadi trend setter.
Dengan kata lain, seseorang yang menerapkan ajaran Al Qur’an dalam hidupnya ia akan mempunyai pegangan kokoh yang menjadikannya sebagai pioner yang mencerahkan. Menjadi agen perubahan. Bahkan menjadi teladan. Tapi, kenapa banyak orang islam yang belum bisa menjadi pioner, agen perubahan, dan teladan? Jawabnya sederhana: berarti ia belum memperoleh petunjuk dari dalam Al Qur’an. Barangkali, membacanya hanya sebatas formalitas. Khatam bolak-balik tapi tidak paham maknanya. Apalagi menjalankan dalam kehidupan sehari-sehari.
Misal: Al Qur’an mengajarkan kejujuran, dan kita sudah khatam bolak-balik membaca ayat-ayat tentang kejujuran itu, tetapi dalam kehidupan sehari-hari banyak diantara kita yang tidak jujur. Al Qur’an mengajarkan keadilan, dan kita berkali-kali mengutipnya, tapi setiap hari kita tidak berlaku adil. Al Qur’an mengajarkan berpolitik yang Islami, tetapi akhlak berpolitik kita amburadul. Dan seterusnya, banyak ketidakcocokan antara petunjuk Al Qur’an dengan perilaku kita, dalam berbudaya, berekonomi, berpendidikan, berumah tangga, bermasyarakat, dan lain sebagainya.
Maka, bulan Ramadan adalah bulan membaca al Qur’an sampai paham. Bukan hanya soal khatam. Apalagi, dengan cara ‘rombongan’ yang dilakukan paralel berbagi-bagi juz, dengan maksud bisa menyelesaikan khataman berkali-kali. Sampai-sampai, membacanya seringkali dengan ‘kecepatan tinggi’, yang menyalahi petunjuk di dalam Al Qur’an itu sendiri. Bahwa membaca Al Qur’an mesti dilakukan dengan tenang – tidak boleh cepat-cepat – dan sambil merenungkan isinya secara mendalam.
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menyelesaikan)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menghimpunkan (pengertian)-nya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasan (isi)nya. [QS. Al Qiyaamah: 16-19]
Dengan cara ini, umat Islam akan memperoleh hikmah yang luar biasa banyaknya dari dalam Al Qur’an sebagai kitab petunjuk. Dan lantas melatihnya selama bulan Ramadan dengan puasa yang baik dan benar. Puasa yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Melainkan puasa yang bisa mendidik jiwa-raga kita menjadi lebih sehat dan bertakwa. Hasilnya, insya Allah, seusai Ramadan umat Islam bakal memperoleh al furqaan yang menjadikannya sebagai pribadi yang ‘tampil beda’. Bahkan, menjadi agen perubahan menuju arah yang lebih baik bagi masyarakatnya. Sungguh bangsa ini butuh orang-orang yang seperti itu..! Wallahu a’lam bishshawab.



TAFAKUR RAMADAN (17)

oleh Agus Mustofa pada 7 Agustus 2012 pukul 5:43 ·
~ KENAPA DI MESIR & ARAB TAK ADA NUZULUL QUR’AN ~
Tanpa terasa bulan Ramadan sudah berada di pertengahan. Di sekitar tanggal 17 Ramadan umat Islam Indonesia banyak yang memperingati Nuzulul Qur’an. Bukan hanya di masjid dan komunitas-komunitas pengajian, melainkan sampai ke berbagai lembaga dan instansi, bahkan istana negara. Namun, yang membuat saya merasa aneh, peringatan Nuzulul Qur’an itu tidak terdapat di Mesir dan berbagai negara Arab, termasuk Saudi Arabiya.
Bagi yang pernah berumrah di bulan Ramadan, mestinya mengetahui hal itu. Tidak ada peringatan Nuzulul Qur’an di Mekah maupun Madinah. Demikian pula bagi yang pernah berkunjung ke Mesir dan negara-negara Arab lainnya, tidak menemukan adanya peringatan turunnya kitab suci tersebut. Kalaupun ada, sebagaimana saya lihat di Mesir, juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Jadi, peringatan 17 Ramadan sebagai Nuzulul Qur’an itu rupanya khas Indonesia.
Saya coba untuk menelusurinya dari berbagai sumber, khususnya dari Firman-Firman Allah sebagai sumber paling otentik dalam khazanah keilmuan Islam. Ternyata saat-saat turunnya Al Qur’an itu diceritakan dalam beberapa redaksi. Yang pertama, turunnya Al Qur’an disebut berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni selama hampir 23 tahun. Allah menceritakannya dalam ayat berikut ini.
‘’Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.’’ [QS. Al Israa’: 106]. Ini cocok dengan berbagai data sejarah yang menunjukkan bahwa kitab suci umat Islam itu memang diturunkan secara bertahap, sejak dari gua Hira’ di awal masa kenabiannya sampai saat beliau menjalankan haji perpisahan alias Haji Wada’, beberapa waktu sebelum wafatnya.
Yang kedua, Al Qur’an juga menyebut kitab suci itu diturunkan di bulan Ramadan. Ayat yang sering kita baca saat Ramadan itu bercerita demikian: ‘’Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...’’ [QS. Al Baqarah: 185]
Yang ketiga, Al Qur’an juga menginformasikan bahwa turunnya Al Qur’an itu adalah pada sebuah malam yang mulia, di dalam bulan Ramadan, yang kita kenal sebagai Lailatul Qadr. ‘’Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu (memiliki nilai) lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.’’ [QS. Al Qadr: 1-6].
Dan yang keempat, yang kemudian menjadi dasar diadakannya peringatan Nuzulul Qur’an di Indonesia, adalah ayat berikut ini. ‘’Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil; jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan (hari kemenangan). Yaitu, hari bertemunya dua pasukan (saat perang Badar). Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’’ [QS. Al Anfaal: 41]
Ayat ini sebenarnya bercerita tentang kemenangan umat Islam dalam perang Badar, dan pembagian rampasan perang kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim, serta mereka yang membutuhkan pertolongan dari harta benda tersebut. Tetapi, dikarenakan disitu ada kata kalimat ‘’...apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan...’’, lantas ada sejumlah penafsir yang mengaitkannya dengan turunnya Al Qur’an. Dan, karena perang Badar itu terjadi tanggal 17 Ramadan, maka disimpulkanlah turunnya Al Qur’an pada tanggal tersebut.
Padahal, menurut saya, itu sangat spekulatif. Yang lebih cocok, ‘Hari Furqaan’ itu dimaknai sebagai ‘Hari Pembeda’ alias ‘Hari Kemenangan’ umat Islam atas kaum Quraisy yang memeranginya. Disinilah rupanya asal muasal terjadinya distorsi pemahaman tentang peringatan Nuzulul Qur’an. Dan itu sudah berlangsung selama puluhan tahun, tanpa ada yang menyorotinya.
Jika demikian, lantas kapankah Al Qur’an itu diturunkan Allah kepada manusia? Ayat-ayat lain dalam Al Qur’an bercerita, bahwa kitab suci itu diturunkan berangsur-angsur selama 23 tahun, dan kemudian dibukukan sebagaimana mushaf Qur’an yang sudah diperbanyak miliaran copy itu. Sedangkan khusus di bulan Ramadan, Allah memang bakal menurunkan hikmah-hikmahnya kepada para pengkaji Al Qur’an yang intensif melakukannya sambil berpuasa Ramadan.
Itulah kenapa, ayat pertama dalam surat Al Qadr itu menggunakan kata kerja lampau (fiil madzi – past tense): ’’Sesungguhnya Kami TELAH menurunkan Al Quran pada malam kemuliaan.’’ Tetapi di ayat 5: ‘’ Pada malam itu (selalu) TURUN para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan’’, Allah menggunakan kata kerja kekinian (fiil mudharik – present tense).
Ini mengandung informasi, bahwa meskipun Al Qur’an sudah selesai diturunkan secara berangsur-angsur saat Rasulullah masih hidup, tetapi di setiap akhir Ramadan para malaikat selalu turun membawa hikmah alias kandungan Al Qur’an kepada orang-orang yang mengkajinya secara intensif untuk memperoleh petunjuk dari-Nya. Itulah kenapa Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk beriktikaf menyambut datangnya Lailatul Qadr.
‘’sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an pada suatu malam yang diberkahidan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.’’ [QS. Ad Dukhaan: 3-4].
Walahu a’lam bishshawab.



TAFAKUR RAMADAN (18)

oleh Agus Mustofa pada 8 Agustus 2012 pukul 6:53 ·
~ MENCEGAT LAILATUL QADR ~
Lailatul Qadr adalah puncak puasa Ramadan. Hampir semua umat Islam yang paham tentang ilmu puasa mengharapkan bisa bertemu dengan malam yang mulia dan penuh berkah itu. Masjid-masjid di berbagai kota di Indonesia maupun belahan dunia dipenuhi orang-orang yang beriktikaf demi memenuhi harapan untuk bertemu Lailatul Qadr yang penuh hikmah.
Malam yang diceritakan Al Qur’an memiliki kualitas lebih dari seribu bulan itu, kata Rasululah SAW selalu hadir di sepuluh hari terakhir puasa. Karena itu sejak memasuki hari ke-21 sampai menjelang Idul Fitri umat Islam berlomba-lomba beriktikaf memusatkan perhatian kepadanya. Konon ada yang meyakini malam itu bakal datang di hari-hari ganjil: 21, 23, 25, 27, dan 29. Sehingga tak jarang memunculkan keinginan mencegatnya hanya di malam-malam ganjil itu. Meskipun banyak juga yang tak mau main cegat-cegatan, mengikhlaskan iktikaf karena Allah semata, sepanjang hari-hari terakhir Ramadan.
Di Mekah dan Madinah sendiri, masjid penuh sesak dihadiri ratusan ribu jamaah. Hampir-hampir seperti suasana musim haji. Demikian pula masjid-masjid di Mesir dan negara-negara lainnya. Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah malam-malam yang sangat istimewa. Banyak hamba Allah yang merindukan pertemuan dengan-Nya dalam kalamullah yang sedang dibacanya, meskipun tak sedikit pula yang sekedar ingin memperoleh keberkahan Lailatul Qadr. Dan lantas mencegatnya.
Ada semacam kesalahkaprahan dalam menyongsong malam kemuliaan itu. Terutama, karena menganggap Lailatul Qadr bisa dicegat kedatangannya oleh sembarang orang. Sehingga, lantas ada yang bertahan melek malam agar bisa tetap terjaga pada malam yang diperkirakan Lailatul Qadr bakal datang. Tak jarang, orang-orang yang demikian ini, mencegat tidak sambil mengkaji kandungan Al Qur’an melainkan sambil begadang belaka.
Sesungguhnya, point penting Lailatul Qadr bukanlah pada datangnya ‘sang malam’, melainkan pada turunnya ‘sang Jibril’ bersama para malaikat yang menyertainya. Jika penekanannya pada ‘sang malam’ maka siapapun bisa bertemu dengannya, meskipun katakanlah ia mencegat Lailatul Qadr sambil bermain kartu. Tentu pemahamannya bukan demikian. Hanya orang yang benar-benar layak sajalah yang bakal bertemu dengan para malaikat itu. Dengan kata lain, jika ada seribu orang sedang beriktikaf bersama di suatu tempat, belum tentu semua orang itu bakal didatangi oleh Sang Jibril.
Siapakah mereka yang bakal bertemu dengan malaikat pembawa wahyu itu? Adalah mereka yang jiwanya telah tersucikan oleh puasa Ramadannya selama dua puluh hari yang pertama. Ini mirip dengan cerita pewayangan, dimana ksatria yang bertapa bakal memperoleh azimat Kalimasada di akhir pertapaannya. Dikarenakan, di akhir masa pertapaannya itu ia sudah memiliki jiwa yang suci dan bijak dalam menyikapi kehidupan.
Lailatul Qadr juga demikian. Ia hanya turun kepada orang-orang yang telah berpuasa dengan baik. Bukan puasa yang sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan puasa yang mensucikan jiwa raganya. Mulai dari pikiran dan perasaannya, penglihatan, pendengaran, dan segala ucapannya, sampai kepada seluruh tingkah laku dan perbuatannya.
Kesucian jiwa yang demikian itulah yang membuat jiwanya mudah teresonansi oleh kalamullah alias firman-firman Allah yang sedang dikajinya. Ibarat sebuah stasiun pemancar dengan pesawat radio. Jika frekuensinya sudah matching, maka seluruh informasi yang dipancarkan oleh stasiun radio itu akan tertangkap dengan mudah oleh pesawat radio. ‘’Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). Tidak (bisa) menyentuhnya kecuali orang-orang yang (telah) disucikan.’’ [Al Waaqi’ah: 77-79].
Makna ‘menyentuh’ dalam ayat tersebut bukanlah bersifat fisik, sebab menurut kalimat sebelumnya, Al Qur’an itu sebenarnya masih di Lauh Mahfuzh. Yang turun kepada manusia hanya berupa copy saja. Yakni hard-copy berupa teks alias redaksi Al Kitab. Sedangkan yang kedua adalah soft-copy alias Al Hikmah.
Sayangnya kebanyakan umat Islam terjebak pada mengkaji Al Kitab yang berisi teks-teks saja. Termasuk di bulan Ramadan ini banyak yang mengkhatamkan Al Qur’an berulang-ulang, tapi hanya sebagai Al Kitab. Padahal substansi Al Qur’an itu bukan pada Al Kitabnya, melainkan pada Al Hikmah. Barangsiapa membaca Al Qur’an tanpa memahami isinya, ia temasuk orang-orang yang tidak memperoleh petunjuk.
Apakah yang dimaksud Al Hikmah? Ialah isi kandungan Al Qur’an yang dipahami secara mendalam, sehingga menjadi pedoman hidup yang nyata di dalam jiwa manusia.‘’Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang mendalam tentang isi Al Quran) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi al hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang sangat ­banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman-firman-Nya).’’ [QS. Al Baqarah: 269].
Wallahu a'lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (19)

oleh Agus Mustofa pada 9 Agustus 2012 pukul 8:47 ·
~ ENERGI AL QUR’AN BISA MENGHANCURKAN GUNUNG ~
Banyak umat Islam yang memperlakukan Al Qur’an dengan salah kaprah. Sehingga, kitab suci yang amat hebat ini tidak ditempatkan atau difungsikan sebagaimana mestinya. Kesalah-kaprahan itu semakin terlihat di bulan suci Ramadan. Sebuah bulan dimana kandungan hikmah Al Qur’an – yang masih berada di Lauh Mahfuzh – itu diturunkan ke Bumi.
Saya sering menyebutnya dengan istilah ‘umat Islam jauh dari Al Qur’an’. Meskipun, secara fisik kitab suci itu dibawa kemana-mana. Seorang kawan saya protes dengan istilah ‘jauh dari Al Qur’an’ itu. ‘’Saya ini dekat mas dengan Al Qur’an. Setiap saat kitab suci ini tak pernah jauh dari saya. Selalu saya bawa kemana pun saya pergi.’’
Ia memang mempunyai Al Qur’an saku yang dibawa kemana pun ia pergi. Ia juga punya Al Qur’an digital yang kini semakin ngetren, diinstal di HP dan laptopnya. Bahkan, di perpustakaan pribadinya ia memiliki sejumlah Al Qur’an terjemahan berbagai bahasa. Ya, dia memang ‘dekat’ dengan fisik Al Qur’an, tetapi belum tentu dekat dengan isi Al Qur’an. Apalagi hikmah yang terkandung di dalamnya.
Kedekatan kita dengan Al Qur’an bukan diukur secara fisikal, melainkan pada tataran penerapan isi kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena kesalah-kaprahan dalam memahami kedekatan inilah, umat Islam mengalami kemunduran dalam peradaban dunia. Dulu, umat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat dan penerusnya, bisa menjadi pusat peradaban dunia. Negara superpower seperti Romawi dan Persia pun akhirnya tenggelam digantikan zaman keemasan Islam, selama ratusan tahun.
Sayangnya sejak abad ke 14 umat Islam mengalami kemunduran luar biasa, sekitar 700 tahun, sampai kini. Salah satu penyebabnya adalah SDM Islam tidak dibangun berdasarkan petunjuk-petunjuk Al Qur’an. Kitab ini hanya dijadikan pajangan-pajangan di rak-rak perpustakaan, diinstal di HP dan laptop, dilombakan bacaan indahnya dan dibaca khatam ‘cepet-cepetan’, bahkan tidak sedikit yang cuma menjadikannya sebagai mantera azimat alias pusaka penyelamat.
Allah sudah sangat jelas mengajarkan di dalam firman-Nya, bahwa Bacaan Mulia yang diturunkan di bulan suci Ramadan ini penuh dengan hikmah. Dan berisi petunjuk-petunjuk untuk menjadi solusi atas segala macam masalah manusia. Di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan atas petunjuk tersebut. ‘‘... bulan Ramadan, adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai PETUNJUK bagi manusia dan berisi PENJELASAN-PENJELASAN mengenai petunjuk itu...’’ [QS. Al Baqarah: 185].
Sayangnya, yang terjadi bukan menggali petunjuk-petunjuk itu dalam berbagai seminar atau kajian-kajian intensif, melainkan lebih kepada membaca indah, khatam bolak-balik tanpa memahami maksudnya, atau sekedar menjadi mantera-mantera tersebut. Apalagi di bulan Ramadan. Cobalah bandingkan seberapa banyakkah orang-orang yang mengkaji Al Qur’an terkait dengan isi dan hikmah yang terkandung di dalamnya? Bandingkan dengan orang-orang yang membacanya sekedar untuk mengejar target khatam berkali-kali. Sedikit sekali.
Lebih jauh, sebagian kita malah menjadikan Al Qur’an itu sebagai ‘sumber kesaktian’ tanpa memahami makna yang seharusnya. Misalnya, seorang kawan saya demikian kuatnya berpegang pada ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa energi Qur’an ini sangat besar, sehingga jika diturunkan ke gunung, gunung itu bisa hancur berantakan.
'’ Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk hancur berantakan disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan PERUMPAMAAN-PERUMPAMAAN itu Kami buat untuk manusia supaya mereka BERPIKIR.’’ [QS. Al Hasyr: 21]
Ada kesalahan mendasar yang dilakukannya dalam memahami ayat ini. Yakni, ia mengabaikan informasi Allah, bahwa cerita di atas adalah sebuah perumpamaan.Dia menanggapinya secara harfiah. Karena itu, ketika ada seorang kawannya yang membawa mushaf Al Qur’an ditaruh di atas sebuah gunung, gunung itupun tidak hancur. Karena, ayat di atas memang sudah menjelaskan bahwa itu adalah sebuah perumpamaan, dan kita disuruh berpikir untuk mengetahui maksudnya.
Saya katakan, energi Al Qur’an memang sangat besar dan bisa mengubah dunia seperti yang telah terjadi ratusan tahun yang lalu. Tetapi, energi tersebut bukan terletak di tulisan atau lembaran-lembarannya secara harfiah seperti itu. Sehingga, lantas ada yang menggunting lembaran-lembaran kitab Al Qur’an untuk dijadikan jimat. Atau, malah ada yang membakarnya, dan abunya diminum segala. Dan dia sudah merasa memperoleh energi dari dalam Al Qur’an. Bukan begitu. Energi yang besar di dalam kitab suci ini bukan terdapat di tulisannya itu, melainkan di dalam maknanya.
Barangsiapa memahami maknanya, dan kemudian menjalankannya dalam kehidupan nyata, maka sungguh dia telah memperoleh energi ilahiah yang luar biasa besarnya. Dia akan memiliki kemampuan hebat untuk mengubah peradaban. Baik secara fisikal maupun secara moral. Dialah pemimpin yang telah memperoleh petunjuk Sang Maha Berilmu dan Maha Berkuasa dalam segala tataran wilayah perbuatannya.
’Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal kebajikan. Bagi mereka ada pahala yang besar.’’ [QS. Al Israa’: 9] Wallahu a'lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (20)

oleh Agus Mustofa pada 10 Agustus 2012 pukul 6:24 ·
~ AL QUR’AN KITAB SUCI MASYARAKAT MODERN ~
Bulan Ramadan adalah bulan turunnya Al Qur’an. Inilah kesempatan kita untuk mengenal kitab suci yang ajaib ini lebih mendalam. Sebuah kitab yang sangat sesuai dengan kondisi masyarakat modern. Apakah tanda-tandanya bahwa kitab ini cocok bagi peradaban akhir zaman?
Yang pertama, inilah kitab suci yang sejak awal sudah punya perhatian besar pada budaya baca tulis. Karena itu, sejak awal turunnya di gua Hira’ , Al Qur’an sudah mengedepankan budaya membaca. Dan itu diabadikan oleh Allah di dalam Al Qur’an. ‘’BACALAH dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq (embrio). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan PENA. Dia mengajari manusia segala apa yang tidak diketahuinya.’’ [QS. Al ‘Alaq: 1-5].
Bukan hanya itu, di wahyu kedua pun Allah memberikan perhatian kepada budaya baca tulis dengan mewahyukan surat Al Qolam – surat Pena. ‘’ Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’’ [QS. Al Qolam: 1]. Ayat yang dimulai dengan huruf Nun itu menjadi langkah selanjutnya dari proses pembelajaran Rasulullah yang ummi alias buta huruf itu dalam baca tulis. Malaikat Jibril-lah yang diutus Allah untuk mengajari beliau lewat wahyu yang berangsur-angsur selama 23 tahun. Sehingga, tidak heran, dalam puluhan ayat yang turun selanjutnya Allah mewahyukan berbagai surat yang dimulai dengan huruf-huruf seperti itu.
Ada yang dimulai dengan satu huruf semisal Qaf, Shad dan Nun. Ada yang dua huruf seperti Ya Sin dan Tha Ha. Ada yang tiga huruf seumpama alif lam mim dan alif lam ra. Serta ada pula yang sampai lima huruf sebagaimana kaf Ha Ya Ain Shad. Semua huruf-huruf itu, selama ini ditafsiri sebagai sesuatu yang rahasia. Sehingga dalam banyak kitab terjemah cuma diberi penjelasan dalam kurung (Allah saja yang tahu maksudnya). Tetapi, saya melihat ini sebagai proses pembelajaran kepada Rasulullah untuk mengenal huruf-huruf Hijaiyah. Artinya, Rasulullah yang buta huruf sebelum menjadi Nabi itu, kelak memang menjadi Nabi yang sesuai dengan zaman modern. Yakni sebuah zaman yang berbasis pada budaya baca-tulis.
Budaya baca tulis itu mulai dari yang berbentuk pahatan pada batu, kulit dan tulang binatang, pelepah pohon, kertas papirus, sampai pada peralatan digital seperti berkembang di era komunikasi sekarang. Sehingga Al Qur’an yang awalnya dituliskan pada media-media konvensional itu pun kini sudah berkembang menjadi Al Qur’an Digital, dengan berbagai fasilitas kemudahannya.
Yang kedua, peradaban modern adalah peradaban yang berbasis pada mekanisme akal dan data-data empirik. Ternyata demikian pulalah Al Qur’an mengajari manusia dalam beragama. Proses keimanan di dalam Al Qur’an bukan diajarkan secara dogmatis atau apalagi lewat doktrin-doktrin, melainkan lewat argumentasi yang jelas. Sehingga, dengan sangat tegas Allah melarang melakukan pemaksaan dalam beragama. Laa ikraaha fiddiin – tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam QS. Al Baqarah: 256.
‘’Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh sudah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Tuhan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’
Bukan cuma menginformasikan, dalam ayat berikut ini, bahkan Allah melarang alias mengancam akan menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang memaksakan kehendak dalam beragama. Allah saja tidak memaksa, kok kita mau memaksa-maksa orang lain. ‘’Dan JIKA Tuhanmu MENGHENDAKI, pastilah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) MEMAKSA manusia supaya mereka BERIMAN semuanya? Tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan AKALnya.’’ [QS. Yunus: 99-100].
Seiring dengan tidak boleh memaksakan kehendak dalam beragama itu, Allah juga menegaskan agar kita beragama dengan argumentasi yang kuat, yang diistilahkan sebagai hujjah. Mulai dari bertuhan kepada Allah, bernabi kepada Rasulullah Muhammad, berkitab pada Al Qur’an, dan berbagai macam mekanisme peribadatan kita, semuanya mesti dilakukan berdasar pada hujjah, alias argumentasi yang kuat. Bukan hanya berpegang kepada ‘pokoknya harus begini dan begitu’. Dengan kata lain, keimanan kita memang harus berproses seiring dengan penggunaan akal dan ilmu pengetahuan.
Karena itulah dengan sangat telak Allah berfirman, bahwa orang-orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan bisa mengambil pelajaran dari Al Qur’an Al Karim. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ayat Qur’an, diantaranya berikut ini: ‘’... wamaa yadzdzakkaru illa uulul albaab – dan tidak bisa mengambil pelajaran dari (firman-firman) Allah kecuali orang-orang yang menggunakan akal kecerdasannya.’’ [QS. Ali Imran: 7].
Maka, lewat kisah Nabi Ibrahim sebagai The Founding Father agama Islam, Allah memberikan pelajaran tentang bagaimana seharusnya umat Islam memahami dan menjalankan agamanya. Termasuk dalam menanamkan ketauhidan atas Tuhan satu-satunya di jagat semesta raya ini. ‘’Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan aku termasuk orang yang dapat memberikan BUKTI atas yang demikian itu." [QS. Al Anbiyaa’: 56]
‘’Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Berilmu.’’ [QS. Al An’aam: 83].
Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (21)

oleh Agus Mustofa pada 11 Agustus 2012 pukul 5:54 ·
~ NABI YANG UMMI ITU PUN MENJADI ILMUWAN JENIUS ~
Al Qur’an adalah kitab petunjuk yang sangat hebat. Di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang tinggi. Mulai dari ilmu sastra, filsafat, ekonomi, politik, sains, sampai teknologi. Hanya orang-orang yang berakal saja yang bisa menggali ilmu-ilmu itu untuk diterapkan dalam kehidupannya.
Nabi Muhammad adalah contoh konkret hasil dari pendidikan Allah lewat Al Qur’an Al Karim. Sehingga, beliau dikenal juga sebagai ‘Al Qur’an Berjalan’. Itu dikatakan oleh isteri beliau Siti Aisyah, bahwa akhlak dan perilaku beliau adalah Al Qur’an itu sendiri. Nabi Muhammad adalah satu-satunya manusia yang sudah menjalankan dan meneladankan seluruh isi Al Qur’an yang berjumlah 6.236 ayat itu.
Cara berbicaranya yang lembut sangat Qur’ani. Cara bergaulnya yang ramah dan penuh kepedulian menggambarkan akhlak Qur’an. Kepemimpinannya yang bijak dan jauh dari otoriter, juga terinspirasi dari ayat-ayat Qur’an. Dan segala aktifitas beliau, mulai dari kehidupan rumah tangga, sosial, sampai spiritual adalah cerminan dari ilmu Al Qur’an yang diterapkan di zamannya.
Belajar Al Qur’an bagi Rasulullah bukan hanya belajar membaca teks, melainkan belajar hikmah yang terkandung di dalamnya. Sehingga ketika Rasulullah begitu bersemangat membacanya dengan cepat, Allah memberikan petunjuk bahwa membaca Al Qur’an mesti dilakukan dengan tenang dan penuh penghayatan agar makna yang terkandung di dalamnya bisa dicerap dengan baik.
’Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.’’ [QS. Al Qiyaamah: 16-19]
Di ayat lainnya dijelaskan bahwa proses turunnya wahyu itu bagi Rasulullah memang menjadi ajang pembelajaran dan bertambahnya ilmu pengetahuan. Bukan sekedar hafalan terhadap teksnya, yang kemudian diabadikan sebagai kitab yang tertulis. Dengan hikmah ayat-ayat Al Qur’an yang meresap di dalam jiwanya itu beliau menjadi manusia yang berilmu sangat tinggi. Bukan hanya soal ukhrowi, melainkan juga duniawi.
'’Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, TAMBAHKANLAH kepadaku ILMU pengetahuan." [QS. Thaahaa:114]
Karena itu tidak heran, seiring dengan semakin banyaknya ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada beliau, ilmu yang beliau kuasai juga semakin banyak. Dan kemudian mewujud dalam berbagai tindakan serta kesuksesan beliau selama di periode Madinah. Selain menjadi Rasul dalam tataran tujuan akhirat, beliau juga menjadi kepala negara dalam tataran duniawi. Juga panglima perang yang hebat. Bahkan, ilmuwan yang jenius, yang sejumlah nasehatnya dalam urusan keilmuan duiawi memiliki kebenaran prediksi yang mengagumkan.
Diantaranya, beliau mengatakan bahwa berpuasa adalah menyehatkan – shuumu tasiihu – dan mengatakan bahwa perut adalah pusat berbagai macam penyakit modern. Nasehat ini dibenarkan oleh Badan Kesehatan Dunia WHO bahwa sumber segala macam penyakit yang sulit disembuhkan dewasa ini memang sebagian besarnya berasal dari pola makan yang buruk. Sebagiannya lagi dari pola hidup yang memicu stress. Dan sisanya dari kuman-kuman penyakit: seperti bakteri dan virus. Dari manakah beliau tahu ilmu kesehatan yang sangat mendasar ini? Padahal beliau kan tidak pernah melakukan penelitian? Tentu saja dari hikmah ayat-ayat Qur’an.
Di cerita lain, Rasulullah mengatakan bahwa air yang kecemplungan lalat akan terkontaminasi penyakit. Tetapi, penyakit akibat bakteri yang ada di kaki lalat itu bakal ternetralkan jika lalat itu ditenggelamkan sekalian ke dalam air tersebut. Karena di dalam perut lalat itu ternyata terdapat kelenjar yang berisi zat penawar, yang akan pecah dan larut ke dalam air jika lalat tersebut ditenggelamkan ke dalamnya. Siapa pula yang mengajarkan informasi ini kepada beliau? Karena, nasehat yang kemudian terbukti lewat penelitian modern ini mestinya baru terungkap jika dilakukan eksperimen.
Di kali lain lagi, Rasulullah diceritakan membahas tentang janin di dalam perut ibu. Menurut beliau, janin di usia 40-an hari sudah mulai bisa dibedakan jenis kelaminnya. Karena saat itulah Allah mulai membentuk tubuhnya.
‘’Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: apabila nuthfah telah berusia EMPAT PULUH DUA MALAM malam (di dalam rahim), maka Allah mengutus malaikat kepadanya. Lalu dibentuklah tubuhnya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya kepada Allah: ya Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?` Lalu Tuhanmu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat menuliskannya...’’ [HR. Muslim dari Hudzaifah bin Usaid]
Cerita tentang pengetahuan Rasulullah atas jenis kelamin embrio di usia empat puluh harian itu sungguh menakjubkan dunia kedokteran. Karena, dulu di zaman beliau tidak ada peralatan apa pun untuk mengetahui keadaan itu. Baru sekaranglah diketahui lewat peralatan USG modern bahwa di usia empat puluhan hari itu embrio manusia memang sudah mulai bisa dibedakan dari embrio binatang. Dan luar biasanya, jenis kelaminnya pun mulai bisa ditentukan..!
Sang Nabi yang dulunya buta huruf itu, ternyata benar-benar telah menjadi ilmuwan jenius berkat hikmah yang terkandung di dalam Firman-firman Allah, Sang Maha Bijaksana lagi Maha Berilmu. Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (22)

oleh Agus Mustofa pada 12 Agustus 2012 pukul 6:56 ·
~ MEMAHAMI AL QUR’AN JANGAN SEPOTONG-SEPOTONG ~
Banyak diantara umat Islam yang memahami informasi Al Qur’an secara sepotong. Cara demikian sangat berbahaya dan bisa menyesatkan. Apalagi jika lantas didoktrinkan kepada orang awam, hasilnya bisa memunculkan berbagai penyimpangan dalam beragama. Mulai dari yang bersifat keyakinan personal, mencari pembenaran terkait dengan kepentingan terselubung, sampai pada meluasnya radikalisme yang kebablasan.
Bagi saya, ayat-ayat Al Qur’an itu mirip dengan potongan puzzle yang dipisah-pisahkan, sehingga belum memberikan kesimpulan gambar utuh jika hanya dipahami sepotong. Atau, mirip cerita tujuh orang buta yang ingin memahami gajah. Dimana setiap orang buta itu, karena keterbatasannya, hanya bisa memahami sejauh yang bisa dirabanya. Karena itu, mereka lantas berselisih pendapat tentang bentuk gajah.
Ada yang bilang gajah seperti ular piton karena si orang buta itu kebetulan hanya bisa meraba belalainya. Ada pula yang mengatakan gajah seperti cambuk, karena ia hanya bisa memegang ekornya. Dan ada juga yang berpendapat gajah mirip kipas karena kebetulan hanya bisa memegang telinganya. Dan seterusnya. Walhasil, pendapatnya berbeda-beda karena belum holistik dalam memahami binatang berukuran jumbo itu.
Demikian pula dengan pemahaman kita terhadap ayat-ayat Qur’an. Kitab suci ini adalah kitab petunjuk yang sangat sempurna, sehingga segala keterbatasan kita akan menjadi faktor penentu terhadap kepahaman yang holistik itu. Dan akan menyebabkan terjadinya selisih pendapat dalam menafsirinya. Semakin sedikit ilmu seseorang, semakin terbatas pula pemahamannya terhadap kandungan Al Qur’an. Sebaliknya, semakin banyak ilmunya, akan semakin bagus pula pemahamannya.
Namun, bukan hanya itu. Distorsi pemahaman terhadap kandungan ayat itu juga disebabkan oleh struktur ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan secara terpisah-pisah. Cobalah perhatikan ayat-ayat Qur’an itu, informasi tentang suatu tema diceritakan dalam berbagai ayat yang berlainan dan berbagai surat yang terpisah. Kadang diulang-ulang, kadang ditambahi dengan kalimat penjelas, kadang menyoroti suatu masalah yang sama tapi dengan sudut pandang yang berbeda.
‘’ Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang (sebagian ayatnya) serupa lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah. Dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun.’’ [QS. Az Zumar: 23]
Allah juga memberitahukan kepada kita, bahwa Al Qur’an yang berisi petunjuk buat manusia itu memuat penjelasan-penjelasan tentang suatu tema di berbagai ayat secara terpisah-pisah. Karena itu, jika kita belum mengerti terhadap suatu ayat, karena informasinya baru sepotong, sebaiknya kita melakukan eksplorasi ke ayat-ayat lainnya yang terkait. Inilah yang disebut sebagai tafsir bil ayat itu. Menjelaskan makna kandungan ayat dengan ayat-ayat lainnya.
‘’Bulan Ramadan, adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (hikmah-hikmah) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).’’ [QS. Al Baqarah: 185]
Contoh konkretnya sangat banyak di sekitar kita. Misalnya, tak sedikit kawan-kawan kita yang melakukan poligami dengan mendasarkan dalilnya pada QS. An Nisaa’: 3 ~ ‘’maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga atau empat...’’ Ayat ini kalau dipahami sepotong begini tentu saja menjadi seakan-akan berisi ‘perintah’ untuk berpoligami. Tetapi, kalau kita baca secara holistik dengan ayat-ayat lainnya, saya yakin Anda akan memiliki pemahaman yang berbeda tentang hal ini. Bahwa poligami di dalam Islam itu boleh, asal bukan karena alasan syahwat.
Contoh lainnya, tentang radikalisme dan pembunuhan. Tidak sedikit pula kalangan radikal yang mengambil QS. Al Baqarah: 191. ‘’Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnahitu lebih besar bahayanya dari pembunuhan...’’ Kalau ayat tersebut diambil sepotong, tentu seakan-akan Islam adalah agama radikal yang boleh membunuh seenaknya, karena ayat itu dipahami keluar dari konteksnya.
Atau, bagi siapa saja yang mau korupsi pun, jika mencari dalil-dalil dari dalam Al Qur’an dengan cara seperti itu tentu akan memperoleh dasar hukumnya. Misalnya, QS. Al Jumu’ah: 10 ~ ‘’...maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia (rezeki) Allah...’’ Cara mencari rezekinya bagaimana? Lantas, ada yang menjawab: ‘’ya terserah aku..!’’ Wah, rusaklah kalau caranya begini. Perbuatan jahat apa pun bisa memperoleh dalil dari dalam Al Qur’an.
Tentu bukan demikian. Ilustrasi diatas adalah sekedar gambaran, bahwa memahami Al Qur’an memang harus dilakukan secara utuh dan mengaitkan ayat-ayat yang berfungsi sebagai penjelas. Contoh konkret yang telah kita bahas sebelumnya, adalah tentang turunnya Al Qur’an alias Nuzulul Qur’an. Di suatu ayat disebut turun berangsur-angsur, di ayat lainnya diinformasikan di dalam bulan Ramadan, dan di ayat yang berbeda lagi diceritakan di satu malam yang penuh berkah serta penuh hikmah yang dikenal sebagai Lailatul Qadr. Jika ayat-ayat itu kita padukan secara holistik akan menjadi sebagai berikut.
Bahwa, Al Qur’an itu di zaman Rasulullah memang diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, sebagaimana catatan sejarah. Tetapi setiap bulan Ramadan Allah selalu mengutus Jibril dan para malaikat untuk menurunkan hikmah yang terkandung di dalamnya kepada siapa saja yang mengkaji Al Qur’an secara intensif sambil mensucikan dirinya lewat puasa Ramadan. Dan saat-saat turunnya hikmah itu disebut sebagai Lailatul Qadr.
Nah, pemahaman holistik semacam itulah yang harus dilakukan oleh umat Islam terhadap Al Qur’an yang penuh hikmah ini. Bukan pemahaman sepotong yang memunculkan berbagai distorsi seperti yang banyak terjadi. Baik karena disengaja maupun dilakukan tanpa sengaja. Semoga Allah selalu membimbing kita di dalam Ridha-Nya. Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (23)

oleh Agus Mustofa pada 13 Agustus 2012 pukul 5:37 ·
~ ALLAH PUN TAK MAU MEMAKSA ~
Betapa kelirunya jika kita beragama dengan cara memaksa. Karena, ternyata Allah pun tak mau memaksa seseorang dalam menjalankan agamanya. Semua harus berangkat dari kesadaran, bukan dari keterpaksaan. Sehingga, proses spiritualitas seseorang dalam meningkatkan kualitas beragamanya adalah seiring dengan proses meningkatnya kesadaran dan berserah diri kepada-Nya. Bukan membesarnya rasa keterpaksaan dalam menjalankan ibadah.
Beragama dengan cara terpaksa adalah percuma. Dia tidak akan pernah berserah diri kepada-Nya, melainkan malah memupuk rasa keingkaran dalam jiwa. Tentu saja ini berlawanan dengan kata ‘Islam’ yang bermakna berserah diri hanya kepada Allah. Sungguh, kualitas berserah diri itu tidak akan pernah bisa dicapai oleh orang-orang yang merasa terpaksa dalam beragama. Keberserah-dirian hanya bisa dicapai oleh orang menjalaninya dengan keikhlasan, kesabaran, ketaatan, dan pengorbanan.
Di dalam berbagai ayat, Allah menjelaskan hal itu. Diantaranya dalam ayat berikut ini. ‘’Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, pastilah beriman orang-orang di muka bumi ini, seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman, semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.’’ [QS. Yunus: 99-100].
Ayat diatas sangat gamblang bercerita bahwa Allah memang tak hendak memaksa manusia beriman kepada-Nya. Siapa saja diberi kebebasan untuk memilih apa yang dimauinya.Tentu saja dengan segala konsekuensinya. Padahal sebagai Sang Pencipta yang berkuasa mutlak, Allah sangat bisa memaksakan kehendak-Nya. Dan, kemudian tak ada orang-orang yang mengingkari-Nya. Semuanya bersujud kepada-Nya. Apa susahnya buat Dia. Tapi Allah tidak melakukan semua itu.
Allah saja tak memaksa, kenapa kita lantas main paksa kepada sesama untuk menjalani agama? Hal itu diungkapkan dengan kalimat yang sangat eksplisit dalam ayat di atas: ‘’apakah kamu hendak memaksa manusia untuk beriman seluruhnya?’’ Tak ada gunanya. Bukan itu yang dikehendaki oleh-Nya. Seseorang bisa saja dipaksa untu melakukan shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, berdoa, dan ibadah apa saja. Tapi sungguh, semua itu tak berguna. Karena mereka akan menjalankannya sebagai ritual belaka, yang tak membekas ke dalam jiwanya. Hasilnya, bukan kualitas berserah diri kepada-Nya, melainkan pemberontakan diam-diam , yang terus menerus terjadi di dalam jiwanya.
Beragama harus terjadi seiring dengan kesadaran. Memupuk kepahaman. Yang menghasilkan keyakinan. Bukan cuma ‘ilmul yaqin, melainkan harus meningkat ke ‘ainul yaqin, dan berujung di haqqul yaqin. Keyakinan dan kepahaman yang tiada tergoyahkan. Orang-orang yang sudah merasakan sendiri bahwa beragama adalah sebuah jalan pembebasan dari keterbelengguan duniawi. Diperolehnya kemerdekaan yang hakiki, karena dia telah bersama Allah Sang Penguasa jagat semesta, Sang Maha Berilmu lagi Maha Bijaksana.
‘’Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa mengingkari thaghut (tuhan selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Berilmu.’’ [QS. Al Baqarah: 256].
Sekali lagi, lewat ayat ini, Allah menegaskan bahwa beragama tidak boleh dilakukan dengan terpaksa. Kalau terpaksa, berarti belum beragama dengan benar. Shalatnya terpaksa, dzikirnya terpaksa, puasanya terpaksa, zakatnya terpaksa, menolong orang terpaksa, dan semua aktifitas ibadahnya terpaksa. Itu belum menunjukkan proses beragama yang benar.
Yang harus dilakukan, kata ayat di atas, adalah membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang tersesat. Istilah yang dipakai dalam ayat tersebut adalah: qad tabayyana rrusydu minal ghayyi ~ sungguh sudah jelas antara kebaikan dan keburukan. ‘Tabayyana’ itu bermakna klarifikasi dan cross-check. Maksudnya, beragama memang tidak boleh asal percaya dan ikut-ikutan belaka. Harus dikaji dengan akal sehat, diklarifikasi, dan di-cross-check kebenarannya ke sumber-sumber yang otentik.
Jika sudah jelas valid, kesimpulannya akan menjadi kepahaman dalam menjalani agama. Dan kemudian memunculkan keyakinan yang tiada tergoyahkan. Dalam istilah ayat di atas, kita seperti berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak bisa putus. Hidupnya tidak terombang-ambing oleh ketidak-pastian. Karena dia telah mengikuti cara Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Berilmu. Wallahu a’lam bishshawab.

TAFAKUR RAMADAN (24)

oleh Agus Mustofa pada 14 Agustus 2012 pukul 6:39 ·
~ JANGAN BERIMAN KARENA ‘KATA ORANG’ ~
Keimanan yang diperoleh dengan mudah, akan runtuh dengan mudah. Sebaliknya, keimanan yang diperoleh dengan perjuangan dan proses yang panjang, akan berakar kokoh di dalam sanubari. Tak mudah tergoyahkan, tak mudah dibeli, atau apa lagi diruntuhkan. Ia seperti pohon yang akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah, dan cabang-cabangnya menjulang ke langit. Begitulah Al Qur’an memberikan perumpamaan.
‘’Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.’’ [QS. Ibrahim: 24]
Apakah keimanan itu? Seorang kawan saya menyebutnya sebagai ‘rasa percaya’. Tetapi saya lebih suka menyebut sebagai ‘rasa yakin’. Sebab, ‘yakin’ memiliki bobot lebih besar dibandingkan dengan ‘percaya’. Dan karenanya, ‘yakin’ memiliki kualitas bertingkat-tingkat seiring dengan proses keimanan yang terjadi. Di dalam Islam dikenal istilah ‘ilmul yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Level paling bawah dari sebuah keimanan atau keyakinan adalah ‘ilmul yaqin. Yakni, keyakinan yang diperoleh lewat proses pembelajaran dari orang lain, bisa guru, orang tua, ataupun teman. Kepahaman yang baik terhadap suatu persoalan bakal memunculkan keyakinan, meskipun ia belum mengalami sendiri. Misal, ketika kita bertanya kepada seseorang: ‘’apakah Anda yakin Allah itu ada?’’. Bagi seseorang yang sudah belajar tentang eksistensi Sang Pencipta alam semesta, boleh jadi dia akan mengatakan: ‘’ya saya yakin Allah itu ada!”
Tetapi, ketika kita tanyakan lagi: ‘’Apakah Anda sudah bertemu dengan Allah, sehingga merasa yakin akan keberadaan-Nya?’’, dia menjawabnya: ‘‘belum’’. Lantas, kenapa kok yakin? Dia pun mengatakan, semua itu diperolehnya lewat proses belajar. ‘’Begitulah kata guru saya. Saya memahaminya dan meyakininya,’’ tuturnya. Keyakinan yang demikian itu baru berada pada tataran ‘ilmul yaqin: yakin karena kata orang.
Keyakinan semacam ini, di dalam Islam belum dianggap cukup. Harus meningkat menjadi sebuah pengalaman yang bersifat personal: ‘ainul yaqin – ‘melihat’ sendiri atau merasakan sendiri. Pada level ini jika ia ditanya: Apakah Anda yakin Allah itu ada? Dengan mantap ia akan menjawab: ‘’tentu saja yakin.’’ Dan ketika ditanya, apakah ia sudah bertemu dengan Allah sehingga sedemikian yakin, ia pun dengan mantap mengatakan: ‘’sudah’’. Kapan bertemu dengan-Nya? Boleh jadi dia menjawab: ‘’barusan, saat shalat dan berdoa.Semua doa dan shalat saya langsung dijawab dan direspon oleh-Nya!’’
Jika seseorang sudah menjawab seperti itu, Anda akan mulai sulit untuk menggoyakan imannya. Karena ia telah merasakan bukti-bukti yang dihadapinya sendiri. Bukan hanya kata orang. Dan akan semakin kokoh, ketika ia sudah mencapai tingkatan haqqul yaqin. Yakni, sebuah level keimanan dimana dia telah berulangkali dan terus menerus memperoleh bukti atas apa yang diimaninya. Selama bertahun-tahun.
Sehingga, ketika ia ditanya: Apakah Anda yakin bahwa Allah itu ada? Jawabannya tak mengandung keraguan sama sekali: ya jelas ada! Apakah sudah bertemu dengan Allah? Sambil tersenyum dia mengatakan: sudah, setiap saat! Shalat bertemu dengan-Nya. Berdoa bertemu dengan-Nya. Berdzikir bertemu dengan-Nya. Bahkan bekerja, bergaul, berumah tangga, berpesiar, dan beraktifitas apa saja, bertemu dengan-Nya. ‘’Karena ia sudah bersama dengan saya dimana pun saya berada. Segala masalah dan anugerah selalu saya interaksikan dengan Dia, dan selalu dijawab-Nya. Setiap saat, setiap waktu. Kenapa saya masih tidak yakin bahwa Dia ada?’’
Wah, kalau sudah demikian, Anda tidak akan bisa menggoyahkan keimanannya. Dia telah haqqul yaqin atas apa yang dijalaninya. Kecuali, Anda bisa memberikan keyakinan yang lebih dahsyat bahwa semua yang diyakininya itu hanyalah ilusi. Salah lihat dan salah dengar, atau salah persepsi. Tapi, Anda akan semakin tidak berkutik, jika ia lantas menampilkan bukti-bukti yang tak terbantahkan, yang sudah dia dapatkan sepanjang perjalanan spiritualitasnya. Bisa-bisa Anda sendiri yang bakal ‘runtuh’ menghadapinya.
Demikianlah Al Qur’an mengajari umat Islam dalam mencapai keimanannya. Tidak boleh ikut-ikutan, tidak boleh asal-asalan, dan tidak boleh sekedar menyandarkan kepercayaan. Keimanan harus diperjuangkan. Keimanan mesti diperoleh lewat kepahaman. Keimanan harus didapatkan lewat diskusi-diskusi yang intens. Dan kemudian dibuktikan dalam kehidupan nyata. Sehingga, tidak heran orang-orang setingkat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa pun berusaha membuktikan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa jagat raya semesta, dimana seluruh makhluk memang hanya bergantung kepada-Nya.
‘’Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada (siapa saja) mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan bulan dan matahari?" Niscaya mereka akan menjawab: "Allah". Maka kenapakah mereka (masih bisa) dipalingkan (dari realitas ini).’’ [QS. Al Ankabuut: 61].
Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (25)

oleh Agus Mustofa pada 14 Agustus 2012 pukul 6:54 ·

~ BERAGAMA TAK CUKUP HANYA BERMODAL IMAN ~
Keimanan adalah level paling dasar dalam menjalani proses beragama. Orang beragama yang tidak beriman bisa dimaknai sebagai belum beragama dalam arti yang sesungguhnya. Barangkali hanya formalitas belaka, semisal hanya Islam KTP dan pakaiannya saja. Berislam dengan cara demikian tentu bukanlah yang dimaksudkan oleh Al Qur’an Al Karim. Karena, ‘Islam’ itu bermakna proses berserah diri hanya kepada Allah Tuhan Semesta Alam.
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena IMAN itu BELUM MASUK ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [QS. Al Hujuraat: 14]
Memang, secara hukum, orang yang sudah bersyahadat mengakui Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul, sudah bisa disebut sebagai orang Islam. Tetapi, berdasar ayat di atas, keislaman semacam itu belum dianggap cukup oleh Allah. Karena, masih bersifat seremonial dan formalitas belaka. Berislam harus merasuk ke dalam jiwa, menjadi sebuah kepahaman dan berujung pada keyakinan tak tergoyahkan – haqqul yaqin – sebagaimana telah kita bahas pada tulisan sebelumnya.
Keimanan adalah sebuah kepahaman utuh untuk menindak-lanjuti syahadat yang sudah kita ikrarkan. Kebulatan tekad yang dilandasi oleh kesadaran, bukan keterpaksaan. Bahwa bertuhan itu ya hanya kepada Allah. Dan caranya, adalah mengikuti Rasulullah SAW. Tidak ada yang lain. Untuk memperoleh kemantapan iman yang sedemikian itu, butuh proses panjang dalam memahamkannya, sehingga benar-benar mengunjam ke dalam jiwa. Masuk ke dalam relung-relung hati yang paling dalam, sebagaimana diceritakan ayat di atas.
Namun, ketika keimanan itu sudah memasuki sanubari kita, apakah lantas sudah selesai proses berislam kita? Ternyata belum. Berislam tak cukup hanya menjadi beriman. Karena, keimanan ini hanya bersifat internal di dalam diri kita. Keimanan yang kokoh harus diaplikasikan dalam perbuatan nyata, yang selaras dengan nilai-nilainya keimanan itu. Tidaklah cukup, seseorang yang sudah meyakini bahwa kejujuran itu baik, tetapi ia belum menerapkan kejujuran dalam hidupnya. Belum cukup pula, seseorang yang sudah meyakini Allah itu ada, tetapi setiap hari dia seperti tidak sedang bersama Allah.
Seseorang yang sudah mengimani Kebesaran Allah, misalnya, dia tidak akan menjadi sombong dalam kesehariannya. Cara bergaulnya ramah dan rendah hati. Karena, ia sudah memahami betapa kecil dan kerdil dirinya dibandingkan Sang Maha Besar. Demikian pula orang yang sudah mengimani bahwa Allah Maha Pemurah, dengan sendirinya ia akan menjadi seorang yang dermawan kepada sesama, meniru sifat-sifat-Nya. Nilai-nilai keimanannya teraplikasi dalam kehidupan nyata. Inilah yang disebut sebagai Takwa itu.
Jika keimanan bersifat internal dalam jiwa sebagai kepahaman dan komitmen, maka ketakwaan bersifat eksternal dalam bentuk perbuatan alias amal kebajikan. Karena itu, dalam ayat berikut ini Allah mengajari agar keimanan kita dinaikkan kualitasnya menjadi ketakwaan. Sebuah perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan nyata, yang diistilahkan sebagai haqqa tuqaatihi – bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.‘’Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya kepada-Nya. Dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan berserah diri (kepada Allah).’’ [QS. Ali Imran: 103].
Dan menariknya lagi, ketakwaan yang sudah teraplikasi dalam amal perbuatan itu pun masih harus dilanjutkan lagi menjadi sebuah pengakuan spiritual tentang dominasi Allah dalam segala lini kehidupannya. Sehingga, ayat di atas masih mengimbau agar orang-orang bertakwa menjadi orang yang berserah diri – diistilahkan sebagai muslimun. Walaa tamuutunna illa wa antum muslimuun – janganlah kalian mati kecuali sudah dalam keadaan berserah diri kepada Allah.
Begitulah memang tingkatan kualitas seseorang dalam menjalani agama Islam. Dimulai dari komitmen yang bersifat internal dalam jiwa, diaplikasikan dalam perbuatan nyata sebagai amal kebajikan, dan berakhir dalam pengakuan yang sangat mendalam tentang dominasi Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang menjadi pusat dari segala perjalanan batinnya. Inilah puncak kualitas yang harus kita tuju, sebagaimana telah kita ikrarkan dalam shalat-shalat shalat kita.
‘’Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (hanya kepada Allah)". [QS. Al An’aam: 162-163].Wallahu a’lam bishshawab.

TAFAKUR RAMADAN (26)

oleh Agus Mustofa pada 15 Agustus 2012 pukul 6:12 ·
~ ‘FASE LENYAP’ SETELAH ALAM AKHIRAT ~
Segala sesuatu ini muncul dari ‘ketiadaan’ dan bakal kembali kepada ‘ketiadaan’. Dalam istilah Al Qur’an, kalimat yang sering kita dengar itu berbunyi: inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun – sesungguhnya (semua ini) milik Allah, dan bakal kembali kepada-Nya.’’ Ternyata, drama kehidupan manusia, menurut Al Qur’an, melewati lima fase: dari tiada menuju tiada kembali.
Dalam konteks pengetahuan manusia yang terbatas, keberadaan ‘sebelum ada’ itu disebut sebagai ‘ketiadaan’. Belum eksis, bahkan tidak eksis. Dan sesudah drama kehidupan ini selesai, kita juga bakal kembali tidak ada, alias kehilangan eksistensi kembali. Sebuah ‘kehilangan’ yang sebenarnya tidak pantas kita sebut kehilangan, karena memang kita tidak pernah memilikinya. Sejak awal kita sudah tidak ada, sebab yang ada itu memang hanya Dia: Allah azza wajalla.
‘’ Bukankah telah datang atas manusia satu fase dari perjalanan waktu, dimana ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang bisa disebut?’’ [QS. Al Insaan: 1].
Ya, orang tua kita saja belum menikah, tentu saja kita pun belum ada. Itulah fase pertama dari drama kehidupan manusia. Dalam istilah Al Qur’an di ayat yang berbeda, fase itu disebut sebagai fase kematian. Setelah itu, Allah menciptakan manusia di dalam rahim ibunda, dan kemudian menjalani drama kehidupannya di dunia, selama bertahun-tahun, di fase kedua. Ada yang mati usia muda, dan ada yang meninggal setelah berusia tua. Fase ini disebut sebagai fase kehidupan.
Fase ketiga, manusia bakal dimatikan lagi. Badannya hancur terurai menjadi tanah, atau unsur-unsur biokimiawi, tapi jiwanya masih hidup, beralih ke dimensi yang lebih tinggi. Al Qur’an menyebutnya sebagai fase alam barzakh alias alam kubur. ‘’ Dan janganlah kamu mengira orang-orang yang meninggal di jalan Allah itu mati; sebenarnyalah mereka itu hidup, tapi kamu tidak menyadarinya.’’ [QS. Al Baqarah: 154]. Fase ini disebut juga sebagai ‘fase menunggu’, yakni menunggu datangnya kiamat.
Fase keempat, adalah fase akhirat dimana manusia yang sudah mati bakal dihidupkan kembali. Sebuah fase yang seringkali dicemoohkan oleh orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Bukan hanya oleh umat sekarang, melainkan sudah sejak zaman para rasul masih hidup. ‘’Dan mereka berkata (mencemooh): apabila tubuh kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?" [QS. Al Israa’: 49]
Dalam buku saya yang berjudul ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’, saya menjelaskan secara saintifik bahwa segala benda yang hancur ini akan dengan sendirinya utuh kembali, jika Allah membalik pergerakan alam semesta. Fakta Astronomi menjelaskan, bahwa alam semesta sekarang sedang mengembang. Dikenal sebagai expanding universe. Karena pengembangannya itu, segala sesuatu mengalami peningkatan kekacauan. Dalam istilah Fisika disebut sebagai ‘kenaikan entropi’.
Akibat dari meningkatnya entropi itu, segala benda sedang menuju pada kerusakan. Yang utuh sedang menuju kehancuran. Yang hidup sedang mengarah kepada kematian. Yang segar sedang berproses membusuk. Dan seterusnya. Itulah hukum alam dunia, disebabkan alam semesta terus memproduksi entropi yang meningkat seiring dengan pengembangannya.
Tapi, ketika alam semesta ini mengerut kembali diakibatkan oleh gaya gravitasi pusat universe yang menyedot balik segala benda langit, hukum alam akan berjalan terbalik pula. Yang tadinya hancur bakal utuh kembali. Yang tadinya mati, akan hidup kembali. Dan yang tadinya busuk bakal segar kembali. Mirip dengan gelas pecah berantakan yang menjadi utuh kembali ke atas meja dimana ia diletakkan semula, dikarenakan film rekamannya diputar secara terbalik..! Fisika menyebutnya sebagai universe yang memiliki entropi menurun.
Maka, sesungguhnya tidak ada keberatan apa pun secara saintifik bahwa alam yang hancur ataupun manusia yang sudah mati bakal bisa hidup kembali. Secara teoritis, hanya memerlukan action untuk membalik pergerakan alam semesta dari mengembang menjadi menciut kembali. Dan ini sudah dijelaskan dalam teori Big Bang, yang diakui oleh mayoritas pakar Astrofisika modern. Dengan kata lain, informasi tentang dibangkitkannya manusia di hari pengadilan kelak, bukanlah hal yang mustahil. Karena semua itu telah memperoleh pijakan kuat dari teori-teori Fisika modern yang terus berkembang.
Yang lebih menarik, fase keempat yang kita kenal sebagai Alam Akhirat itu ternyata bukanlah fase terakhir drama kehidupan manusia. Karena, ternyata masih ada fase kelima, berupa hancurnya alam semesta di pusat ledakan kunonya. Dimana alam ini pernah terlahir, disitu pula alam semesta bakal berakhir.
Dalam teori Big Bang, fase hancurnya alam semesta itu disebut sebagai fase Big Crunch – kehancuran total. Itulah saat musnahnya segala yang ada. Seluruh benda-benda langit mulai dari galaksi-galaksi, bintang dan matahari, planet dan bulan yang mengitarinya, bakal lenyap disedot oleh black-hole maharaksasa di pusat jagat raya semesta. Bukan cuma hancur, melainkan runtuh dan lenyap kembali kepada ketiadaan..! Ayat berikut ini menyebutnya sebagai fase: ilaihi turja’un – (semua) bakal kembali kepada-Nya. Inilah fase kelima, yang bakal terjadi setelah berakhirnya alam akhirat, yang berjalan selama miliaran tahun.
‘’Kenapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya MATI (fase 1: ketiadaan), lalu Allah MENGHIDUPKAN kamu (fase 2: alam dunia), kemudian kamu DIMATIKAN (fase 3: alam barzakh) dan DIHIDUPKAN-Nya kembali (fase 4: alam akhirat), kemudian kepada-Nya-lah kamu bakal DIKEMBALIKAN (fase 5: lenyap kembali)?’’
Wallahu a’lam bishshawab.



TAFAKUR RAMADAN (27)

oleh Agus Mustofa pada 15 Agustus 2012 pukul 6:17 ·
~ JANGAN BERIBADAH HANYA KARENA SURGA ~
Seorang kawan saya bertanya: ‘’Benarkah alam semesta beserta isinya ini bakal lenyap setelah berusia belasan miliar tahun ke depan?’’ Saya katakan: ‘’agaknya begitu’’. Karena, Al Qur’an sendirilah yang menceritakan bahwa fase terakhir drama kehidupan manusia memang bukan alam akhirat, QS. 2: 28, sebagaimana telah kita bahas di tulisan sebelum ini. Ternyata, alam akhirat baru menempati fase keempat, yang akan segera disusul fase kelima: runtuhnya alam semesta, lenyap menuju ketiadaan. Yakni, fase kembali kepada-Nya – ilaihi turja’un.
Kawan saya pun melanjutkan pertanyaannya: ‘’Berarti surga juga bakal lenyap?’’ Saya menjawab: ‘’Agaknya demikian.’’ Bukankah surga itu memang bagian dari alam akhirat, dan baru berada di fase keempat? Sehingga ketika alam semesta digulung oleh-Nya, dengan sendirinya surga dan neraka bakal ikut lenyap’
‘’(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.’’ [QS. Al Anbiyaa’: 104]
Kawan saya bersungut-sungut: ‘’kalau begitu buat apa saya beribadah capai-capai begini? Toh surga bakal lenyap?’’ Saya menimpali: ‘’Oh, jadi ibadahmu selama ini bukan karena Allah toh? Hanya karena surga? Sehingga ketika surga tidak ada maka engkau pun menjadi malas beribadah untuk menyembah Allah? Katamu, semua ibadah harus lillahi ta’ala – hanya karena Allah. Lha kok ternyata hanya karena surga?’’
Dialog diatas hanya sekelumit dari realitas yang banyak terjadi di sekitar kita. Sebuah gambaran tentang bergesernya kualitas ketauhidan umat. Ibadah yang semula diperuntukkan Allah semata, mulai kehilangan orientasi, dan menjadi untuk diri sendiri. Padahal, orientasi ibadah itu bisa menjadi salah satu parameter kepada siapakah kita bertuhan: kepada Allah ataukah kepada yang lain – termasuk kepada diri sendiri?
Orang yang ibadahnya karena surga, tentu bukan beribadah karena Allah. Dia lebih mencintai surga daripada mencintai Allah. Dan lebih takut neraka daripada takut kepada Allah. Sehingga, Allah tak lebih hanyalah pihak yang disuruh-suruh untuk memenuhi keinginan kita. Termasuk untuk memberi kebahagiaan surga dan menghindarkan dari neraka.
Kita mesti berhati-hati, karena tanpa terasa ketauhidan kita mulai bergeser bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada diri sendiri. Ternyata, tuhan kita bukan Allah, melainkan diri kita sendiri. Sedangkan Allah tak lebih hanyalah ‘pelengkap penderita’ yang kita mintai ini-itu saat kita perlu. Dan ketika segala keinginan itu tidak dipenuhi kita marah-marah dan ‘ngambek’ kepada-Nya. Emangnya kita ini siapa?
Inilah yang dikritisi oleh seorang sufi wanita yang sangat terkenal di abad pertengahan: Rabi’ah Al Adawiyah. Suatu ketika dia membawa obor dan seember air melintasi keramaian masyarakat. Ia pun ditanya, untuk apakah membawa obor dan seember air itu kemana-mana. Ia menjawab, akan membakar surga dan menyiram api neraka. Tentu saja banyak yang heran dan bertanya kepadanya tentang jawaban yang aneh itu. Tapi dengan lugas ia menjawab, semua itu dia lakukan agar umat Islam kembali bertuhan hanya kepada Allah. Dan mencintai serta mengabdikan segala ibadahnya lillahi ta’ala, hanya karena Allah semata. Bukan sebaliknya, bertuhan kepada surga dan neraka, sehingga melupakan Allah sebagai Tuhan. Serta menjadikan-Nya sebagai ‘pelengkap penderita’ belaka.
‘’Janganlah kamu sembah bersama Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang pantas disembah) selain Dia. Segala sesuatu bakal binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala ketentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’’ [QS. Al Qashash: 88]
Begitulah Allah mengajarkan di dalam Kitab Suci. Itulah yang disebut sebagai pemurnian tauhid dalam menuhankan Allah. Tidak ada sesuatu pun yang pantas dipersekutukan dengan-Nya. Meskipun itu adalah surga, malaikat ataupun nabi. Apalagi diri sendiri. Bertuhan adalah mengikhlaskan hati untuk hanya mengakui keagungan-Nya. Dan berserah diri menaati segala perintah-Nya. Dzat Tunggal penguasa jagat semesta raya.
Sedangkan surga dan neraka, tak lebih hanyalah ciptaan yang bakal diganjarkan kepada siapa saja yang memang pantas memperolehnya. Tak ada satu pun makhluk yang mampu menghalangi, jika Dia berkehendak memberikan surga kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana juga tak ada yang bisa menolak jika Dia memberi ganjaran neraka bagi orang yang berdosa.
Allah Maha Adil atas segala kehendak-Nya. Dia menjadi sumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk-Nya. Karena, Dialah Sang Penguasa jagat raya Yang Maha Mulia, Maha Agung, lagi Maha Bijaksana. ‘’Allaahumma antassalam waminkassalaam tabaarakta rabbana yaa dzal jalaali wal ikraam – Ya Allah, Engkaulah kebahagiaan dan kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dan dari Engkau sajalah bersumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan. Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami, Sang Pemilik segala Keagungan dan Kemuliaan...’’
Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (28)

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 5:56 ·
~ DZIKIR SEBANYAK-BANYAKNYA, BERDOA SEDIKIT SAJA ~
Suatu ketika Pak Dahlan Iskan (menteri BUMN, red.) bertanya kepada saya: ‘’Apakah di dalam Al Qur’an ada perintah untuk berdoa sebanyak-banyaknya?’’ Saya jawab: ‘’tidak ada. Yang ada ialah perintah untuk BERDZIKIR sebanyak-banyaknya.’’ Rupanya, Pak Dahlan sedang galau tentang banyaknya orang yang sangat suka berdoa, tetapi kurang berusaha. Sehingga, terasa kurang menghargai karunia Allah yang telah diberikan kepada kita untuk bekerja keras dalam menggapai tujuan.
Saya memang tidak menemukan perintah untuk berdoa sebanyak-banyaknya itu. Bahkan para nabi dan rasul beserta para pengikutnya yang sedang berjuang menegakkan agama Allah pun ketika sedang menghadapi masalah tidak diperintahkan untuk berdoa, melainkan disuruh banyak-banyak berdzikir.‘’Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan berdzikirlah menyebut (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu memperoleh kemenangan.’’ [QS. Al Anfaal (8): 45].
Dan perintah itu diulang-ulang di dalam berbagai ayat untuk kepentingan yang lebih umum. Bahwa, dalam kondisi apa pun Allah memerintahkan kepada kita untuk memperbanyak dzikir. ‘’Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.’’ [QS. Al Ahzab: 41].
Kenapakah kita disuruh banyak berdzikir dibandingkan minta tolong? Agaknya kita sudah bisa menebak alasan yang ada di baliknya. Bahwa, orang yang terlalu sering meminta tolong justru akan memperlemah daya juangnya sendiri. Sebaliknya, orang yang banyak berdzikir mengingat Allah akan menguatkan.
Berdzikir memiliki makna selalu merasa dekat dengan Allah secara lahiriah maupun batiniah. Menyebut dengan lisan maupun mengingat dengan hati. Ada perasaan selalu bersama dengan-Nya kapan saja dan dimana saja, sehingga memunculkan rasa tenteram dan percaya diri untuk memperoleh pertolongan dan perlindungan dari-Nya. ‘’(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir kepada Allah, Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati manusia menjadi tenteram.’’ [QS. Ar Ra’d: 28].
Di dalam dzikir itu, sebenarnya sudah terkandung doa meminta pertolongan dan perlindungan kepada-Nya. Tetapi tidak semata-mata diungkapkan sebagai permintaan tolong yang berkepanjangan. Yang seringkali, justru melemahkan motivasi untuk berjuang dan bekerja keras mencapai tujuan. Allah sudah memberikan segala anugerah berupa kecerdasan, ilmu pengetahuan, kekuatan, kekuasaan, rezeki, dan sebagainya yang harus kita gunakan secara maksimal. Dalam kerja keras dan perjuangan itulah Allah bakal menilai kita apakah kita pantas memperoleh karunia yang lebih besar lagi.
Karena itu tidak heran, Allah menginformasikan kepada kita bahwa ganjaran surga pun bakal diberikan kepada orang-orang yang telah berusaha dan bekerja keras. Bukan kepada orang-orang yang gemar berdoa sambil bemalas-malasan. ‘’Apakah kamu mengira akan masuk surga, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antaramu, dan belum terbukti orang-orang yang sabar.’’ [QS. Ali Imran: 142].
Dengan kata lain, lha wong belum berjuang dan berusaha keras untuk mencapainya, kok sudah berangan-angan dapat surga. Demikian pula, belum terbukti bisa menaklukkan masalah dengan penuh kesabaran, kok sudah berharap kesuksesan. Bukan begitu. Hanya orang-orang yang pantas dapat kesuksesanlah yang bakal diberi kesuksesan oleh Allah. Dan hanya orang-orang yang pantas memperoleh kegagalanlah yang akan diberi kegagalan oleh-Nya.
Dalam ayat berikut ini, Allah juga memberikan informasi semacam itu. Kita dipersilakan untuk memilih menjadi orang yang mau maju atau mau mundur. Semua bergantung kepada kita sendiri. Setiap diri bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang diambilnya. Liman syaa-a minkum an yataqaddama au yata-akhkhar. Kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah – Bagi siapa saja diantara kalian yang mau maju atau mau mundur (silakan). Setiap diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya..! [QS. Al Mudatstsir: 37-38]
Maka dalam konteks dzikir dan doa ini, kita diajari untuk melakukannya secara proporsional. Dzikir dianjurkan dilakukan sebanyak-banyaknya agar jiwa kita selalu ‘nyambung’ dengan Allah. Maka, ketika jiwa sudah tersambung kepada-Nya, doa tidak perlu banyak-banyak, sudah sangat mustajab. Karena jiwanya telah terisi penuh oleh eksistensi Allah.
Sebaliknya, tidak sedikit orang yang berdoa tetapi jiwanya tidak tersambung kepada Allah. Dzikirnya buruk, karena tidak sepenuh hati, sehingga jiwanya pun jauh dari Allah. Bagaimana mungkin doa yang demikian bisa terkabul. Lha wong doa itu hanya meluncur dari lisannya, tanpa melibatkan hatinya. Sementara itu, Allah mengajari agar kita tidak lalai saat berdzikir kepada-Nya dengan merendahkan suara maupun berbisik-bisik mesra di dalam jiwa.
‘’Dan berdzikirlah menyebut (nama) Tuhanmu di dalam jiwamu, dengan merendahkan diri dan rasa takut serta dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.’’ [QS. Al A’raaf: 205].
Wallahu a’lam bishshawab.



TAFAKUR RAMADAN (29)

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 6:00 ·
~ BERDZIKIR KEPADA ALLAH DI SETIAP HELAAN NAFAS ~
Dzikrullah alias mengingat Allah adalah pelajaran puncak dalam spiritulitas Islam. Sehingga di dalam Al Qur’an bertaburan pelajaran tentang dzikir itu. Berdzikir bukan hanya bermakna mengucapkan kalimat dzikir, melainkan menghadirkan Allah dalam seluruh kesadaran kita. Apa pun yang sedang kita lakukan, tak pernah lepas dari interaksi dengan-Nya.
Karena itu, selain diperintahkan untuk melakukan dzikir sebanyak-banyaknya, QS. 33: 41, Allah juga mengajarkan untuk berdzikir dalam kondisi apa pun. Istilah Al Qur’an adalah mengingat Allah dalam segala keadaan: berdiri, duduk, maupun berbaring.
‘’(yaitu) orang-orang yang berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’’ [QS. Ali Imran: 191].
Ayat di atas menunjukkan bahwa dzikir adalah inti dari semua ibadah. Shalat mesti mengingat Allah, berpuasa mesti mengingat Allah, demikian pula zakat, haji, dan apa pun bentuk ibadah yang kita lakukan. Bahkan bukan hanya ibadah-ibadah khusus seperti itu, melainkan juga dalam segala kondisi: makan, minum, mandi, berkendara, bekerja, berolahraga, menuntut ilmu, berdarmawisata, dan segala macam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beristirahat ataupun tidur, semuanya tak pernah lepas dari dzikrullah: menyambungkan hati kepada Allah.
Karena itu, kita menjadi paham ketika Allah menyebut dzikrullah sebagai amalan yang paling besar dibandingkan dengan segala ibadah. ‘’… Dan sesungguhnya berdzikir kepada Allah (dzikrullah) itu lebih besar (keutamaannya dibandingkan ibadat apa pun yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.’’ [QS. Al ankabuut: 45]
Saya lantas ingat bagaimana ayah saya – yang juga guru tasawuf saya sendiri – mengajari pentingnya dzikir itu. Beliau menggambarkan begini: kalau kita ingin selalu berinteraksi dengan Allah, yang harus dilakukan adalah sering-sering membaca Al Qur’an. Sebab, kitab suci itu berisi ucapan alias firman-firman Allah. Membaca Al Qur’an dengan khusyu’ sama dengan dengan sedang berdialog dengan Allah.
Tetapi, karena kita tidak mungkin khatam Al Qur’an setiap hari, maka kita bisa membaca kandungan Al Qur’an itu di dalam ‘ringkasannya’, yaitu surat Al Fatihah. Itulah sebabnya surat pembuka kitab suci ini disebut sebagai ummul kitab – induk Al Kitab. Isinya mewakili kandungan Al Qur’an secara global. Membaca Al Fatihah bisa kita lakukan jauh lebih banyak dibandingkan dengan mengkhatamkan Al Qur’an. Minimal tujuh belas kali sehari semalam, kita melakukannya saat shalat.
Menurut ayah saya, meskipun surat Al Fatihah itu sudah merupakan ringkasan dari Al Qur’an, sebenarnya ia masih bisa diringkas lagi, yakni menjadi kalimat bismillahirrahmanirrahim yang ditempatkan di awal surat itu. Yang karenanya, kita diajari untuk melafadzkan kalimat basmallah ini lebih banyak dibandingkan membaca Al Fatihah. Bukan hanya setiap shalat, melainkan setiap mau berbuat apa saja. Mau makan baca bismillah, mau minum baca bismillah, mau bekerja, mau bepergian, mau belajar, mau tidur, dan apa saja aktivitas sehari-hari yang mau kita lakukan, kita mesti membaca basmallah.
Namun, kalimat bismillahirrahmanirrahim ini pun sebenarnya memiliki inti kandungan makna, yang terdapat pada kata ‘’Allah’’. Oleh karena itu, teringat betul bagaimana Bapak saya mengajari anak-anaknya agar melafadzkan kata ‘Allah’ ini lebih banyak lagi. Yaitu, seiring dengan helaan nafas: ‘’Allaahu… Allaahu…’’. Maka melafadzkan kata ‘’Allah’’ itu adalah sama dengan membaca intisari seluruh firman-Nya yang berjumlah 6.236 ayat. Itulah dzikir paling intensif yang bisa dilakukan seorang hamba terhadap Tuhannya. Ada juga yang masih meringkas kalimat ‘Allahu’ itu menjadi: ‘’Hu… hu..’’ yang bermakna ‘’Dia’’ (Allah), seiring dengan tarikan dan keluarnya nafas.
Begitulah cara para pelaku dzikir berinteraksi dengan Allah. Mereka ingin menyambut ajakan Allah agar setiap saat mengisi kesadarannya dengan mengingat Allah. Dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, sebagaimana diajarkan dalam firman-firman-Nya. Tidak harus diucapkan dengan lisan, karena dzikir itu bisa dilafadzkan di dalam jiwa dan kesadarannya.
Ibarat pelajaran membaca antara anak SD dengan mahasiswa, seorang anak SD membaca buku-buku pelajarannya dengan cara mengeraskan suara, tetapi para mahasiswa sudah membacanya di dalam hati dengan penghayatan yang jauh lebih tinggi. Semua itu hanya soal kebiasaan saja, dan kita semua bisa melakukannya kalau mau.
Orang-orang yang sudah mencapai tataran ini diibaratkan Allah sebagai orang yang selalu berhadapan dengan Allah dimana pun dia berada. Menghadap ke barat bertemu Allah, menghadap ke timur juga bertemu Allah. Karena, barat dan timur itu memang milik Allah, dan seluruh apa yang ada diantaranya sudah diliputi-Nya, tanpa ada jarak yang memisahkannya.
‘’ Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.’’ [QS. Al Baqarah: 115]. ‘’Dan sesungguhnya Kamilah yang telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (sendiri).’’ [QS. Qaaf: 16].
Wallahu a’lam bishshawab.


TAFAKUR RAMADAN (30)

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 6:04 ·
~ RAMADAN BERAKHIR JUM’AT KENAPA SHALAT IDUL FITRI MINGGU ~
Saya masih merasa gundah dengan sejumlah pertanyaan dari para sahabat saya tentang awal Ramadan dan Awal Syawal. Sungguh kasihan menyaksikan mereka kebingungan memahami ‘fenomena’ penetapan waktu ibadah yang berbeda itu. Dan, lebih kasihan, karena ternyata kebingungan tersebut terulang lagi saat menyongsong datangnya Idul Fitri. Karena itu, saya ingin berbagi pemahaman lebih jauh tentang hal ini.
‘’Saya benar-benar bingung mas Agus. Awal Ramadan bingung, akhir Ramadan juga bingung. Saya takut berdosa, karena melakukan ibadah tanpa mengetahui ilmunya. Bukankah Al Qur’an mengajari agar kita punya alasan yang jelas dalam menjalani agama ini?’’ Kata kawan saya memulai ‘curhat’nya, sambil mengutip QS. 17: 36. ‘’Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’’
Yang menjadi kegundahannya adalah, kenapa shalat Idul Fitri 1433 H ini digelar di hari Minggu, 19 Agustus 2012. Padahal menurut hisab dan rukyat, Insya Allah bulan Ramadan akan berakhir malam ini, Jum’at, 17 Agustus 2012. Mestinya kan shalat Id digelar hari Sabtu, karena sudah masuk 1 Syawal. Lha kok shalat Id dilakukan Minggu. Kenapa bisa demikian?
Seperti telah saya bahas di awal Ramadan, kerancuan ini mestinya tidak perlu terjadi jika sejak awal kita bisa memisahkan pemahaman Astronomi dan pemahaman fikihnya. Astronomi adalah sebuah fakta posisi benda langit yang tak bisa dimanipulasi. Sedangkan fikih adalah hukum yang bisa ‘disesuaikan’ seiring dengan kondisi yang terjadi.
Untuk memahami secara runtut, marilah kita flash-back sedikit ke awal Ramadan. Bahwa semua pihak yang berkompeten waktu itu sepakat: bulanSyakban berakhir Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Sehingga, ketika saat Maghrib datang, bulan Syakban sudah benar-benar berakhir, digenapkan dalam usia 30 hari. Tentunya, Jum’at sudah masuk 1 Ramadan. Adalah tidak mungkin untuk memasukkan Jum’at ke bulan Syakban, karena akan menjadikan bulan Syakban berumur 31 hari. Menetapkan hari Jum’at sebagai penggenapan bulan Syakban adalah sebuah keputusan yang absurd, karena usia bulan-bulan Hijriyah hanya berkisar antara 29 atau 30 hari.
Menyongsong datangnya bulan Syawal, insya Allah semua pihak juga bakal sepakat bahwa akhir Ramadan akan jatuh malam hari ini, Jum’at (17/8). Cara menghitungnya sederhana saja, yakni: akhir bulan Syakban ditambah 29,5 hari akan menghasilkan akhir bulan Ramadan. Karena akhir Syakban adalah Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25, maka diperolehlah akhir Ramadan jatuh pada hari Jum’at (17/8) sekitar jam 23.00 wib. Saya kira, semua pihak tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini. Dan, Insya Allah tidak ada yang berpendapat bulan Ramadan bakal berakhir besok, hari Sabtu (18/8).
Tapi, jika benar malam ini semua pihak menyepakati bahwa Ramadan telah berakhir, kenapa shalat Idul Fitri baru digelar di hari Minggu? Disinilah diperlukan penjelasan fikihnya. Karena secara Astronomi sih sudah sangat jelas, bahwa Bulan Ramadan berakhir hari ini, dan besok hari sabtu adalah tanggal 1 Syawal. Dan berarti Minggunya adalah tanggal 2 Syawal. Tetapi secara fikih, kita memang memiliki pilihan untuk mengakhiri puasa atau menggenapkannya, meskipun Ramadan telah berakhir.
Dikarenakan bulan Ramadan baru habis di Jum’at malam, sekitar pukul 23.00 wib, maka saat matahari tenggelam itu memang masih berada di bulan Ramadan. Itu berlanjut sampai sekitar 5 jam kemudian. Dalam penanggalan Hijriyah batas hari ditetapkan saat Maghrib, bukan tengah malam seperti kalender Masehi. Oleh karena itu, setelah Maghrib nanti hari sudah berganti menjadi Sabtu Hijriyah, dan Ramadannya masih tersisa sekitar 5 jam sampai jam 23.00 wib.
Secara fikih, jika hari terakhir Ramadan masih menyisakan bulan, maka Rasulullah mengajari kita agar menggenapkannya sampai datangnya waktu Maghrib. Dan shalat Id baru digelar esoknya. Itulah alasannya kenapa kita masih berpuasa di hari Sabtu, yang notabene sudah tanggal 1 Syawal. Tidak apa-apa. Karena secara fikih memang demikian hukumnya. Meskipun, penggenapan itu sendiri lantas dipahami secara berbeda-beda, yakni: ada yang ‘menggenapkan’ puasanya menjadi 29 hari; dan ada pula yang menggenapkan puasanya menjadi 30 hari. Ya, sudahlah.Dengan demikian, shalat Idul Fitri, baru kita lakukan pada hari Minggu, 19 Agustus 2012, yang notabene adalah tanggal 2 Syawal. Juga tidak apa-apa, karena dasar hukumnya jelas.
Meskipun, sempat berbeda di awal Ramadan, kita tetap wajib mensyukuri kebersamaan lebaran kali ini. Karena, jika lebarannya yang berbeda ‘ongkos sosialnya’ bakal lebih mahal lagi. Kita berharap, mudah-mudahan tahun depan bukan hanya Idul Fitrinya yang bersamaan, melainkan umat Islam sudah bisa bergandengan tangan sejak memasuki awal Ramadan. Betapa indahnya jika umat ini bersatu padu, mengeratkan persaudaraan di dalam ridha Allah. Sungguh kita semua merindukan datangnya kebersamaan itu..!
‘’Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah. Dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu. Lalu kamu menjadi orang-orang yang bersaudara karena nikmat Allah. Padahal (ketika itu) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.’’ [QS. Ali Imran: 103]
Wallahu a’lam bishshawab.


Info Umum

Lahir
16 Agustus 1963

Lokasi

Afiliasi
Buku Serial Diskusi Tasawuf Modern

Informasi Pribadi
Agus Mustofa lahir di Malang, 16 Agustus 1963. Ayahnya, Syech Djapri Karim, seorang guru tarekat yang intens, dan pernah duduk dalam Dewan Pembina Partai Tarekat Islam Indonesia, pada zaman Bung Karno. Maka sejak kecil ia sangat akrab dengan filsafat seputar pemikiran Tasawwuf. Tahun 1982 ia meninggalkan kota Malang, Jawa Timur, dan menuntut ilmu di Fakultas Teknik, jurusan Teknik Nuklir, Universi...
Lihat Selengkapnya

Info Kontak

Telepon
(031) 8282871

Email

Situs Web



Tidak ada komentar:

Posting Komentar